Ketika adik-adiknya sudah memiliki jodoh masing-masing, Ara masih diam tanpa progres. Beberapa calon sudah di depan mata, namun Ara masih trauma dengan masa lalu. Kehadiran beberapa orang dalam hidupnya membuat Ara harus memilih. Teman lama atau teman baru? Adik-adik dan keluarganya atau jalan yang dia pilih sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon veraya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 35 : Nyanyian Mahesa
Mahesa berdiri di depan sebuah rumah sakit kecil sesuai petunjuk lokasi dari Alice. Dia membawa tas gitarnya di punggung sambil mengunci mobilnya.
Mahesa memandang sekeliling. Rumah sakit ini berada di ketinggian bukit. Sejauh mata memandang hanya ada bukit dan bukit lagi disertai pepohonan. Hawanya sejuk, menjelang musim hujan yang mulai dihiasi gerimis, hawa si sini luar biasa segar.
Halaman parkir rumah sakit ini terbuka tanpa atap. Mahesa sempat mengira kalau dia salah jalan, tapi begitu melihat Alice berjalan menyambutnya, dia yakin sudah berada di tempat yang benar.
Senyum Alice tampak sumringah melihat Mahesa benar-benar mau datang. Dengan jas putih dan id card, Mahesa baru percaya kalau Alice benar-benar dokter.
"Selamat siang, Bapak Mahesa. Terima kasih sudah berkenan hadir ke rumah sakit kami. Suatu kehormatan..."
"Alice, please...memangnya aku pak lurah."
Alice tertawa kecil. "Aku hanya menjalankan penyambutan resmi untuk tamu. Kamu sehat?" Alice mengulurkan tangannya.
"Sehat." Mahesa menyambut tangan Alice yang hangat.
"Yuk. Mereka sudah nunggu kamu."
Mahesa mengikuti langkah kaki Alice masuk ke dalam rumah sakit. Rumah sakit ini sederhana, tidak sebesar rumah sakit lain yang pernah Mahesa lihat di tengah kota.
Tapi...suasana dan vibe di sini...membuat Mahesa merasa trenyuh sekaligus nyaman secara bersamaan. Sepanjang koridor, dia melihat orang-orang yang berpakaian seragam sebagai pasien semuanya tersenyum. Seolah mereka baik-baik saja, seolah mereka tidak sedang sakit.
Alice berhenti di depan pintu sebuah ruangan.
"Setiap hari Minggu kami berkumpul di sini untuk melihat pertunjukan. Teater, operet, panggung boneka, dongeng. Live akustik...baru kali ini. Mereka pasti suka. Mohon bantuannya, Bapak Mahesa..."
Alice membuka pintu dan membiarkan Mahesa masuk duluan. Di dalam ruangan yang luas ini sudah berkumpul banyak pasien yang bisa duduk dan sudah lebih sehat dari sebelumnya. Ada anak-anak, bapak, ibu, kakek, nenek, kakak...berbagai macam usia.
Mereka bertepuk tangan ketika Mahesa masuk. Mahesa merinding mendapat sambutan dari mereka semua. Ini baru pertama kali baginya menyanyi untuk menghibur pasien rumah sakit.
Mahesa membalas sambutan mereka dengan kedua tangan di depan dada sambil tersenyum lebar. Mahesa duduk di kursi tinggi yang sudah disediakan. Tidak ada panggung di sini, hanya ada kursi dan microphone.
Begitu Mahesa duduk, semua hadirin hening. Menunggu makhluk handsome itu berkata-kata. Yang ditunggu malah jadi speechless melihat wajah-wajah sumringah di hadapannya.
"Emm...halo, saya Mahesa Baja Hitam, boleh dipanggil Hesa atau Baja, asal jangan Hitam..."
Anak-anak tertawa cekikikan.
"Saya diundang oleh dokter Alice ke sini, katanya untuk nyanyi. Padahal suara saya nggak bagus-bagus amat loh...coba dengerin ya."
Mahesa berdehem. Hadirin penasaran. Mahesa sengaja merubah suaranya menjadi sember hingga terdengar seperti suara puppet monster yang cempreng.
Anak-anak kembali tertawa. Alice juga tertawa geli. Bisa-bisanya bintang band itu bercanda dengan menjelekkan suaranya sendiri.
"Oh, ada yang rusak. Sebentar. Saya benerin dulu."
Mahesa menggerakkan tangannya seolah memutar sekrup di lehernya sambil memberi efek suara ngik ngik ngik.
Kali ini semua hadirin tertawa melihat tingkah Mahesa. Sebentar kemudian dia berdehem lagi.
"Nah...udah bener."
Mahesa menarik nafas kemudian menunduk memandang gitarnya dan mulai memetik senar.
Hari Minggu kulihat senyummu, adu cerah dengan matahari.
Ingin kugandeng tanganmu sambil berkata, ayo olahraga pagi.
Beberapa orang tertawa mendengar lirik lagu yang lucu itu. Alice memiringkan kepalanya sambil memandang Mahesa, dia tidak menyangka Mahesa akan menyanyikan lagu entah punya siapa, bukan lagunya The Red Rose.
Kamu mengajarkanku sabar menanti.
Kamu melatihku tetap senang hati.
Karena esok pasti akan lebih baik lagi.
Bersamamu, aku tak khawatirkan hujan badai lagi.
Karena hadirmu...adalah obat paling sakti.
Tepuk tangan kembali meriah mengiringi suara khas Mahesa. Seorang gadis kecil maju sambil memberikan sebuah burung kertas kepada Mahesa.
"Terima kasih, cantik..."
Gadis kecil itu tersipu malu lalu kembali ke kursinya lagi. Beberapa anak kecil lain menyusul memberikan apa saja yang ada di tangan mereka untuk Mahesa. Mahesa terharu sekaligus tersanjung telah disambut baik oleh mereka. Tawanya pecah melihat kegaduhan ini.
Hari itu, adalah hari yang tak akan pernah Mahesa lupakan seumur hidup. Hari di mana dia menemukan masih ada harapan di antara rasa sakit. Tanpa panggung, tanpa personel yang lain, tapi Mahesa merasa sudah memberikan performance terbaik sepanjang karirnya.
Alice membawakan kopi dingin dalam kemasan kaleng kepada Mahesa yang tengah duduk di bawah pohon Flamboyan besar sambil memandang perbukitan. Angin terasa lebih kencang di ketinggian ini.
"Thanks, Alice." Mahesa menerima kopi dari Alice dan meminumnya sedikit
"Aku bayar kamu pakai makan siang di kantin. Sudah siap kapan saja kamu lapar."
Mahesa mengangguk sambil menyesap lagi kopinya yang sedikit pahit. Matanya masih belum lepas dari gundukan bukit-bukit itu. Hamparan luas alam ini mengingatkannya pada Ara.
"Are you alright?" tanya Alice yang melihat Mahesa mulai melamun.
"Ya...i'm fine. Sorry. Aku cuma...amaze aja sama pemandangan di sini."
"Bagus, kan? Suasana di sini bisa membuat pasien sejenak mengesampingkan rasa sakitnya, dan bisa lebih semangat untuk menjalani hidup menuju kesembuhan."
"Mereka...sakit apa?"
"Sakit yang...mungkin tidak ada yang tahu seberapa lama mereka bisa bertahan. Secara medis tentu saja kami sudah berusaha yang terbaik, tapi yang terpenting adalah membahagiakan mereka. Karena waktu tidak akan mungkin kembali. Nyanyianmu bisa menjadi obat bagi mereka. That was fun. You are amazing."
Alice masih tersenyum geli jika ingat improvisasi Mahesa.
Mahesa terdiam. Sakit yang pernah dia rasakan hanya demam atau radang tenggorokan. Itu aja sembuh oleh obat pasaran yang dikasih sama Ara. Dia tidak pernah merasakan sakit yang butuh obat seperti nyanyiannya barusan.
"Anyway, terima kasih banyak sudah menghadirkan suasana yang menyenangkan tadi. Gimana kalau jadi agenda rutin kamu? Kalau nggak bentrok sama jadwal kamu."
"Emm...aku masih belum tahu, Alice."
Alice mengangguk maklum. Dia menawarkan agenda itu dengan harapan bisa sering ketemu dengan Mahesa. Walaupun tujuan utamanya adalah untuk para pasien, tapi Alice sungguh amat sangat senang kalau bisa bertemu lagi dengan Mahesa.
"Yang kamu hibur terlihat bahagia, kamu sendiri sepertinya malah sedang sedih. Ada apa?" tanya Alice sambil memandang wajah Mahesa yang murung.
Mahesa menunduk sebentar kemudian balas memandang Alice. Wajah Alice yang keibuan tentu sangat berbeda dengan Ara yang kekanak-kanakan. Mahesa teringat mendiang Mamanya.
"Aku keinget Mamaku. Beliau meninggal karena sakit juga. Kanker. Jadi...datang ke sini membuatku sedikit...but, it's ok. Aku jadi bisa merubah pandanganku tentang rumah sakit yang tadinya hanya ada kesedihan dan keputusasaan, ternyata tidak begitu. Di sini aku melihat mereka bahagia. Mata mereka...masih terpancar harapan."
Alice tersenyum.
"Kamu juga bisa bahagia, di matamu aku masih melihat harapan. Meskipun harapan itu mungkin sudah berubah haluan."
Alice mengalihkan pandangannya ke bukit-bukit.
"Aku kagum sama kamu, Mahesa. Kamu masih mau ke sini untuk orang-orang yang nggak kamu kenal. Dengan bakatmu, kamu bisa menghibur orang lain. Aku juga pengen bisa seperti itu. Menghiburmu yang lagi sedih...karena aku sudah kenal kamu."
Mahesa menatap mata Alice yang jauh menatap ke depan. Mahesa tertawa kecil. "Bagaimana kamu akan menghiburku?" tanyanya.
Alice tersenyum lalu berdiri di hadapan Mahesa. Dia menyanyikan ulang lagu Mahesa tadi, ditambah bahasa isyarat dengan tangan.
Mahesa tertawa lepas. Ternyata suara Alice tidak secantik rupanya, malah mirip dengan suara puppet monster yang Mahesa buat tadi. Tapi tidak apa-apa, Mahesa sudah cukup terhibur.