Dipinang adiknya, tapi dinikahi kakaknya. Loh!! Kok bisa? Terdengar konyol, tapi hal tersebut benar-benar terjadi pada Alisya Mahira. Gadis cantik berusia 22 tahun itu harus menelan pil pahit lantaran Abimanyu ~ calon suaminya jadi pengecut dan menghilang tepat di hari pernikahan.
Sebenarnya Alisya ikhlas, terlahir sebagai yatim piatu yang dibesarkan di panti asuhan tidak dapat membuatnya berharap lebih. Dia yang sadar siapa dirinya menyimpulkan jika Abimanyu memang hanya bercanda. Siapa sangka, di saat Alisya pasrah, Hudzaifah yang merupakan calon kakak iparnya justru menawarkan diri untuk menggantikan Abimanyu yang mendadak pergi.
*****
"Hanya sementara dan ini demi nama baikmu juga keluargaku. Setelah Abimanyu kembali, kamu bisa pergi jika mau, Alisya." ~ Hudzaifah Malik Abraham.
Follow ig : desh_puspita
******
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama konten kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 25 - Sanggup, Om!!
"Kenapa Hah? Sure dong harusnya!!" timpal Sean balik melempar pertanyaan.
Tak segera menjawab, Hudzai masih mengerjap pelan dan menangkap maksud Sean. Sebuah tantangan yang cukup luar biasa dan jelas saja tidak bisa Hudzai jawab dengan cepat.
"Jawab ... tidak sanggup kah?"
"Sa-sanggup!!" sahut Hudzai tegas, tapi sempat terbata di awal dan hal itu membuat Sean malas menerima uluran tangannya.
"Sanggup, Om, sanggup!!" ulangnya sekali lagi. Lirikan om sekaligus sang mertua itu dapat Hudzai tangkap dengan jelas apa maknanya.
"Yakin sanggup?"
"Yakin," sambar Hudzai cepat, tanpa jeda sama seperti sighat qabul yang dia lafadzkan tepat di hari pernikahan.
Jawaban Hudzai sontak menciptakan senyum tipis di wajah pemilik mata tajam tapi meneduhkan itu.
"Bagus!! Kalau benar sanggup, silakan lakukan sesuai rencanamu ... Om tunggu kabar baiknya, Hudzaifah," tutur pria itu sembari mengacak pelan rambut keponakannya.
Hudzai tidak lagi menjawab, dia hanya mengangguk dan kini terdiam tatkala Om Sean berlalu pergi. Sungguh ujian bagi Hudzai, pria itu sampai mengusap kasar wajahnya beberapa kali.
Dalam kesendirian, dia menghela napas panjang. Maksud hati hanya pamit untuk tinggal berdua dan hidup mandiri, Hudzai justru menerima syarat semacam ini.
"Tiga bulan?" gumam Hudzai pelan.
Permintaan Om Sean benar-benar menjadi beban pikiran. Jika biasanya seorang istri yang tertekan lantaran dituntut masalah momongan, Hudzai justru sebaliknya.
Baru beberapa hari pasca akad, dia sudah dituntut untuk membuat istrinya hamil dalam kurun waktu yang cukup singkat. Tiga bulan, sebenarnya sangat cukup, tidak terlalu singkat.
Jika ditanya sanggup atau tidaknya, sebenarnya bisa saja. Hudzai adalah pria normal yang paham betul makna pernikahan, mustahil dalam waktu dekat mereka tidak akan bersentuhan.
Akan tetapi, Hudzai tidak dapat memastikan apa mungkin hal itu akan terwujud? Walau sekuat apapun berusaha, tetap kembali pada kuasa Sang Pencipta.
"Apa mungkin bisa?" Belum apa-apa, Hudzai sudah ragu dibuatnya.
Bukan ragu karena kesuburan di antara mereka, tapi jauh di lubuk hati Hudzai dia ragu akan kesiapan sang istri sebenarnya.
Mengingat Alisya sampai tidur dengan mengenakan hijab dan juga sempat terpaku tatkala dia membahas masalah nafkah batin tepat di malam pertama, Hudzai mengira bahwa memang ada ketakutan dalam diri Alisya sebagai wanita.
Entah sebuah bentuk penolakan karena suaminya bukan Abimanyu atau apa, tapi yang pasti Hudzai khawatir permintaan untuk memiliki anak justru membuat Alisya semakin tertekan.
"Hudzai!!"
"Ehm?"
Teriakan melengking dari sang papa menyadarkan Hudzai yang sejak tadi gusar di halaman belakang.
"Papa?" Perlahan dia menghampiri Papa Zean yang tampak memiliki kepentingan secara pribadi dengannya.
Hal itu bisa ditebak lewat raut wajahnya, mustahil jika hanya memanggil saja. "Ada apa, Pa?"
"Bahas apa sama om Sean?" tanya Papa Zean langsung pada intinya.
Sesuai dugaan, Super Hero-nya itu datang dengan berbagai pertanyaan yang kemungkinan sudah dikumpulkan sejak beberapa saat lalu.
"Ehm, tidak ... cuma minta izin buat hidup mandiri saja, Pa."
"Mandiri?" tanya Papa Zean yang kemudian dia tanggapi anggukan pelan. "Tinggal berdua dan keluar dari rumah ini maksudmu?" lanjutnya kemudian.
"Hem, benar, Pa," aku Papa Zean mengangguk mengerti.
"Terus gimana tanggapan Om Sean? Diizinkan?" tanya Papa Zean penasaran sampai sengaja menghampiri Hudzai demi mendapatkan berita langsung dari sumbernya.
"Alhamdulillah ... diizinkan, Pa."
"Syukurlah," sahut Papa Zean menghela napas panjang.
Pengakuan Hudzai seketika membuat Papa Zean agak tenang. Sempat menerka dan menduga bahwa sang putra justru membahas hal yang tidak ingin dia dengar sebenarnya, nyatanya tidak demikian.
"Tapi kenapa dia berubah pikiran? Bukankah sebelumnya Sean tidak memberikan izin untuk sementara waktu?" tanya Papa Zean memastikan.
Hudzai menggigit bibir, sedikit ragu untuk mengutarakan hal ini, tapi dia merasa memang seharusnya terbuka pada sang papa. "Ada syaratnya sih, Pa."
"Syarat?"
"Iya, Pa, ada syaratnya."
"Apa kalau boleh tahu?" selidik Papa Zean mulai curiga.
Dugaan bahwa sang putra akan diminta menjadi pengurus panti atau bekerja di bengkel seketika memenuhi pikiran Papa Zean yang terlatih untuk suudzon sejak zaman purbakala itu.
Jika benar iya Sean tega sampai bersikap semena-mena, maka Papa Zean jelas tidak akan diam saja, begitu pikirnya.
"Dzai, cepat katakan apa syaratnya? Apa memang susah?" tanya Papa Zean mulai tak sabar dan siap andai harus perang saudara.
Hudzai yang ditanya juga tidak segera menjawab, jelas saja hal itu membuatnya sebal bukan main. "Ck, Dzai katakan!! Apa syaratnya sangat berat, Sayang?"
"Entahlah, aku tidak mengerti sebenarnya ini termasuk berat atau tidak ... tapi_"
"Tapi apa? Katakan pada Papa, jangan pernah takut karena Papa ada di belakangmu."
"Aku ragu bisa memenuhi tantangannya atau tidak, Pa."
"Loh? Kenapa memangnya? Seorang Hudzai sejak kapan jadi penakut begini Papa tanya? Hem?"
"Bukan penakut, Pa, tapi aku tidak yakin bisa membuat Alisya hamil dalam waktu tiga bulan kedepan, Pa," papar Hudzai tanpa ditutup-tutupi dan berakhir membuat Papa Zean tersedak ludah.
"Cih, jadi syaratnya itu?"
"Iya, Pa, termasuk berat, 'kan?" tanya Hudzai meminta pandangan sang papa sebagai yang lebih tua dan banyak mengalaman dalam menyelesaikan masalah.
Akan tetapi, alih-alih menjawab Papa Zean justru tergelak dengan suara menggelegar dan cukup mengusik telinga sebenarnya.
"Papa kenapa tertawa, memang benar berat 'kan, Pa?"
"Kalau cuma begitu mah kecil!! Jangankan tiga bulan, satu bulan saja mungkin bisa!! Bikin anak mah gampang, Dzai!" tutur Papa Zean begitu menyepelekan tantangan untuk putranya.
"Gampang apanya, Pa?"
"Astaga tidak percaya? Pekerjaan paling menyenangkan di dunia adalah bikin anak, tahu?!"
"Oh iya?"
"Iyaaa ... mana enak lagi, coba saja kalau tidak percaya."
"Gitu ya, Pa?"
"Betul, tapi usahakan Alisya sudah rela, jangan memaksa ya."
Hudzai mengangguk patuh, untuk hal ini dia memang bisa mengerti dan sudah sangat pahami. Akan tetapi, ada hal yang lebih penting dan perlu dia pertanyaan sebagai laki-laki.
"Tapi, Pa ...."
"Tapi apalagi, Hudzai? Masih ada yang mengganggu pikiranmu?"
"Cara minta izin sama Alisya-nya gimana?"
"Heh? Kenapa malah tanya papa?!"
.
.
- To Be Continued -