Yaya_ gadis ceria dengan sejuta rahasia.
Ia selalu mengejar Gavin di sekolah,
tapi Gavin sangat dingin padanya.
Semua orang di sekolah mengenalnya sebagai gadis tidak tahu malu yang terus mengemis-ngemis cinta pada Gavin. Namun mereka tidak tahu kalau sebenarnya itu hanya topengnya untuk menutupi segala kepahitan dalam hidupnya.
Ketika dokter Laska memvonisnya kanker otak, semuanya memburuk.
Apakah Yaya akan terus bertahan hidup dengan semua masalah yang ia hadapi?
Bagaimana kalau Gavin ternyata
menyukainya juga tapi terlambat mengatakannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mae_jer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
"Duduk."
perintah Gavin. Raut wajah Yaya kembali ceria mendengar suara cowok itu. Ia cepat-cepat beranjak duduk di sebelah kanan Gavin, di sebelahnya lagi ada Bintang. Cowok itu hanya menggeleng-geleng kepalanya merasa geli dengan tingkah Yaya. Sementara Yasmin dan Clara menatap cewek itu tidak suka. Yaya benar-benar menyebalkan. Walau cintanya di tolak Gavin, nyatanya dari semua cewek di sekolah ini, hanya cewek nggak tahu malu itu yang berhasil dekat-dekat sama cowok idola mereka tersebut.
"Nih catat." kata Bintang menyodorkan catatannya ke depan Yaya.
Yaya melirik cowok itu lalu mendesah berat. Ia paling tidak suka mencatat. Apalagi catatannya banyak.
"Emang harus banget ya?" tanyanya berharap Bintang menjawab tidak. Menulis membuat tangannya cepat merasa kelelahan. Dia bosan tentu saja.
Pandangan Gavin turun menatap cewek itu. Dasar malas. Batinnya. Pantesan nilai ujiannya hancur semua.
"Lo nggak nyatet gue keluarin dari kelompok." ancam cowok itu tegas. Kalau tidak begitu, Yaya pasti tidak mau mencatat. Jadi harus ada sedikit ancaman yang keluar dari mulutnya biar Yaya mau dengar.
"Mampus."
Yasmin menyumpahi dengan tawa kemenangan. Sesaat kemudian ia cepat-cepat menunduk malu karena menyadari Gavin yang melihatnya dengan raut wajah tidak senang.
"Ta...tapi..." gumam Yaya menunjukkan wajah memelasnya ke Gavin.
"Nggak usah manja." tegas cowok itu lagi balik menatap Yaya. Mau tidak mau gadis itu membuka bukunya setengah hati dan mulai mencatat dengan wajah cemberut.
Bintang mengulum senyumnya saat melihat perlakuan Gavin ke Yaya. Ada yang beda dari sahabatnya itu. menurutnya, Gavin mulai terbiasa dengan kehadiran gadis itu. Meski ia terus menerus menunjukkan sikap dinginnya, tapi Bintang tahu sebenarnya hatinya tidak sedingin perlakuannya. Buktinya sejak tadi Gavin terus memperhatikan Yaya.
Ketika gadis itu di hukum berdiri didepan kelas, Gavin selalu mencuri-curi pandang padanya. Cowok itu jugalah yang berinisiatif menelpon Yaya karena tuh cewek belum muncul-muncul di kelas padahal sudah bel masuk. Tugas kelompok hanya alasan saja menurut Bintang.
***
"Gavin aku nebeng sampai rumah bole nggak?" pinta Yaya saat bel pulang berbunyi.
"Nggak." tolak Gavin langsung lalu beranjak pergi dari ruangan itu.
Yaya menghembuskan nafas panjang sambil menatap kepergian cowok itu. Ya sudahlah kalo Gavin nggak mau, ia naik bus aja. Gadis itu mengangkat tubuhnya dari bangku dan mulai berjalan keluar kelas.
Gadis itu menghentikan langkahnya saat hampir mencapai halte beberapa langkah lagi. Ia tiba-tiba mengingat sesuatu. Ia merogoh kantong kemejanya tapi kosong. Setelah berpikir keras, Yaya baru ingat semua uangnya sudah ia kasih ke kakak kelas tadi. Gadis itu memukul kepalanya, merutuki kebodohannya. Ya ampun, bagaimana ia harus pulang sekarang? Ya ampun Yaya, kamu benar-benar bodoh. Gadis itu tak berhenti-berhenti memaki dirinya sendiri.
Akhirnya yang bisa ia lakukan adalah duduk di halte tersebut sambil merenung, meratapi nasib sialnya. Semua siswa sudah tidak terlihat lagi, tinggal dirinya sendirian yang berada di sekitar sekolah itu. Tadi ia sudah menelpon sopir rumahnya minta di jemput tapi sopirnya sedang mengantar mama tirinya belanja jadi tidak bisa menjemputnya. Yaya memutar bola matanya jengkel. Mama dan kakak tirinya saja yang terus diperhatikan, sedang dia yang anak kandung malah ditelantarkan. Tidak tahu apa dia lagi susah sekarang.
"Sebal... Sebal...Sebal!"
maki Yaya saking kesalnya sambil membanting-banting kaki di lantai jalan. Di waktu yang sama sebuah motor besar berhenti tepat didepannya. Yaya tidak bisa melihat wajah orang itu karena dia memakai helmed fullface yang menutupi seluruh wajahnya, tapi gadis itu bisa memastikan kalau orang itu masih muda.
Lagian tidak mungkin juga kan om-om bawa motor yang kece banget begitu, pakai seragam SMA lagi. Memang sih orang itu pake jaket jadi kemejanya tertutupi sama jaket tapi celananya tidak, makanya Yaya bisa memastikan kalau tuh orang masih anak SMA.
"Ngapain di sini?" terdengar suara bariton keluar dari mulut cowok itu. Suara itu tampak tak asing ditelinganya
"Hah?" balas gadis itu cengo.
"Nggak pulang lo?" tanya cowok itu lagi.
Yaya sepertinya kenal suara itu, tapi bukan suara Gavin. Siapa ya?
"Kamu kenal aku?" ia malah bertanya balik.
"Nggak penting." sahut cowok itu.
"Cih." gadis itu berdecih.
Sesaat kemudian ia kembali membanting-banting kakinya di lantai seperti anak kecil. Cowok di motor itu menatapnya aneh dari balik helmnya.
"Kenapa nggak pulang?" tanyanya lagi. Dilihatnya gadis itu balik menatapnya dengan wajah sebal yang terlihat lucu.
"Nggak punya duit." jawab Yaya dongkol.
Ia sedang merasa sebal. Bukan sama cowok di motor itu tapi sama dirinya sendiri yang tidak punya uang buat pulang.
"Mau gue anter nggak?"
Yaya mengangkat kepalanya mendongak ke cowok itu. Bukan karena merasa senang ada yang menawarinya untuk mengantarnya pulang, gadis itu malah curiga. Otaknya mulai di isi dengan bayangan-bayangan jahat. Ia melirik kanan kiri sebentar lalu menyipitkan matanya ke cowok itu.
"Kamu mau nyulik aku ya?" tuduhnya curiga.
Cowok itu menatapnya tajam dari balik helmnya. Satu detik tak ada balasan, dua detik... tiga detik... empat detik...
"Sinting lo."
Hanya dua kata yang keluar dari mulut cowok itu. Sedang Yaya masih saja menatapnya curiga. Bisa ajakan dia benar.
"Lah terus kalo nggak mau nyulik, ngapain ngajakin pulang bareng?" tanyanya ceplas ceplos.
Cowok itu bahkan tidak mau nunjukin wajahnya, gimana dia mau percaya coba kalau tuh cowok adalah cowok baik-baik. Sekarang kan banyak sekali penculik yang berkeliaran. Pikirnya.
Penculik yang nyamar-nyamar jadi anak SMA juga pasti ada.
"Yang ngajakin pulang siapa? Emang lo temen gue?" balas cowok itu ketus.
"Terus tadi apaan?" balas Yaya lagi tak mau kalah.
"Gue nawarin anterin lo karena lo nggak punya duit buat pulang, lo cewek dan ini udah mau gelap, tapi kalo lo nggak mau ya udah gue pergi. Semoga aja lo masih hidup sampe besok pagi." kesal cowok itu sambil menakut-nakuti. Ia bahkan tidak sadar karena gadis itu ia jadi banyak bicara hari ini.