"Mulai sekarang kamu harus putus sekolah."
"Apa, Yah?"Rachel langsung berdiri dari tempat duduk nya setelah mendapat keputusan sepihak dari ayahnya.
"Keluarga kita tiba-tiba terjerat hutang Dan ayah sama sekali nggak bisa membayarnya. Jadi ayah dan ibu kamu sudah sepakat kalau kita berdua akan menjodohkan kamu dengan anak Presdir keluarga Reynard agar kami mendapatkan uang. Ayah dengar kalau keluarga Reynard akan bayar wanita yang mau menikahi anaknya karena anaknya cacat"
Rachel menggertakkan giginya marah.
"Ayah gak bisa main sepihak gitu dong! Masalahnya Rachel tinggal 2 bulan lagi bakalan lulus sekolah! 2 bulan lagi lho, yah! 2 bulan! Terus tega-teganya ayah mau jadiin Rachel istri orang gitu? Mana yang cacat lagi!" Protes Rachel.
"Dengerin ayah dulu. Ini semua demi keluarga kita. Kamu mau kalau rumah kita tiba-tiba disita?" Sahut Ridwan, Ayah Rachel.
"Tapi kenapa harus Rachel, pa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon megawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab
"Baiklah tapi pastikan kamu istirahat yang cukup. Kita semua di sini untuk kamu."
William mengangguk, meskipun wajahnya masih menunjukkan kekhawatiran.
"Yang penting kalian berdua selamat. Kalian butuh istirahat. Ayo, kami akan bantu Rachel ke kamarnya."
Setalah memastikan Rachel nyaman di tempat tidurnya, Eliza dan ayah Reagan meninggalkan kamar, memberi mereka waktu untuk beristirahat.
Reagan mendekat dan duduk di tepi tempat tidur Rachel, menatapnya dengan penuh perhatian.
"Kamu yakin baik-baik saja?"
Rachel mengangguk mencoba tersenyum. "Iya, mas. Aku hanya perlu istirahat sebentar."
Reagan mengangguk dan mengelus tangan Rachel dengan lembut.
"Kalau begitu, istirahatlah. Aku akan berjaga di sini."
Rachel Terdiam sesaat. Ia merasa jantungnya tiba-tiba berdetak saat Reagan mengatakan seperti itu dan merubah gaya bicaranya kenapa dia?
"Sudah tidur saja. Jangan ada pikirkan hal lainnya," kata Reagan sambil mengelus kepala Rachel.
Rachel pun akhirnya mulai menutup matanya kembali.
Meskipun rasanya aneh, gadis itu mencoba untuk menutup mata dan tertidur.
Reagan tetap duduk di samping tempat tidur Rachel, mengawasinya dengan cermat.
Ia memastikan bahwa Rachel merasa nyaman dan aman.
Melihat Rachel mulai tertidur dengan napas yang lebih tenang, Reagan merasa sedikit lega.
Ketika Rachel sudah benar-benar tertidur, Reagan berdiri perlahan dan berjalan keluar kamar, memastikan tidak ada yang bisa menggangu istirahat istrinya.
Dia menemukan salah satu anak buahnya di luar pintu, berjaga.
"Kita harus lebih waspada mulai sekarang," kata Reagan dengan suara rendah.
"Perketat keamanan di sekitar rumah ini. Saya takut mereka bisa saja akan menyerang kediaman ini kapan saja."
"Baik, tuan. Kami akan memasang kamera pemantau di beberapa titik jalanan dan juga bom yang akan kita ledakan bila ada orang yang mencurigakan," kata bodyguard itu.
"Tetapi tuan ada yang lebih mengejutkan lagi daripada penyerangan dadakan tadi," kata bodyguard itu.
"Kenapa?" tanya Reagan mengerenyitkan keningnya.
"Kami juga tidak bisa mendapatkan informasi terkait siapa yang mengirim pasukan mereka tadi."
Reagan memandang bodyguard itu dengan identitas yang tajam.
"Apa maksud kalian? Bagaimana mungkin kita tidak bisa mendapatkan informasi tentang mereka?"
Bodyguard itu menggelengkan kepala. "Kami sudah mencoba segala cara, tuan. Mereka seperti bayangan."
"Tidak meninggalkan jejak apapun. Bahkan sumber informasi yang biasanya bisa diandalkan tidak tahu apa-apa tentang mereka."
Reagan menggerakkan giginya, mereka frustasi.
"Ini tidak masuk akal. Semua orang punya jejak, sesuatu yang bisa ditelusuri."
Bodyguard itu melanjutkan, "ada kemungkinan mereka adalah bagian dari kelompok yang lebih besar dan lebih rahasia."
"Atau mungkin mereka memiliki koneksi yang kuat untuk menyembunyikan identitas mereka."
Reagan berpikir sejenak berusaha menyusun strategi.
"Baiklah, kita harus lebih berhati-hati. Tingkatkan keamanan di sekitar Rachel dan pastikan tidak ada cela."
"Kita juga perlu mencari tahu lebih banyak tentang siapa yang mungkin memiliki motif untuk menyerang kita."
Bodyguard itu mengangguk. "Siap, tuan. Kami akan segera meningkatkan pengamanan."
Reagan memandang kembali ke arah Rachel yang masih tertidur.
"Kita harus mengungkapkan siapa di balik semua ini. Saya tidak membiarkan siapa pun menyakiti keluarga kecil saya lagi."
Keluarga kecil?
Kenapa Reagan tiba-tiba menganggap seperti itu? Bukankah ini hanya pernikahan kontrak kenapa dia bisa-bisanya bersikap serius seperti ini?
Reagan menggelengkan kepalanya. "Tidak. Ini hanya pernikahan kontrak, jangan terbawa suasana."
Namun, semakin ia mencoba menyakinkan dirinya sendiri, semakin sulit baginya untuk mengabaikan perasaan yang mulai tumbuh.
Reagan tahu bahwa situasi ini semakin rumit dan ia harus membuat keputusan yang tepat demi keselamatan dan masa depan mereka berdua.
Reagan duduk di sofa, merenungkan situasi yang semakin rumit.
Meskipun perasaannya campur aduk, ia tahu bahwa fokus utamanya sekarang adalah menjaga Rachel tetap aman dan mencari tahu siapa yang menyerang mereka.
Beberapa jam kemudian, Rachel terbangun dan menemukan Reagan masih berjaga disampingnya. "Mas,"
Panggil Rachel dengan suara lemah.
Reagan segera beranjak mendekat. "Kamu sudah bangun? Bagaimana perasaan mu?"
Rachel mengangguk pelan. "Sedikit lebih baik. Apa kamu tidak tidur?"
Reagan tersenyum tipis. "Tidak apa-apa. Saya hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja."
Rachel menatap Reagan dengan penuh rasa terima kasih.
"Terimakasih, mas. Aku merasa lebih tenang karena kamu ada di sini."
Reagan hanya mengangguk dan mengelus tangan Rachel.
"Kamu harus banyak istirahat. Kita masih harus mencari tahu siapa yang menyerang kita dan kenapa."
Rachel mengangguk, meskipun kekhawatiran masih terlihat di matanya. "Mas, tentang Marvin..."
Reagan mengangkat alis. "Apa yang tentang Marvin?"
Rachel menarik napas dalam-dalam.