Tlembuk
Langit kampung Kedung Mulyo mulai menghitam. Hanya cahaya lampu jalanan yang temaram, menerangi sedikit lorong-lorong sempit yang sudah mulai sepi. Di ujung lorong itu, di bawah pohon waru yang tua dan berdaun lebat, Lily berdiri dengan kaki disandarkan ke tembok, menghisap rokoknya pelan-pelan.
"Ah... dingin bener malam ini," gumam Lily sambil menyemburkan asap rokok dari bibir merahnya yang mulai pudar karena terlalu sering disentuh angin malam. Ia merapatkan jaket kulit hitam yang sudah kusam, mencoba menahan dingin yang merayap di tubuhnya.
Di sisi lain, kehidupan pasar malam masih terdengar riuh, meski mulai menurun. Beberapa warung kopi masih buka, menjual kopi pahit dan gorengan untuk para supir truk yang kebetulan lewat. Suara tawa para remaja yang nongkrong di depan toko-toko tutup terdengar samar-samar. Dari jauh, Lily memperhatikan mereka. Ia tersenyum miris. Dulu, ia pernah seperti mereka—tertawa lepas, menikmati malam tanpa beban.
Tapi, masa itu sudah jauh berlalu. Hidup berubah ketika ia harus meninggalkan bangku sekolah karena tak ada uang lagi. Sejak ayahnya meninggal ditabrak truk saat pulang dari kerja, semua jadi serba susah. Ibunya jatuh sakit, dan Lily terpaksa mengambil peran sebagai tulang punggung keluarga. Pilihan pekerjaan yang layak tak pernah menghampirinya, dan akhirnya, dunia malam yang kelam menariknya ke dalam pelukannya.
"Eh, Lily, sepi amat loh malam ini," suara berat seorang pria tiba-tiba menyentak lamunannya. Rojali, pelanggan setianya, datang dengan jaket tebal dan topi miring.
Lily memaksakan senyum. "Iya, Mas Rojali. Mungkin pada capek, kali. Lagian, siapa juga yang betah tiap malam di sini, cuma kita-kita aja yang masih tahan, ya nggak?"
Rojali tertawa kecil sambil menyulut rokok. "Yah, namanya juga hidup, Lil. Kadang di atas, kadang di bawah. Cuma kita aja yang rasanya selalu di bawah terus, heh!"
Lily menghela napas, ikut tertawa kecil, meski hatinya terasa berat. "Iya, Mas. Eh, ngomong-ngomong, kopi dulu di warung Bu Min, nggak? Dingin bener ini malam."
Mereka berdua berjalan menuju warung kopi di ujung lorong, tempat di mana Bu Min, pemilik warung yang sudah tua, menatap mereka dengan tatapan simpati. "Lily, Rojali, kopi hitam seperti biasa?" tanyanya ramah.
Lily mengangguk. "Iya, Bu. Sama gorengan dua, ya. Lumayan buat ganjal perut."
Bu Min menyeduh kopi sambil mengamati Lily dengan pandangan iba. Bu Min tahu, meskipun banyak orang di kampung itu memandang rendah pekerjaan Lily, ia tetaplah seorang anak yang berusaha keras untuk ibunya yang sakit. Namun, apa daya, mulut orang memang seringkali lebih tajam dari pisau.
"Lil, kamu kapan terakhir nengokin ibumu di rumah sakit?" tanya Bu Min hati-hati, menyerahkan kopi panas ke tangan Lily.
Lily mengaduk-aduk kopinya dengan sendok kecil, menunduk. "Kemarin, Bu. Cuma sebentar, nggak bisa lama-lama. Biaya nginep di rumah sakit aja udah bikin pusing. Ini aja masih nunggak dua hari, belum bayar penuh."
Rojali mengangguk pelan. Ia tahu beban yang ditanggung Lily. Meskipun sering kali datang ke tempat Lily, ia selalu merasa ada rasa kemanusiaan di antara mereka, lebih dari sekadar hubungan pelanggan dan "penjual".
"Nanti kalau ada rejeki lebih, aku bantuin bayarin, ya, Lil. Jangan sungkan. Mungkin nggak banyak, tapi paling nggak buat nutup dulu," ucap Rojali sambil menyerahkan selembar uang lusuh seratus ribuan ke Lily.
Lily terdiam, menatap uang itu dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. Ia tidak mau menangis, terutama di depan Rojali. Tapi, tawaran itu terlalu berarti baginya. "Makasih, Mas Rojali. Aku... aku janji, bakal aku balikin nanti kalo ada rejeki."
Rojali tersenyum tipis. "Udah, udah. Santai aja. Yang penting ibu kamu bisa sembuh dulu."
Lily memandang Rojali dengan tatapan yang sulit dijelaskan. Di dalam hatinya, ada rasa terima kasih yang mendalam, namun juga rasa sakit karena tahu bahwa hidupnya terus tergantung pada belas kasihan orang lain. Tapi apa boleh buat, ia juga tak ingin menyerah.
Di warung Bu Min, mereka menghabiskan waktu hingga hampir subuh, membicarakan segala hal—tentang pekerjaan, tentang masa lalu, tentang kampung yang kian lama kian berubah. Tawa kecil sesekali terdengar, meski dibarengi dengan raut wajah yang penuh kelelahan.
"Yah, aku balik dulu, ya, Bu Min, Mas Rojali," kata Lily sambil melipat uang yang baru ia terima, menyimpannya di saku jaket dengan hati-hati. "Terima kasih lagi, Mas. Kapan-kapan aku traktir balik, deh, kalau ada rejeki."
Rojali melambai sambil tersenyum. "Santai, Lil. Jaga diri ya."
Lily mengangguk pelan, lalu melangkah pergi dari warung itu, kembali ke lorong-lorong sepi yang seolah sudah menjadi rumah keduanya. Di sepanjang jalan, pikiran Lily melayang-layang. Ia memikirkan ibunya, memikirkan kehidupannya yang terasa begitu berat, dan memikirkan bagaimana rasanya kalau suatu hari nanti ia bisa keluar dari semua ini.
Saat suara azan subuh mulai terdengar di kejauhan, Lily berdiri sejenak di depan pintu rumahnya yang sederhana. Rumah kayu yang mulai reyot, namun tetap menjadi tempat berlindung satu-satunya bagi dirinya dan ibunya. Ia membuka pintu perlahan, mencoba agar tidak membangunkan ibunya yang tidur di ranjang usang.
Lily menghampiri ibunya yang terbaring lemah, memeriksa wajahnya yang semakin pucat. Ia membetulkan selimut di tubuh ibunya dan mencium dahi yang dingin itu. "Bu, Lily pulang... Besok, kalau ada rejeki, kita bisa bayar tunggakan rumah sakit, ya," bisiknya sambil menahan air mata yang hampir jatuh.
Malam yang sudah berganti menjadi pagi tak lantas membuat hati Lily tenang. Sepulang dari warung, meski kantuk sudah memanggil, pikirannya tak bisa berhenti mengitari beban hidup yang terus menekan. Di dalam kamar sempit rumah kayu yang hanya berukuran tiga kali tiga meter, ia duduk di kursi kayu reyot dekat jendela, menatap ke luar sambil menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya.
Suara napas ibunya yang berat terdengar jelas di ruangan itu, seolah menjadi pengingat bahwa waktu yang dimiliki bersama sang ibu semakin sedikit. Lily menggenggam tangan ibunya yang keriput dan dingin.
"Bu... maaf ya, Lil belum bisa bikin hidup kita lebih baik," bisiknya, suaranya parau menahan isak tangis. Tapi ia segera menghapus air matanya dengan punggung tangan. "Besok pasti ada jalan, Bu. Lily janji."
Tak lama setelah itu, rasa lelah akhirnya membuat matanya terpejam, meski hanya bersandar di kursi kayu. Tidurnya tak tenang, dengan mimpi-mimpi buruk tentang masa lalu dan ketakutan akan masa depan. Pagi menjelang, dan suara ayam berkokok dari pekarangan tetangga membuat Lily terbangun dengan kaget. Tubuhnya pegal karena tidur dalam posisi duduk. Matahari baru saja naik, sinarnya menyusup lewat celah-celah dinding rumah yang sudah mulai lapuk.
Dia bangkit pelan-pelan, berusaha tidak membangunkan ibunya yang masih tertidur lelap. Dengan langkah gontai, ia keluar ke halaman kecil di depan rumah untuk mengambil air di sumur tua. Setiap pagi, Lily selalu harus memompa air sumur untuk mandi, sebelum kembali ke rutinitasnya di malam hari. Saat air segar menyentuh wajahnya, sedikit banyak ia merasa lebih hidup, meski beban yang ia tanggung tetap saja ada di pundaknya.
Tetangga-tetangganya sudah mulai beraktivitas, membuka warung kecil, mengayuh becak, atau sekadar membersihkan halaman rumah. Beberapa dari mereka menyapa Lily, meski sapaan itu kadang hanya terdengar basa-basi.
"Eh, Lily, pagi-pagi udah nyiram halaman aja," sapa Bu Sari, tetangga sebelah yang selalu mencibir di belakangnya. Meski begitu, Bu Sari tetap menyapanya tiap kali mereka bertemu.
Lily hanya tersenyum tipis. "Iya, Bu. Mumpung airnya masih seger."
Bu Sari mengangguk sambil melirik rumah Lily yang terlihat kusam. "Ibunya masih di rumah sakit, ya? Berat banget pasti buat kamu."
Kata-kata itu seperti sindiran yang dibalut simpati. Lily mengerti betul bahwa Bu Sari, seperti banyak orang di kampung itu, tahu apa pekerjaannya dan menggunjingkannya di belakang. Tapi, Lily sudah kebal.
"Iya, Bu, doakan aja semoga cepat sembuh," jawab Lily dengan nada datar sebelum berlalu masuk ke dalam rumah. Ia tidak ingin menambah masalah dengan adu argumen.
Setelah mandi, ia menyeduh kopi di dapur sederhana. Ia duduk di lantai dekat pintu sambil menyeruput kopi, memandang ke arah langit-langit rumah yang kayunya sudah berjamur. Pikirannya kembali melayang, mengingat masa-masa sebelum semua ini terjadi. Dulu, ia pernah punya cita-cita sederhana: ingin jadi guru SD, ingin berbagi ilmu pada anak-anak kecil. Tapi hidup memang tak selalu berjalan sesuai rencana. Ketika ayahnya meninggal, semua cita-cita itu luruh bersama kenyataan pahit.
Tiba-tiba, suara batuk ibunya terdengar dari dalam kamar, keras dan menyakitkan. Lily langsung bergegas masuk, menghampiri ibunya yang tergolek lemah di kasur.
"Bu, minum obat dulu, ya," ucap Lily sambil membantu ibunya duduk dan menyodorkan segelas air putih. Ibunya menatapnya dengan mata yang mulai cekung, bibirnya bergetar.
"Lil... kamu capek, ya, Nak? Maafin ibu... Ibu jadi beban buat kamu," kata ibunya dengan suara lirih, terasa seperti belati yang menembus hati Lily.
Lily menggeleng cepat, memegang erat tangan ibunya. "Enggak, Bu. Lily nggak capek. Lily cuma mau ibu sembuh, bisa sehat lagi. Nanti kalau ibu sehat, kita bisa pergi ke pasar bareng lagi, beli baju baru buat ibu."
Air mata mengalir di pipi Lily saat ia berusaha tersenyum. Ibunya hanya bisa mengangguk lemah, seolah ingin percaya pada kata-kata anaknya, meski tahu betul itu hanya sekadar mimpi di tengah kenyataan pahit yang mereka hadapi.
Hari itu berlalu dengan Lily yang terus bolak-balik dari rumah ke warung kecil di dekat pasar, membeli kebutuhan sehari-hari dengan uang yang tersisa. Siang menjelang sore, ia duduk di depan rumah, menunggu matahari mulai tenggelam sebelum kembali ke lorong-lorong malam.
Di kejauhan, terdengar suara anak-anak yang bermain bola di lapangan kecil. Lily memandang mereka dengan tatapan kosong, teringat masa kecilnya sendiri. Bagaimana ia dulu sering bermain di lapangan itu dengan teman-temannya, sebelum hidup mengajarinya bahwa dunia bisa begitu keras. Sekarang, ia hanya menjadi penonton, mengamati kebahagiaan yang tampak begitu jauh dari jangkauannya.
"Eh, Lily!" suara seorang pria memanggil dari seberang jalan. Wawan, teman lama yang dulu pernah satu sekolah dengannya. Wawan sekarang bekerja sebagai tukang ojek, sering kali lewat depan rumah Lily.
"Eh, Wawan, lagi mangkal di sini?" tanya Lily sambil tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan kesedihannya.
Wawan mengangguk, memarkir motornya di pinggir jalan. "Iya, Lil. Lagi nunggu orderan, sekalian mampir liat kamu. Gimana kabar? Dengar-dengar, ibu kamu lagi sakit, ya?"
Lily menunduk sebentar, lalu mengangguk. "Iya, Wan. Doakan aja semoga cepat sembuh. Tapi ya, gitu deh, biayanya juga nggak murah."
Wawan mengangguk mengerti. Ada raut simpati di wajahnya, tapi ia tahu, Lily tidak butuh belas kasihan. "Kalau butuh bantuan, bilang aja, ya. Mungkin nggak banyak, tapi bisa lah bantu sedikit-sedikit."
Lily tersenyum tipis, kali ini tulus. "Makasih, Wan. Aku ingat itu. Kamu sendiri, gimana? Lancar ojeknya?"
Wawan tertawa kecil, menggaruk kepala. "Ya gitu-gitu aja, Lil. Kadang sepi, kadang rame. Yang penting masih ada kerjaan, masih bisa hidup. Ngomong-ngomong, kalau butuh nebeng ke pasar atau rumah sakit, bilang aja, aku antar."
Lily menatap Wawan, merasa tersentuh dengan kebaikannya. Meski hidup mereka sama-sama susah, Wawan masih berusaha memberikan bantuan. "Makasih banyak, Wan. Kamu emang baik."
Wawan hanya mengangguk sambil tersenyum, lalu melambaikan tangan. "Oke, aku lanjut dulu, ya. Semoga semuanya lancar buat kamu, Lil."
Setelah Wawan pergi, Lily duduk sendiri di teras rumah, menatap matahari yang perlahan tenggelam di balik bukit kecil. Udara sore terasa lebih dingin, seolah mengingatkannya bahwa malam segera datang. Malam yang harus ia jalani dengan senyum palsu dan harapan yang mulai terkikis.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
Zhu Yun💫
Semangat kak Esa buat novel barunya 💪💪💪
2024-10-27
3