Dion, seorang siswa kelas 10 yang ceria dan penuh semangat, telah lama jatuh cinta pada Clara, gadis pendiam yang selalu menolak setiap usaha pendekatannya. Setiap hari, Dion mencoba meraih hati Clara dengan candaan konyol dan perhatian yang tulus. Namun, setiap kali dia mendekat, Clara selalu menjauh, membuat Dion merasa seperti berjalan di tempat.
Setelah sekian lama berusaha tanpa hasil, Dion akhirnya memutuskan untuk berhenti. Ia tak ingin lagi menjadi beban dalam hidup Clara. Tanpa diduga, saat Dion menjauh, Clara mulai merasakan kehilangan yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya. Kehadiran Dion yang dulu dianggapnya mengganggu, kini malah menjadi sesuatu yang dirindukan.
Di tengah kebingungan Clara dalam memahami perasaannya, Dion memilih menjaga jarak, meski hatinya masih menyimpan perasaan yang dalam untuk Clara. Akankah Clara mampu membuka diri dan mengakui bahwa ada sesuatu yang tumbuh di hatinya untuk Dion?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reito(HxA), isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31. Keseharian Dion dan Luna
Liburan semester masih berlangsung, dan seperti yang sudah direncanakan, Dion menghabiskan waktunya dengan bekerja di toko buku milik pamannya. Namun, ada satu hal yang tak ia perkirakan: Luna, sepupunya yang otaku sekaligus wakil ketua OSIS, juga ikut terlibat. Dengan dua kepribadian yang bertolak belakang—anggun di sekolah, usil di rumah—Luna berhasil membuat suasana di toko yang biasanya sepi jadi penuh kejadian lucu yang tak terduga.
Hari itu, seperti biasa, Dion membuka toko di pagi hari. Rak-rak buku tampak rapi, namun pengunjung sangat jarang. Ia duduk di belakang meja kasir, memainkan ponselnya sambil sesekali melirik keluar jendela toko. Matahari bersinar terang, tetapi suasana di toko terasa sepi.
Tak lama kemudian, pintu toko berbunyi, menandakan ada yang masuk. Dion mengangkat kepala, dan tentu saja, Luna yang muncul dengan senyum liciknya.
"Yo, Dion!" Luna menyapa ceria sambil membawa tas besar yang penuh dengan pernak-pernik anime. "Sudah siap menjalani hari penuh kekacauan ini?"
Dion menghela napas. "Kekacauan? Maksudmu kamu bakal bikin masalah lagi?"
Luna hanya tertawa kecil, lalu meletakkan tasnya di atas meja kasir. "Tentu saja! Apa gunanya liburan kalau nggak ada sedikit keseruan?" Luna duduk di kursi seberang meja kasir, menarik satu buku dari rak yang berisi manga dan mulai membaca.
Keseharian mereka di toko buku sebenarnya cukup santai. Ketika tidak ada pelanggan, Dion biasanya duduk sambil memeriksa stok buku atau membaca buku-buku yang tersedia. Sementara itu, Luna tenggelam dalam dunia manga atau sesekali mendengarkan musik dari ponselnya. Tapi, tidak ada hari yang benar-benar membosankan jika ada Luna di sekitar.
Suatu hari, saat mereka sedang duduk santai di toko yang kosong, Luna memutuskan untuk mulai mengganggu Dion.
"Eh, Dion, coba tebak. Kalau aku jadi karakter di anime, menurutmu aku bakal jadi apa?" Luna menatap Dion dengan ekspresi penasaran.
Dion mengerutkan kening. "Hah? Maksudmu?"
"Yah, maksudku, aku ini multifungsi, kan? Wakil ketua OSIS di sekolah, otaku di rumah. Jadi menurutmu, aku bakal jadi karakter apa?" Luna mendekatkan wajahnya ke Dion, membuat Dion merasa risih.
"Hmm... mungkin kamu bakal jadi karakter yang punya dua kepribadian? Siang jadi gadis sempurna, malam jadi gadis otaku yang bikin onar," jawab Dion sambil tertawa kecil.
Luna tertawa sambil memukul ringan pundak Dion. "Duh, kamu ini. Kok kayaknya tepat banget, sih?"
Suasana semakin ceria saat tiba-tiba ada seorang pelanggan masuk. Seorang ibu-ibu dengan anak kecil datang mencari buku cerita anak. Luna dengan cepat berdiri dan mencoba untuk membantu, tetapi dengan gaya otakunya yang terlalu antusias, dia malah memberi rekomendasi buku yang salah.
"Ah, buku ini bagus lho, Bu! Ini tentang pertarungan epik di dunia lain!" kata Luna sambil menunjukkan manga bertema isekai.
Sang ibu mengerutkan kening, tampak bingung. "Eh, saya mau cari buku anak-anak, yang lebih ringan ceritanya…"
Dion yang melihat situasi itu langsung mengambil alih. "Luna, itu bukan buat anak-anak," bisik Dion sebelum dengan cepat mengambil buku yang lebih sesuai dari rak lain. "Maaf, Bu. Ini buku cerita anak-anak yang mungkin cocok."
Luna hanya mengangkat bahu sambil terkekeh. "Ya, siapa tahu anaknya suka pertarungan epik, kan?"
Setelah pelanggan itu pergi, Dion dan Luna kembali duduk. Tapi kejenakaan Luna belum selesai. Tiba-tiba, Luna membuka tasnya dan mengeluarkan sepasang telinga kucing dari bahan kain, aksesori yang sering digunakan oleh cosplayer.
"Nah, Dion, aku punya ide!" katanya dengan semangat. "Kamu mau nggak cosplay jadi penjaga toko yang pakai telinga kucing? Biar lebih menarik perhatian!"
Dion langsung menolak. "Hah?! Nggak mungkin! Aku nggak bakal pakai benda kayak gitu."
Luna memandangnya dengan tatapan memelas. "Ayo, coba aja sekali. Biar toko ini lebih ramai!"
Dion menghela napas panjang. "Luna, itu bukan cara yang bagus buat narik pelanggan. Kalau aku pakai itu, malah bikin mereka kabur."
Namun, Luna tetap memaksa dan akhirnya Dion menyerah. Meski dengan terpaksa, dia memasang telinga kucing itu dan berdiri di belakang kasir. Luna tertawa terbahak-bahak melihatnya.
"Kamu lucu banget, Dion!" Luna mengambil ponselnya dan mulai mengambil foto. "Nggak nyangka kamu bakal nurut juga, hahaha!"
Beberapa pelanggan yang masuk ke toko tampak bingung, tapi tak ada yang berkomentar. Dion menatap Luna dengan tatapan sebal, tapi Luna terus tertawa. Untungnya, pelanggan yang masuk hanya beberapa, jadi rasa malu Dion tidak berlangsung lama.
---
Waktu pun berlalu, dan setelah beberapa jam, Dion akhirnya berhasil melepas telinga kucing itu. Mereka berdua duduk kembali, menikmati suasana toko yang sepi. Luna masih asyik dengan manga-nya, sementara Dion mencoba fokus pada pekerjaannya.
Namun, suasana tenang ini tidak berlangsung lama. Ketika sore menjelang, toko mulai sedikit ramai. Beberapa anak muda datang untuk melihat-lihat koleksi buku, dan Luna, yang masih dalam mode "otaku ceria", mulai berinteraksi dengan mereka.
"Eh, kamu tahu nggak, ada manga terbaru yang baru rilis minggu ini?" kata Luna dengan antusias kepada salah satu anak muda yang datang. "Kamu harus coba baca! Ceritanya tentang petualangan di dunia virtual, keren banget!"
Dion hanya bisa menggelengkan kepala sambil tersenyum. Meski Luna terlihat usil dan sering membuat kekacauan, dia tahu Luna sebenarnya sangat menyukai pekerjaannya di toko ini. Dan meskipun toko buku mereka tidak terlalu ramai, suasana selalu hidup berkat kehadiran Luna.
Hari semakin sore, dan mereka berdua memutuskan untuk menutup toko. Setelah membersihkan rak-rak dan merapikan barang-barang, Dion dan Luna bersiap untuk pulang.
"Kamu tahu, Dion," kata Luna sambil mengunci pintu toko. "Walaupun toko ini sepi, aku senang bisa ngabisin waktu bareng kamu di sini. Rasanya kayak petualangan kecil di dunia kita sendiri."
Dion tersenyum. "Iya, aku juga. Meskipun kamu sering bikin masalah, suasana jadi lebih hidup."
Luna tertawa. "Ya, itulah fungsiku. Bikin hidupmu lebih berwarna."
Mereka berdua pun pulang dengan perasaan puas. Meskipun keseharian di toko buku kadang sepi, dengan kehadiran Luna, hari-hari Dion menjadi lebih seru dan penuh kejadian lucu yang tak terduga.
Setelah mereka selesai menutup toko, Luna tiba-tiba menghela napas panjang. Wajah cerianya mendadak berubah masam.
"Dion, besok aku nggak bisa ke sini. Ada rapat OSIS di sekolah," kata Luna sambil cemberut.
Dion, yang sedang merapikan rak-rak buku, melirik sekilas ke arah Luna. "Rapat OSIS? Di tengah liburan? Serius?"
Luna mengangguk sambil melipat tangan di dadanya, wajahnya semakin tidak puas. "Iya. Nggak masuk akal, kan? Ini liburan, Dion! Seharusnya waktunya buat istirahat, baca manga, maraton anime, dan main game sampai puas. Tapi nggak, aku malah harus buang-buang waktu di rapat yang nggak jelas."
Dion tersenyum kecil mendengar keluhan Luna. "Kamu yang biasanya tangguh di sekolah, ternyata juga bisa ngeluh soal rapat."
"Jangan salah, aku tegas di sekolah karena harus. Kalau soal rapat, aku beneran benci. Apalagi ini liburan!" Luna mendesah keras, duduk di kursi dengan lesu. "Sialnya, nggak bisa kabur juga. Adara Mahestri pasti bakal memperhatikan absensi semua anggota OSIS. Dan kalau aku nggak datang, wah, bisa berabe."
Dion tertawa mendengar keluhannya. Dara, begitu Adara Mahestri biasa dipanggil, adalah ketua OSIS yang dikenal sangat kharismatik. Dara memang sosok yang berwibawa dan sangat disegani di SMA Gemilang. Bahkan, bisa dibilang, dia punya pengaruh besar di sekolah. Itu juga yang membuat Dion heran kenapa Luna, yang di rumah lebih mirip otaku ceroboh, bisa menjadi tangan kanan dari sosok sepenting Dara.
"By the way, kenapa kamu bisa setuju jadi wakil ketua OSIS kalau dari awal kamu nggak suka hal-hal kayak gini?" tanya Dion sambil menatap Luna dengan penasaran.
Luna menyandarkan kepalanya di kursi, menatap langit-langit dengan lelah. "Sebenarnya, ini semua karena Dara. Dia yang ngajak aku masuk OSIS."
Dion mengangguk, tidak terlalu terkejut. "Ya, Dara sih kelihatannya memang tipe orang yang bisa bikin orang lain terpengaruh dengan caranya."
"Iya, betul banget." Luna meluruskan badannya dan mulai bercerita dengan nada yang sedikit lebih serius. "Dulu aku sama sekali nggak ada niat gabung OSIS. Buat apa, sih, buang-buang waktu buat organisasi kayak gitu? Aku lebih suka habisin waktu di rumah buat main game atau baca komik. Tapi entah gimana, Dara punya cara meyakinkan orang yang susah ditolak. Dia nggak pernah memaksa, tapi ucapannya itu... bikin orang mikir dua kali."
"Kayak ngerasa berutang budi sama dia, gitu?" tanya Dion.
"Bukan utang budi, tapi lebih ke rasa tanggung jawab yang dia tularkan. Dia punya aura yang bikin kita merasa penting dalam organisasi. Dan entah gimana, aku yang tadinya malas-malasan jadi terbawa arus. Ya, jadilah aku wakil ketua OSIS sekarang," Luna menjawab sambil tersenyum getir.
Dion tersenyum kecil, memikirkan bagaimana seorang otaku seperti Luna bisa berubah menjadi sosok yang dihormati dan disegani di sekolah hanya karena pengaruh satu orang. "Pantesan Dara terkenal banget di sekolah. Dia kayak punya kekuatan magis buat ngerubah orang."
Luna tertawa pelan. "Bener juga sih, kayak semacam sihir. Kalau bukan karena dia, aku nggak bakal mau repot-repot ngurusin OSIS. Tapi sekarang, ya sudah terlanjur. Makanya besok aku harus datang meskipun hatiku menjerit."
Dion menatap Luna yang kini tampak lebih rileks setelah mencurahkan kekesalannya. "Tapi, kenapa kamu biarin aku tahu soal rahasiamu yang otaku ini? Kamu nggak takut aku kasih tahu orang-orang di sekolah?"
Luna mengangkat bahu, sedikit tersenyum. "Kamu kan keluarga, Dion. Lagi pula, aku percaya kamu nggak bakal bocorin rahasia ini. Kalau sampai bocor... tahu sendiri kan, aku punya cara buat bikin hidupmu susah."
Dion terkekeh. "Oke, noted. Rahasia aman di tanganku."
Mereka berdua saling tersenyum, suasana yang tadinya penuh keluhan berubah menjadi lebih ringan. Meski Luna sering bertingkah aneh dan usil, Dion menyadari kalau di balik sikap santainya, dia adalah orang yang benar-benar peduli dengan tanggung jawabnya. Mungkin itu yang membuat Dara tertarik untuk mengajak Luna bergabung dalam OSIS sejak awal. Meski Luna suka menyembunyikan jati dirinya, dia tak bisa sepenuhnya menghindar dari pengaruh Dara yang kuat.
"Besok nikmati rapatnya, Luna. Siapa tahu nggak seburuk yang kamu bayangin," ujar Dion dengan nada menggoda.
Luna hanya mendesah panjang. "Yah, semoga aja. Tapi satu hal yang pasti, besok aku bakal sangat rindu toko ini dan keheningannya."
Malam itu, mereka akhirnya berpisah di persimpangan jalan seperti biasanya. Dion pulang dengan pikiran yang sedikit lebih ringan, sementara Luna melangkah pulang sambil membawa beban rapat OSIS yang menanti di esok hari.