Terlahir dari orang tua yang membenci dirinya sejak kecil, Embun Sanubari tumbuh menjadi laki-laki yang pendiam. Di balik sifat lembut dan wajah tampannya, tersimpan begitu banyak rasa sakit di hatinya.
Ia tak pernah bisa mengambil pilihannya sendiri sepanjang hidup lantaran belenggu sang ayah. Hingga saat ia memasuki usia dewasa, sang ayah menjodohkannya dengan gadis yang tak pernah ia temui sebelumnya.
Ia tak akan pernah menyangka bahwa Rembulan Saraswati Sanasesa, istrinya yang angkuh dan misterius itu akan memberikan begitu banyak kejutan di sepanjang hidupnya. Embun Sanubari yang sebelumnya menjalani hidup layaknya boneka, mulai merasakan gelenyar perasaan aneh yang dinamakan cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dzataasabrn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penasaran
Setelah seharian tidak bisa tidur, pada akhirnya aku berhasil memejamkan mataku dan tertidur selama hampir 12 jam. Aku terbangun dengan perut kosong dan memutuskan untuk membeli makanan di sekitaran apartement. Di sepanjang jalan, aku menyibukkan diri dengan pikiran mengenai Saras. Aku penasaran, bagaimana caranya aku bertemu dia lagi ya? Haruskah aku pergi ke rumahnya dan masuk melalui gerbang itu lagi lalu mengatakan aku ingin bertemu dengannya? Jika dia bertanya untuk urusan apa aku menemuinya harus kujawab dengan apa pertanyaan itu?
Aku mengusap kepala dengan gusar. Membayangkan raut galak Danendra ditambah dengan tatapan datar Saras membuat nyaliku menciut. Barangkali Danendra tidak sudi puteri bungsunya itu akan dinikahi seorang anak muda asing yang bahkan belum bekerja. Bisa saja ia sudah ingin menempelengku dari jauh-jauh hari jika saja saat di pesta itu aku tidak datang bersama ayah.
Meski begitu, bukan Danendra yang paling kutakuti. Aku hanya takut jika aku benar-benar datang tanpa diminta, Saras tidak akan menyukai kehadiranku. Sejak kemarin dia hanya menatapku dengan datar dan jengah sehingga disaat aku mengingat momen ia menyandarkan kepalanya padaku, rasanya seperti tidak nyata. Barangkali ia terlalu banyak meminum wine sehingga tanpa sadar menyandarkan dirinya padaku?
Aku menyuapkan sesendok penuh nasi goreng dengan lahap. Setelah lama menimbang akhirnya aku memutuskan untuk membeli nasi goreng abang-abang yang letaknya hampir tiga ratus meter dari apartementku. Entahlah, karena terlalu banyak melamun dan berpikir, aku tidak sadar telah melangkahkan kaki sejauh itu. Aku keluar hanya dengan memakai training Adidas berwarna putih dan kaos polos berwarna hitam.
Di tengah suapanku, aku memutuskan untuk mengeluarkan ponsel dan membuka media sosial milikku yang entah berapa tahun terbengkalai. Sepertinya aku terakhir kali membuka media sosial tersebut di hari aku membuatnya, saat itu aku masih duduk di bangku SMP.
Aku menelisik media sosialku dengan heran. Sejak kapan jumlah pengikutku menyentuh angka tiga ribu? Bahkan jumlah postinganku hanya satu. Senggok pot bunga yang kupotret asal di jalan pulang dari sekolah. Aneh sekali orang-orang ini.
Aku menepis rasa heran itu dan segera melakukan niatan awalku. Alasan aku kembali membuka media sosial ini adalah untuk mencari Saras, haha. Tentu saja. Apalagi yang akan kulakukan jika bukan itu. Kalian pasti sudah menebaknya ya? Apakah ini yang dinamakan cogil? Kepribadianku terasa terekspos dengan gamblang sejak kemarin. Tapi tak apa lah, aku tidak keberatan jika itu kulakukan demi Saras.
Astaga. Mikir apa aku barusan.
Kutuliskan namanya dengan tangan gemetar. "Rembulan Saraswati"
Ada beberapa akun yang muncul. Aku memeriksanya satu demi satu dan kudapati sebuah akun yang sejak tadi kucari! Gila, pikirku. Jumlah pengikut Saras berjumlah empat ratus lima puluh dua ribu! Apakah dia selebriti media sosial?!?!
Aku menggaruk kepalaku dengan gusar. Itu benar-benar dia. Ada sebanyak dua ratus satu postingan di sana. Ia sering memposting foto-foto random yang ia jepret entah dimana dan sesekali memposting mukanya sendiri. Alamak. Cantik sekali dia di salah satu fotonya itu. Aku menekan asal dan berlabuh pada sebuah foto di mana ia sedang mengenakan dress kuning selutut berlengan panjang dengan renda-renda di sekitar dadanya.
Duh, bukannya bajunya itu terlalu tipis? Tidakkah dia merasa kedinginan memakainya?
Aku tersenyum tanpa sadar. Ia selalu terlihat cantik dimanapun ia berada dan apapun yang ia kenakan. Hari itu, aku menghabiskan berjam-jam untuk melihat satu demi satu foto-foto yang ia publikasikan di media sosialnya. Ia terlihat bahagia dan senang di setiap kesempatan. Sorot matanya seolah menunjukkan bahwa ia menjalani kehidupan yang bahagia. Aku tidak menemukan tatapan sendu misterius itu di wajahnya. Hanya beberapa ekspresi galak dan senyum tipis yang mempesona. Astaga! Apakah senyum cantiknya itu disaksikan dan dilihat oleh empat ratus ribu orang? Aku meradang hanya dengan membayangkannya.
Awas saja jika ada orang diluaran sana yang diam-diam memandangi fotonya seperti yang kulakukan barusan. Akan kucari dan kuhantam dia dengan nasehat!
......................
Dua minggu telah berlalu sejak pertemuanku dengan Saras. Aku sudah mulai menjalani rangkaian kegiatan mahasiswa baru sembari terus berusaha menemuinya. Tak terhitung berapa kali aku menempuh perjalanan sejauh 45km hanya untuk membeku di depan gerbang rumahnya dan berdiam disana selama puluhan menit hingga hitungan jam. Rasanya ingin sekali aku melangkah masuk ke sana dan menemuinya. Tapi siapalah aku. Aku bahkan tidak tahu apakah Saras akan mau menemuiku.
Selama melakukan inspeksi terhadap media sosialnya selama berhari-hari, aku menemukan beberapa komentar aneh dari sebuah akun laki-laki. Saras tidak pernah membalas komentar siapapun di postingannya kecuali komentar akun tersebut! Siapalah laki-laki itu. Jangan bilang dia pacar.. Ah, tidak tidak. Aku tidak seharusnya berpikir ke arah sana.
Untuk itu, aku memutuskan menghentikan segala upayaku untuk memantau media sosialnya. Kenapa pula aku melakukan itu? Aku tidak seharusnya melakukannya. Pada mulanya, aku mencari media sosial Saras hanya untuk menghubunginya dan mengajaknya bertemu. Barangkali makan siang bersama atau sekedar pulang bersama dari kampus saja aku pasti sudah amat senang dibuatnya.
Namun, apalah daya. Aku tidak bernyali mengirimkan pesan padanya. Sudah ratusan kali aku membuka direct message nya dan berniat mengirimkan pesan. Aku bahkan menulis hal yang ingin kusampaikan di notes. Kalimat itu tidak lebih dari 5 kata tetapi aku merevisinya ratusan kali. Aku takut hal itu akan memberikan kesan yang buruk terhadapku. Rasanya hanya aku yang tidak sabar dan sangat menggebu-gebu ingin mengenalnya.
Aku merenung sembari menyesap segelas Jus Mangga yang baru saja kupesan di kantin kampus. Dengan pelan aku mengeluarkan sebuah buku dari dalam tasku dan membacanya dengan seksama. Semenjak tiba di ibukota, aku jadi tidak terlalu sering membaca. Otakku tidak pernah bisa fokus memproses bacaan di hadapanku karena terus memikirkan Saras. Kurasa ada yang salah denganku karena semakin aku mencoba untuk tidak memikirkannya, aku semakin memikirkannya.
Kami baru sekali bertemu dan pertemuan itu tidak lebih dari lima jam. Tapi efek yang kuterima atas pertemuan itu teramat besar. Duh, ada apa sih dengan diriku?
Aku hendak kembali fokus dengan buku bacaanku saat seseorang menepuk punggungku, membuatku terperanjat hingga nyaris menyembur orang tersebut dengan sisa jus di mulutku.
Aku memelototi pria berkepala plontos yang baru saja mengagetkanku itu yang hanya ditanggapinya dengan tawa renyah.
Ia menarik kursi dan duduk di sebelahku. Ia adalah Radit. Teman pertamaku di kampus ini. Sejujurnya kami teman satu sekolah saat SD dan SMP, hanya saja saat SMA ia memutuskan untuk bersekolah di luar negeri dan akupun memutuskan untuk bersekolah di sekolah biasa sehingga kami sudah tidak bertemu selama tiga tahun terakhir.
Radit adalah putera seorang pebisnis batu bara yang sangat sukses di negara ini. Selain itu, ayahnya juga merupakan pemilik salah satu club sepakbola ternama di negara kami. Jadilah dia cukup populer di antara mahasiswa yang ada di sini. Sejujurnya jika boleh berkata, hampir semua mahasiswa di kampus ini adalah orang kaya. Kampus elite yang berisikan anak-anak pebisnis dan juga pejabat. Selain karena fasilitas unggulan yang diberikan, hampir semua lulusan kampus ini pasti mendulang karir cemerlang. Selain itu, biaya yang harus dikeluarkan untuk masuk ke sekolah ini juga tidak sedikit. Uniknya lagi, tidak semua anak orang kaya bisa masuk ke sini. Setiap pendaftar harus tetap melalui seleksi yang sangat ketat sehingga mereka yang berhasil masuk di kampus ini pastilah berasal dari keluarga terpandang dan memiliki otak brillian.
Sejujurnya, aku masuk ke kampus ini pun atas perintah ayah. Dia menyuruhku berkuliah disini agar bisa mengenyam pendidikan terbaik bersama calon istriku, Saras.
Jika memang Saras berkuliah di sini, bukankah seharusnya kami bisa bertemu? Selama satu minggu terakhir aku terus mencarinya kesana kemari. Aku bahkan menanyakan kepada kemahasiswaan terkait mahasiswa bernama Rembulan Saraswati, namun mereka mengatakan bahwa mereka tidak bisa memberikan data pribadi mahasiswa lain. Aku bahkan hanya bertanya mengenai jurusannya, tetapi mereka tidak mau memberitahukan hal tersebut.
Pada akhirnya, aku hanya bisa pasrah menunggu hari di mana kami bisa bertemu lagi. Barangkali di hari-h pernikahan kami? Entahlah. Aku sudah tidak tahu lagi harus mencarinya kemana.
Radit menepuk pundakku saat ia melihatku kembali melamun, "Lagi-lagi kau melamun."
"Ada sesuatu yang sedang kupikirkan." ujarku sembari berdiri untuk meletakkan gelas jus mangga yang telah kosong itu di alat pencuci otomatis yang diletakkan secara vertikal di salah satu tiang beton yang menyangga kantin tersebut.
"Kau yakin tidak mau bergabung dengan klub Rugby?" Radit menunjuk sekelompok mahasiswa yang sedang berkumpul di salah satu sudut kantin. "Mereka terlihat sangat menginginkanmu," lanjutnya.
Sejak tadi mereka sibuk berbisik-bisik sembari melirik ke arah kami dan aku menyadarinya.
"Aku tidak tertarik." ujarku seraya balas melirik ke arah mereka.
"Kudengar tidak mudah masuk Tim Rugby kampus ini. Setiap tahunnya selalu ramai pendaftar tetapi yang diterima hanya orang-orang pilihan. Jarang sekali mahasiswa tahun pertama yang bisa langsung bergabung," Radit menjelaskan sembari merogoh tasnya dan mengeluarkan Ayaneo 2 miliknya. Sebuah perangkat gaming handheld yang selalu dibawanya kemanapun ia pergi.
"Jadi begitu," aku mengangguk mengerti sembari kembali memfokuskan pandangan ke arah buku di hadapanku.
Belum sempat aku membaca kalimat pertama, terdengar suara gaduh yang cukup memekakan telinga. Jeritan dari banyak gadis terdengar nyaring dari arah luar kantin.
Aku melirik ke arah pintu kantin yang terbuka lebar dengan pahatan-pahatan marmer yang mengelilingi pintu tersebut. Sebuah mobil Ferrari berwarna merah mengkilat merapat di depan pelataran kantin.
Jeritan-jeritan tersebut semakin melengking saat seorang laki-laki keluar dari mobil tersebut bersama dengan seorang gadis. Ia melingkarkan tangannya di bahu gadis tersebut dan membimbingnya masuk ke dalam kantin. Mengabaikan jeritan-jeritan dari arah luar yang mengeluh-eluhkan mereka. Pria tersebut membetulkan kerah kemejanya sembari menyibakkan poni rambutnya. Di sela-sela langkah kaki mereka, pria itu berhenti sejenak untuk mendaratkan ciuman singkat di bibir gadis tersebut.
Aku memicingkan mata, memperhatikan mereka dengan seksama. Sesaat setelah pria itu mengangkat wajahnya, pupilku bergetar. Napasku tercekat. Jantungku seolah berhenti berdetak sepersekian detik saat melihat siapa gadis yang baru saja dicium itu. Ia adalah gadis yang selama beberapa minggu ini memenuhi isi otakku. Yang selama beberapa minggu ini kucari hingga ke belahan dunia lain. Gadis yang baru saja dikecup bibirnya itu adalah Saras, calon istriku.