"Dia membuang sebuah berlian, tapi mendapatkan kembali sesuatu yang kurang berharga. Aku yakin dia akan menyesali setiap keputusannya di masa depan, Illana."—Lucas Mathius Griggori.
Setelah cinta pertamanya kembali, Mark mengakhiri pernikahannya dengan Illana, wanita itu hampir terkejut, tapi menyadari bagaimana Mark pernah sangat mengejar kehadiran Deborah, membuat Illana berusaha mengerti meski sakit hati.
Saat Illana mencoba kuat dan berdiri, pesona pria matang justru memancing perhatiannya, membuat Illana menyeringai karena Lucas Mathius Griggori merupakan paman Mark-mantan suaminya, sementara banyak ide gila di kepala yang membuat Illana semakin menginginkan pria matang bernama Lucas tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sunny Eclaire, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26. Menyentil.
"Akhirnya adik bungsu kita menepati janji untuk datang, lama tidak berjumpa." Jeremy cukup senang menanggapi kemunculan Lucas pada acara pertunangan Mark dan Deborah malam ini, setidaknya keberadaan Lucas melengkapi personel keempat putra Hana.
"Siapa sangka dia akan hadir." Nada bicara Niel terdengar menyindir. "Bukankah aku benar?"
"Ya. Niel benar." Lucas meneguk wine setelah mengambilnya dari seorang pramusaji acara ini, ia berdiri di antara kedua kakaknya seraya menatap sepasang manusia yang berhasil mengikat janji di depan banyak orang, Mark dan Deborah.
Suasana hati Lucas cukup baik, sehingga ia menyempatkan waktu untuk datang, meski tak berminat menyapa kakak sulungnya, Steve Griggori. Mereka telah saling menemukan, tapi Lucas memilih tidak peduli dan hanya berinteraksi dengan kedua kakak lainnya.
"Aku cukup senggang, sekaligus menyenangkan ibu. Dia telah memaki diriku sebagai anak durhaka, aku takut dikutuk menjadi batu." Ia berhasil membuat kedua kakaknya tertawa, jika saja Steve tak membuat kekacauan besar, pasti kehangatan antara keempat putra Hana semakin terlihat.
"Tunggu, aku mendengar bahwa kau mengawasi berlabuhnya kapal berisi barang selundupan hari ini." Jeremy mengecilkan suaranya, cukup mereka bertiga saja yang mendengar.
Lucas mengangguk. "Pagi ini, pada pukul tiga. Semua berjalan lancar. Mengapa kau tahu?"
"Klienmu adalah teman lamaku, dia tidak berniat bercerita, tapi saat kami bertemu—terlihat jelas kegelisahan di wajahnya. Dia takut kau menipunya."
"Shit! Namaku akan sangat buruk jika melakukan hal sekonyol itu." Ia meneguk habis sisa wine dari gelas sebelum meletakannya pada nampan milik pramusaji yang melintas di dekatnya. "Lalu, bagaimana bisnis kalian berdua? Semua aman?"
"Kami baik-baik saja." Niel bersuara, ia melihat ke arah Steve yang sibuk berinteraksi dengan tamu lain. "Apa kau masih bermasalah dengan Steve? Mengapa dia tak menghampiri kemari?"
Lucas mendengkus, tatapannya dingin untuk Steve. "Aku suka seperti ini, aku suka bermasalah dengannya. Jika aku membuat keributan, kalian akan berpihak kepada siapa?"
"Hei, adik. Kau berniat melakukannya, huh?" Jeremy tampak cemas, sementara Niel menyentuh bahu adik bungsunya.
"Seseorang memang harus membuat sedikit keributan untuk mempertahankan posisi masing-masing, lagipula selama ini Lucas selalu melindunginya. Menurutku bukan masalah besar jika Lucas ingin menunjukan siapa paling kuat."
"Kau mendukung bocah ini, Niel?" Jeremy semakin tak mengerti. "Aku lebih senang menghindari konflik, tolong ingat kesehatan ibu. Jangan sampai membuatnya—"
"Aku tahu." Lucas menyela. "Aku hanya menggertak saja, mengapa kau setakut itu, Kak?" Ia tersenyum miring. "Apa yang bisa aku lakukan, tergantung bagaimana sikap Steve kepadaku."
"Aku hanya mengingatkanmu saja. Ibu sudah tua, mari tetap membuatnya merasa tenang."
"Ya, baiklah. Aku mendengarkanmu. Sekarang aku ingin mengucapkan selamat kepada pasangan kekasih di sana." Ia berjalan menjauh dari kedua kakaknya, bergerak menuju Mark serta Deborah.
"Paman Lucas, kamu datang." Wanita bergaun putih tersebut tersenyum hangat, ia selalu berusaha akrab terhadap paman-paman Mark.
"Ya. Selamat untuk pertunangannya." Ia bersikap ramah, bersalaman dengan Deborah.
"Terima kasih banyak, Paman."
Lucas bergeser pada Mark, ia juga bersalaman dengan keponakannya, tapi sengaja merapatkan tubuh seraya berbisik pelan di samping telinga Mark agar Deborah tak perlu mendengarnya.
"Selamat atas pertunanganmu, Tuan muda. Aku juga ingin memberitahu bahwa hanya menghitung hari, Illana menjadi milikku. Apakah ini kemenangan?" Ia menyeringai seraya meremas tangan Mark, sementara keponakannya sekadar tersenyum datar seraya bersikap normal, ia tak ingin terpengaruh mendengar ucapan Lucas.
"Terima kasih."
Sang paman kembali mengatur jarak, ia telah melepaskan tangan Lucas dan tersenyum hangat seperti sebelumnya. "Aku kembali bergabung dengan tamu lain."
Saat Lucas berjalan menjauh, Mark menatap dingin punggung pamannya. Hubungan persaudaraan Lucas dan Steve renggang karena pengkhianatan kakak sulung, lalu hubungan antara paman serta keponakan tersebut berubah aneh sejak Mark bercerai dengan Illana.
Hanya tiga puluh menit Lucas mempertahankan diri di tempat ini, ia memutuskan pergi setelah puas berinteraksi dengan beberapa orang, termasuk Hana.
"Paman."
Panggilan tersebut mengurungkan niat Lucas ketika hendak membuka pintu mobilnya, ia menoleh menemukan Mark sudah berdiri di samping pilar beranda gedung.
"Ah. Siapa sangka keponakanku berinisiatif menghampiri, bagaimana jika Deborah mencarimu?"
Mark mendekat, ekspresinya dingin. "Aku sungguh penasaran dengan alasan itu, mengapa harus Illana? Aku yakin Paman tidak kekurangan wanita, banyak wanita menyukaimu, mengapa harus Illana? Apa dia juga menyukaimu?"
Mudah bagi Lucas menebak mengapa Mark sampai menyusulnya keluar dan meninggalkan sejenak acara pertunangan di dalam, mereka tidak pernah saling menghubungi atau bertemu, sehingga menjadi kesempatan bagi Mark berbicara ketika pamannya muncul seperti ini.
"Mengapa harus saling menyukai? Bukankah pada awalnya kau dan Illana juga tidak saling menyukai?" Ia tersenyum mengejek. "Salah, maksudku adalah kau hanya berpura-pura tinggal di sisinya, kau tidak pernah menyukai Illana. Sementara aku sangat menginginkan wanita itu."
"Apa maksudmu? Paman tidak tahu apa pun antara aku dan Illana."
"Mengapa keponakanku sangat percaya diri?"
"Apa? Illana mengatakan sesuatu, huh? Apa yang dia katakan?"
"Apa yang dia katakan?" Mengingat jika sepanjang dua tahun pernikahan Mark tak pernah bersentuhan dengan Illana saja cukup membuat Lucas sangat muak. Bagaimana mungkin wanita sebaik itu dicampakan sepanjang waktu sehingga merasa tidak pantas diinginkan oleh siapa pun.
"Ya. Dia mempengaruhimu?"
Lucas mendengkus, ekspresinya datar. "Illana tak perlu mengatakan atau mempengaruhiku. Bagi pria yang menginginkannya, masa lalu bukanlah sebuah penghalang. Aku hanya mengambil berlian yang kau buang, Mark. Aku harus memolesnya agar tetap bersinar, atau semakin bernilai."
Terbesit pemikiran buruk di kepala Mark. "Apa Paman melakukan sesuatu, sehingga Illana setuju menikah denganmu, huh? Seharusnya Paman menjauh, aku yakin kau paham bahwa kehidupanmu cukup gelap."
"Lalu, kau berpikir bahwa aku akan menyeretnya pada kegelapan itu?" Lucas mulai kesal. "Mengapa kau sangat naif, Mark. Setidaknya aku benar-benar menginginkannya, bukan menipu seseorang agar tetap berada di sisimu, lalu membuangnya saat kau menemukan orang lain."
"Paman—"
"Mark!"
Keduanya menoleh, Deborah muncul dan menghampiri mereka, ia berhasil mengakhiri ketegangan antara paman serta keponakan tersebut.
"Apa yang terjadi? Aku mencarimu di dalam," ucap Deborah seraya menggandeng lengan Mark.
Pria itu tersenyum. "Bukan apa-apa, aku hanya mengantar paman keluar. Sangat jarang bisa bertemu dengannya, jadi kami berbincang sedikit."
"Benarkah?"
Lucas mengangguk. "Aku hanya berpesan kepada Mark agar tidak berpaling darimu, dia harus belajar mempertahankan sebuah hubungan dan setia." Ia kembali tersenyum mengejek kepada Mark, menyindir memang menyenangkan.
"Ah. Terima kasih, Paman. Aku akan membuat Mark tetap berada di sisiku, dia tak mungkin berpaling."
"Ya. Tentu saja. Aku bisa pulang sekarang. Kembalilah ke dalam, banyak orang menunggu."
***
Apartemen Illana.
Sekaleng cola, laptop serta beberapa lembar hasil laporan yang diberikan Nora pagi tadi menjadi teman Illana mempertahankan kelopak matanya agar tetap terbuka meski sudah menguap beberapa kali.
Ia memilih bersila di sofa ruang tamu karena AC di kamarnya tiba-tiba mati, ia telah menghubungi teknisi apartemen, dan mereka berkata akan segera memperbaikinya besok.
Bel pintu utama berbunyi. Illana hampir terlonjak dari sofa.
"Apa itu? Siapa yang datang pada malam seperti ini?" Ia beranjak, memeriksa kamera interkom, lalu membuka pintu setelah mengenalinya.
"Selamat malam." Lucas tersenyum hangat. "Semoga aku tidak mengganggu masa istirahatmu."
Illana menggeleng. "Tidak, aku sedang mengerjakan hasil laporan."
"Lembur?"
"Tidak juga. Aku akan tidur pukul sepuluh tepat."
Lucas menatap arlojinya, masih jam sembilan. "Kita tetap berdiri di sini?"
"Ah ya. Silakan masuk." Setelah menutup pintu, ia kembali duduk di sofa bersama Lucas. "Penampilanmu sangat rapi malam ini, baru saja berkencan?"
"Berkencan?" Pria itu tertawa pelan. "Mengapa aku harus berkencan? Aku bahkan tidak melakukannya denganmu."
"Lalu, apa yang kamu lakukan sebelumnya?"
"Menghadiri sebuah acara. Kamu tidak tahu?"
Illana bergeming, sejenak memikirkan sesuatu, tapi berakhir menggeleng. "Tidak."
"Kamu yakin tidak tahu?" Ia merasa aneh menghadapi tanggapan Illana.
"Aku memang tidak tahu. Mengapa kamu bertanya penuh keyakinan seolah aku mengetahuinya?"
"Eum. Syukurlah jika memang tidak tahu."
"Kamu tidak berniat menjelaskannya?"
Lucas mengatur jeda sebelum berbicara kembali. "Aku menghadiri acara pertunangan Mark dan Deborah." Ia cukup menanti bagaimana tanggapan Illana, apakah akan menangis?
"Oh. Baguslah. Cukup cepat." Ia memangku laptopnya, berusaha mengalihkan perhatian Lucas.
"Illana. Aku ingin mengakui sesuatu, meski pada akhirnya kamu mungkin kesal, tapi kamu tetap tidak bisa menarik perkataanmu untuk menikah denganku."
"Mengapa terdengar sangat serius? Seolah kamu sudah melakukan kesalahan besar." Ia kembali berfokus pada pekerjaannya.
"Aku telah memerintahkan orangku untuk merusak lukisan yang Mark dapatkan dari acara lelang amal malam itu."
Gerakan jari-jari Illana pada keyboard laptop terhenti, ia tertegun.
"Bukan masalah jika kamu menganggapku keterlaluan, atau kekanakan. Aku hanya tidak senang karena dia masih terus menyakitimu dengan caranya meski kalian sudah berpisah, aku benci melihatnya tertawa saat kamu menangis di sudut lain."
Illana melamun, masih teringat jelas saat Mark datang ke Cinnamon hanya untuk memakinya di ruang kerja, menuduh Illana telah merusak lukisan itu.
Siapa sangka jika pelakunya sedang duduk di samping Illana, mengakui dosa.
"Kamu bisa menghukumku."
"Tidak." Illana menoleh. "Aku memang sangat kesal karena dia memarahiku, bahkan membuatku harus meneguk wine saat berada di kantor akibat terpengaruh emosi. Namun, kamu telah mengakuinya, dia pantas mendapatkan hal itu."
"Kamu tidak marah?" Lucas hampir tak percaya.
"Tidak. Terima kasih banyak." Ia kembali melanjutkan pekerjaan, sementara pria itu bergeming memperhatikan wajahnya dari samping.
Illana tidak menangis, Lucas menjadi cukup lega, siapa sangka sikapnya sangat bijak, mungkinkah rasa sakit Illana telah berlalu?
"Hey."
Wanita itu menoleh, tiba-tiba bibir Lucas mendarat lembut di bibirnya, tanpa aba-aba, dan cukup lama.
***