kisah cinta seorang gadis bar-bar yang dilamar seorang ustadz. Masa lalu yang perlahan terkuak dan mengoyak segalanya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon uutami, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 15
Arga duduk termenung di bawah pohon di taman kota. Semalaman, ia mabuk-mabukan karena Adiba akan menikah hari ini. Ia tak pulang, merasa hancur, menyesal dan juga marah!
Iya, ia juga merasa dihianati oleh Adiba karena wanitanya itu malah menikah dengan orang lain. Baru sebentar putus, Adiba sudah bersama lelaki lain. Pikiran-pikiran buruk bersliweran menguasai Arga.
Apa mungkin sebenarnya, hanya alasan Adiba saja? Apa mungkin inI rencana Adiba agar bisa menikah dengan pria itu? Merasa sangat konyol, dan ditipu, tangan Arga mengepal kuat.
Ia berdiri, dengan rahang yang memeras dan bibir yang menipis serta tatapan yang semakin tajam.
Ia lantas berjalan cepat ke parkiran mobilnya, dan melaju dengan kecepatan tinggi. Tak ia hiraukan gawainya menjerit berkali-kali. Ia akan mengacaukan pernikahan Adiba!
"Adiba!"
Arga masuk ke tenda pelaminan, datang dengan tubuh yang bau alkohol dan sempoyongan.
"Adiba! Kamu nggak bisa lakukan ini padaku, Adiba!" teriaknya membuat perhatian teralih padanya.
"Aku masih mencintaimu, Adiba! Kenapa kau hianati aku dan menikah dengan pria lain?"
Arga berjalan semakin ke depan, menangis, meraung, seolah ia orang paling tersakiti di sini. Para tamu undangan mulai terdengar berbisik-bisik. Ia berhasil.
"Tiga tahun, Diba, tiga tahun kita pacaran! Apa tiga tahun kebersamaan kita tidak berarti sama sekali untukmu?" Arga maju sampai ke depan panggung pelaminan. "Kita sudah sangat dekat, sangat dekat Adiba."
Adiba sampai kesal dan marah dengan drama yang Arga mainkan ini. Tangannya mengepal sampai buku-buku jarinya memutih. Adiba berdiri, mengangkat tangannya.
"Cukup! Kamu saja sudah kuminta menemui ayah dan bunda selalu mengelak, giliran ada yang serius melamar, malah ketar-ketir! Kamu yang memulai berhianat, sekarang malah bersikap seperti korban, kamu waras?" katanya tak kalah emosi.
"Adiba, aku belum siap.."
"Pergi!" usir Adiba yang sudah tak mau ada drama.
Pak Mus yang melihat dari atas pelaminan pun, tertegun. Bagaimana bisa ada orang senekad ini? Merusak pernikahan anaknya. Mata pak Mus mengedar dan melihat beberapa panitia. Memberi isyarat agar Arga diusir saja. Mereka bergerak maju, sementara Arga terus mengoceh.
"Arga!"
Tiba-tiba terdengar suara lantang menerobos dari arah pintu masuk pelaminan. Seorang wanita yang dulu pernah Adiba lihat bermesraan dengan Arga.
"Tuh, pacarmu udah datang menjemput! Jangan coba-coba kacaukan pernikahanku!" Adiba berbalik dan merangkul suaminya dengan sangat mesra. Sengaja.
"Ka-kamu ngapain sih ke sini?!" ujar Arga kesal pada wanita itu.
"Aku telpon kamu, kenapa kamu tidak angkat juga!? Rupanya kamu malah ke sini!"
"Itu bukan urusan mu. Kita udah putus."
"Enggak bisa, Arga! Aku hamil, kamu harus tanggung jawab."
Terdengar suara riuh para tamu yang juga menyaksikan drama ini. Tapi, lebih riuh lagi suara tawa Adiba.
"Alhamdulillah, aku sudah diselamatkan ya Alloh." Adiba kini memandang sinis mantan pacarnya. "Makanya, jadi orang tuh, harus bisa tahan nafsu!"
"Kamu harus tanggung jawab, Ga!" desak wanita itu lagi pada Arga. Arga menampik dengan senyum miring. "Paling itu juga bukan anakku. Waktu aku tidurin kamu, kamu udah nggak perawan!"
Suara para tamu undangan sudah semakin riuh saja, membuat pihak panitia bergegas menarik Arga keluar."Jangan bikin keributan di sini, ayo keluar!"
"Lepas, pak! Aku masih mau bicara sama Adiba." Arga memberontak, namun tak diberi kesempatan untuk kembali.
"Kamu ini! Ini semua gara-gara kamu!" hardik Arga dengan nada keras. Setelah mereka berpindah ke jalan di luar tenda pelaminan. Pria itu mengusap wajahnya, lalu menyugar rambut ke belakang.
"Kamu harus tanggungjawab, Ga! Aku nggak mau tau, aku akan temui mama papamu!"
Tatapan mata Arga tajam tak percaya, wanita itu tersenyum miring, "Aku punya bukti vidionya. Mereka pasti percaya."
Mata Arga melotot, mengangkat tangannya menunjuk si wanita.
"Jangan berani macam-macam kamu sama aku."
"Kamu yang jangan macam-macam..." Si wanita menatap remeh dari atas ke bawah, "Arga!" Lalu melangkah pergi.
Arga tak berkutik.
Di dalam tenda pelaminan, suasana sudah mulai kondusif. Para tamu undangan mulai menyalami memberikan selamat, sampai tiba Adiba melihat wanita itu lagi, wanita yang menangis saat Satria menggaungkan ijab kabulnya.
"Siapa sebenarnya wanita ini? Apakah dia punya hubungan dengan mas Satria?" batin Adiba.
Wanita itu semakin mendekat, naik ke panggung pelaminan bersama dengan beberapa wanita yang memakai pakaian senada satu persatu menyalami ayah dan bunda-nya Adiba yang duduk di sebelah kanan panggung. Giliran wanita itu sampai pada mempelai, Satri menangkupkan tangan di dada, wanita itu juga.
"Selamat, ya, mas Satria."
"Makasih," sahut Satria tersenyum.
Adiba terus memperhatikan, tidak ada gerakan aneh sama sekali di antara keduanya. Lalu wanita itu berganti menyalami Adiba, "selamat ya," ucap wanita itu seperti memaksakan senyuman. Menyalami lalu bercipika-cipiki dengan Adiba.
"Makasih ya kak," kata Adiba. Wanita itu hanya tersenyum tipis lalu pergi.
Walau merasa aneh, tapi Adiba tak mau ambil pusing. Ia lebih memilih percaya pada Satria yang mengatakan hanya akan ada dirinya di hati. Percaya pada keluarga suaminya, jika memang dia adalah satu-satunya istri Satria. Apalagi mereka keluarga terpandang tak mungkin akan membohongi dirinya hanya demi sebuah pernikahan yang aneh ini.
****
Di kamar
Setelah pesta resepsi selesai, keluarga Satria pulang bersama rombongan. Sementara pria itu tetap tinggal di rumah Pak Mus.
"Butuh bantuan nggak?" tanya Satria pada sang istri yang sedang melepas siger di kepalanya.
"Mas Satria ngapain masuk?" protes Adiba cemberut.
"Lah kenapa? Mas kan suamimu," sahut Satria terkekeh.
"Malu tahu!" Adiba mencebik.
"Masa sama suami sendiri malu?"
"Adiba kan belum terbiasa," kelit gadis itu masih dengan wajah masam. "Mas Satria keluar deh. Katanya nggak akan maksa kalau Diba belum siap."
Satria terkekeh geli, "iya, iya, mas keluar. Beneran kamu nggak butuh bantuan?"
"Enggak!"
"Ya udah mas keluar ya, mau bantu-bantu ayah. Kalau butuh apa-apa, panggil mas," pesan Satria melangkah keluar dan hendak menutup pintu.
"Mas!" panggil Adiba. Walau bagaimanapun Adiba mengelak, tetap saja yang tadi itu Adiba kepikiran juga.
Langkah Satria tertahan, menoleh pada sang istri. "Heemmm?"
"Yang tadi, Adiba minta maaf," lirih Adiba.
"Yang mana?"
"Mantan pacar Diba yang datang mengacau. Adiba nggak tau kenapa dia sangat nekad. Bersikap seperti aku yang sudah menghianati dia, padahal dia yang lebih dulu berselingkuh sama cewek lain."
Satria urung keluar, melangkah lebih ke dalam dan duduk setelah menarik kursi mendekat.
"Apa kamu menyesal sekarang, nikah sama mas?"
"Enggak!" jawab Adiba tegas. "Aku nggak pernah menyesal untuk ini. Aku hanya merasa tak enak pada Abah dan umi. Kalian jadi..."
Satria menggenggam tangan Adiba, sampai gadis itu tak dapat berkata. Satria mengulas senyuman. "Adiba, mereka orang yang terbuka. Mereka mengerti hanya dengan melihat situasi tadi. Mas juga, kamu tidak perlu menjelaskan."
Walau Adiba belum cinta pada Satria, tapi ia juga tak mau mencoreng nama baik mertua dan suaminya ini. Kini, masih ada satu lagi yang mengganggu pikirannya. Tentang wanita itu.
"Wanita tadi siapa?" tanya Adiba yang akhirnya tak tahan oleh rasa penasaran yang membunuh.
Alis Satria berkerut, "Wanita yang mana?"
"Yang tadi ngucapin selamat sama kita di atas panggung. Yang pakai seragam gamis warna toska."
Satria masih bingung dengan penggambaran dari istri barunya ini , "yang mana ya?"
"Itu loh yang ada tahi lalatnya di atas bibir."
Satria tampak mengingat-ingat lalu tersenyum,"oh itu Novi."
"Mbak Novi siapa?"
"Dia dulu teman kuliah mas, rumahnya juga masih di sekitaran kampung Pakis." Satria menjelaskan,"nanti kalau kamu udah tinggal di sana, kamu juga pasti bakal kenal kok. Dia aktif juga ikut banyak kegiatan. Jadi nanti kalian pasti ketemu juga."
"Bukan orang spesialnya mas Satria, kan?" Selidik Adiba dengan mata memicing.
Satria tertawa istrinya baru saja menikah tapi sudah terlihat cemburu.
"Eeh, Mas Satria Jangan salah paham ya, Adiba bukannya cemburu. Adiba udah bilang kan kalau Adiba nggak mau ada wanita lain," elak Adiba walau sebenarnya ada sedikit rasa cemburu di hatinya. Mereka sudah menikah, Adiba tak mau ada duri nanti.
"Iya mas tau, akan selalu mas ingat." Satria mengulas senyuman yang menambah debaran di dada Adiba.
"Udah nggak ada lagi yang mau ditanya?"
"Nggak!" ketus Adiba memalingkan wajah.
"Ya udah mas keluar ya."
"Hemmm."