Terdengar suara 'sah' menyeruak ke dalam gendang telinga, seolah menyadarkan aku untuk kembali ke dunia nyata.
Hari ini, aku sah dipersunting oleh seorang Aleandro. Pria dingin dengan sejuta pesona. Pria beristri yang dengan sengaja menjadikan aku sebagai istri kedua.
Istri pertamanya, Michelle bahkan tersenyum manis dan langsung memelukku.
Aneh, kenapa tidak terbersit rasa cemburu di hatinya? Aku kan madunya?
Tanya itu hanya tersimpan dalam hatiku tanpa terucap sepatahpun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moena Elsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tak Rumit
Aleandro tak ingin menunda taktik yang sudah disusun.
Saat usia kehamilan Michelle dirasa sudah aman, sesuai janjinya maka Aleandro merubah hak milik mansion diatasnamakan Michelle beserta mobil mewah yang ada.
Ponsel Aleandro berdering saat dirinya sedang rapat dengan rekanan. Ada nama Michelle di sana.
Aleandro tersenyum sinis. Pasti orang suruhannya sudah bertemu dengan Michelle saat ini, hingga Michelle langsung menelponnya.
Rapat hampir usai, Aleandro menggeser ikon hijau yang ada di layar ponsel.
"Makasih sayang, pasti anak kita akan senang sekali menerima hadiah dari papanya," ujar Michelle di seberang, padahal Aleandro belum mengucapkan sepatah kata pun. Aleandro baru memberikan copyan surat yang diatasnamakan Michelle lewat anak buahnya.
"Oh ya, gimana dengan saham perusahaan?" lanjut Michelle.
"Aku akan memberikan jika sudah tahu hasilnya," tukas Aleandro.
"Hasil apa?" tanggap Michelle.
"Sok lupa segala. Bahkan kita telah sepakat dan itu sudah kamu tandatangani loh," seru Aleandro. Aleandro sengaja memasang perangkap agar Michelle mau mengikuti apa yang dia mau. Licik dibalas licik, itu namanya impas.
"Hah? Tanda tangan?" seru Michelle.
"Besok, Martin akan menjemputmu. Siapkan saja dirimu," suruh Aleandro.
"Mau kemana? Kenapa bukan kamu saja yang menjemputku?"
"Aku besok ada rapat keluar kota. Akan ada Martin yang menemani kamu sampai selesai prosesnya. Aku tak sabar kasih kejutan buat kamu," ada seringai kejam di balik suara Aleandro saat menelpon.
"Kejutan apa?" tanya Michelle penasaran dan Aleandro sengaja tak menjawab tapi langsung menutup panggilannya.
"Cih, dia pasti berharap aku memberikan sesuatu untuknya. Seperti kebiasaannya selama ini," gumam Aleandro kesal pada dirinya sendiri.
.
"Kita mau kemana Martin?" tanya Michelle karena Martin yang terus memaksanya sedari tadi.
"Sebaiknya anda menurut saja nyonya, sebelum tuan muda berubah pikiran," beritahu Martin.
"Kasih tahu dulu," paksa Michelle.
"Atau sebaiknya surat pengalihan hak rumah beserta isinya ini kita batalkan saja," Martin menunjukkan surat kuasa Aleandro.
"Sialan. Beraninya cuman ngancam saja," kesal hati Michelle.
Martin melajukan mobil ke suatu tempat.
Michelle mengikuti langkah Martin menuju sebuah ruangan.
"Gila, Aleandro benar-benar ingin melakukannya?" Michelle kaget saat Jerome sudah menunggunya.
"Hhhmmm, silahkan duduk nyonya Michelle yang terhormat," sambut Jerome.
"Akan kulaporkan polisi atas tindakan kalian. Ini namanya pemaksaan kehendak" kata Michelle.
"Anda mengancam kami?" ucap Jerome seraya tersenyum licik.
"Awas saja kalian," tatapan marah Michelle tertuju ke Jerome dan Martin.
"He... He... Santuy aja nyonya Michelle. Silahkan duduk," Jerome menyilahkan.
Michelle duduk terpaksa.
"Takut ya kehilangan aset yang semua sudah atas nama kamu?" sindir Jerome.
"Aku tak menyangka Michelle, sekian lama menjadi istri sahabatku tenyata sifat kamu tetap saja sama," sindir Jerome.
"Kalian ini kenapa sih? Sejak ada wanita jal4ng itu malah ikutan membenciku?" kata Michelle kesal.
"Semua atas kehendak dan persetujuan anda nyonya Michelle. Apa anda melupakannya? Tuan Aleandro melakukan semuanya karena kendali anda, betul?" tukas Martin menyela.
Michelle mencebikkan bibirnya, kesal dengan kedua pria di depannya.
Prosedur pengambilan sampling telah dilakukan tanpa masalah yang berarti. Ancaman pengalihan aset dan iming-iming saham cukup ampuh untuk membuat Michelle menurut apa yang Aleandro mau.
Martin melaporkan semua, dan Aleandro meminta Jerome untuk menjaga proses pemeriksaan itu aman.
.
Sementara Aleandro pergi ke luar kota karena ada agenda rapat dengan perusahaan rekanan.
Aleandro sengaja membawa Andine ikut dengannya, karena Andine yang terus merajuk ingin ikut. Bawaan orok kali ya.
"Sayang, tunggulah sementara di hotel. Rapat akan kuselesaikan secepatnya," pamit Aleandro.
"Ngapain aku ikut kalau ujung-ujungnya cuman di hotel," ucap Andine dengan bibir manyun, membuat Aleandro gemas dan langsung melumat abis bibir Andine. Sejak hamil, Andine begitu menggoda. Pikiran Aleandro ngeres.
Andine kesal karena kebucinan Aleandro berada di atas level tertinggi.
"Habis ini kita ke pantai. Jadi tunggu aku selesai ya. Love you my wife," Aleandro mengecup mesra kening Andine.
"Yeeeiii....," sorak Andine, lupa kalau dirinya sedang hamil.
Diajak ke pantai aja, senangnya sampai sebegitunya. Batin Aleandro heran. Bahkan berapa bulan menjadi istri Aleandro, tak pernah ada laporan pemakaian kartu debit lewat m banking Aleandro.
Sepeninggal Aleandro, ponsel Andine berdering.
"Hhhmmm siapa ini?" nomor tak dikenal lagi yang menelpon.
Awalnya Andine ogah mengangkat telpon, tapi karena sudah lima kali nomor itu menghubungi maka Andine mengangkatnya.
"Ya, halo," sapa Andine.
"Bisa bicara dengan nyonya Andine Shadiqah?" tanya sang penelpon.
"Saya sendiri tuan," jawab Andine meragu.
"Baik nyonya. Kami dari pihak kepolisian ingin mengabarkan jika tuan Aleandro mengalami kecelakaan," suara penelpon penuh ketegasan.
"Hah?" ponsel hampir jatuh, Andine berusaha menahannya.
"Kami tunggu anda di lobi hotel nyonya. Kami akan mengantar anda ke lokasi," ucap sang penelpon yang seorang pria itu.
"Wait... Wait.....," Andine tak bisa berpikir jernih. Andine ingin secepatnya bertemu Aleandro.
"Semoga semuanya baik-baik saja," harap Andine dalam hati.
"Coba aku telpon Aleandro dulu," Andine menekan nomor suami. Tak ada jawaban, nomor Aleandro tidak aktif.
Andine menghela nafas, berharap tak terjadi hal yang buruk pada suaminya.
Dengan baju yang menempel di badan, Andine turun ke lobi.
Dua orang pria siap menyambutnya di lobi.
"Nyonya Andine," sapa salah satu.
'Aneh, mereka sudah mengenalku kah?' batin Andine bermonolog.
Andine menatap aneh pada dua pria yang tak berseragam itu. Padahal mereka ngakunya dari pihak berwajib.
"Maaf nyonya, kebetulan kami sedang lepas dinas. Dan barusan ada perintah dari atasan kami untuk menjemput anda," jelasnya seolah tahu jalan pikiran Andine. Memang saat ini, dua orang pria itu memakai baju layaknya orang awam.
"Di mana lokasinya? Bagaimana keadaan suami saya?" tanya Andine menuntut penjelasan.
"Kita antarkan nyonya," salah satu pria membukakan pintu mobil untuk Andine tanpa menjawab tanya.
Andine mencoba menghubungi nomor Aleandro lagi, dan notif tak aktif masih saja terdengar.
'Bagaimana ini? Apa iya aku harus ikut mereka,' Andine garuk kepala yang tak gatal.
"Tuan, cukup beritahu saja di mana suami saya dirawat," kata Andine.
"Kami antarkan saja nyonya, bahaya bagi wanita hamil pergi sendirian," balas nya.
'Mereka juga tahu aku hamil loh. Siapa sih mereka?' dahi Andine berkerut.
"Tuan, boleh saya ambil minum dulu," pamit Andine mengambil botol minum di dekat meja resepsionis. Berjalan menjauh, memberi kesempatan Andine untuk berpikir lebih lama.
'Come on Ale, angkatlah telponmu,' Andine masih berusaha menelpon sang suami.
"Hhmmm, kenapa aku nggak nelpon asistennya saja," ide muncul begitu saja selepas Andine minum.
'Ternyata minum air meningkatkan daya ingat dan konsentrasi itu benar adanya,' Buktinya Andine tuh. Habis minum, otaknya langsung bisa bekerja.
"Hhhmmm nggak aktif juga, mereka pada kemana sih?" kata Andine kesal.
"Masih lama nyonya?" pria itu menghampiri membuat Andine terkaget.
"Maaf... Maaf....," keduanya menangkupkan telapak tangan masing-masing di dada.
"Ayo," Andine memutuskan ikut kedua pria tegap tadi.
Semoga aman-aman semuanya.
🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺
Like, komen, vote dan subscribe jangan lupa ya genksssssss....
Love you all... Muach.... Muach.....