Kumpulan Cerita Pendek Kalo Kalian Suka Sama Cerpen/Short Silahkan di Baca.
kumpulan cerita pendek yang menggambarkan berbagai aspek kehidupan manusia dari momen-momen kecil yang menyentuh hingga peristiwa besar yang mengguncang jiwa. Setiap cerita mengajak pembaca menyelami perasaan tokoh-tokohnya, mulai dari kebahagiaan yang sederhana, dilema moral, hingga pencarian makna dalam kesendirian. Dengan latar yang beragam, dari desa yang tenang hingga hiruk-pikuk kota besar, kumpulan ini menawarkan refleksi mendalam tentang cinta, kehilangan, harapan, dan kebebasan. Melalui narasi yang indah dan menyentuh, pembaca diajak untuk menemukan sisi-sisi baru dari kehidupan yang mungkin selama ini terlewatkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elfwondz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menikahi CEO Dingin.
Langit Jakarta mendung sore itu. Di balik kaca jendela besar gedung pencakar langit, Nadine menatap ke kejauhan dengan perasaan berdebar yang tak bisa dia jelaskan. Hidupnya akan berubah total dalam beberapa jam lagi, dan yang lebih mengerikan, dia tak yakin apakah perubahan ini yang dia inginkan.
“Aku benar-benar gila,” gumam Nadine, seraya menyandarkan kepala di kursi kerja, tatapannya menerobos cakrawala kelabu di luar sana. “Aku menikahi orang yang bahkan tidak mencintaiku. Bahkan aku tak yakin aku mencintainya.”
Satu hal yang Nadine tahu pasti, pria itu—Rizky Mahardika—bukanlah pria biasa. Dia CEO salah satu perusahaan teknologi terbesar di Indonesia, dengan sikap dingin, otoritatif, dan tak tersentuh. Pria yang penuh dengan misteri dan kebekuan di matanya. Mereka akan menikah besok pagi, namun bukan karena cinta.
Melainkan karena perjanjian bisnis.
Nadine mengenalnya pertama kali bukan sebagai sosok CEO, melainkan sebagai pria arogan yang hampir menabraknya dengan mobil di persimpangan jalan. Saat itu, Nadine sedang terburu-buru menuju wawancara pekerjaan di perusahaannya, PT Mahardika Tech. Mobil hitam mengilat itu hampir menyerempetnya di zebra cross, dan bukannya meminta maaf, pria yang turun dari mobil justru menatapnya dengan dingin tanpa sepatah kata.
“Apa kau tak lihat zebra cross?” seru Nadine dengan berani.
Pria itu hanya menaikkan satu alis, lalu melangkah pergi. Tanpa disadari Nadine, pria itu adalah Rizky Mahardika—bos yang akan dia temui dalam wawancara tersebut.
Saat wawancara berlangsung, ruangan terasa kaku dan penuh tekanan. Nadine mencoba berbicara tenang, namun tatapan tajam Rizky membuatnya sulit bernapas. Dia merasakan hawa dingin memancar dari sosok pria itu, seolah dia adalah patung tanpa perasaan. Satu-satunya kalimat yang Rizky ucapkan dalam wawancara itu adalah, “Aku tak suka orang yang tak menghormati peraturan, apakah kau bisa bekerja dengan baik di sini?”
Nadine hanya bisa menelan ludah dan mengangguk. Dia mendapat pekerjaan itu, namun hubungan mereka tak pernah baik sejak hari pertama.
Hubungan kerja mereka berjalan kaku selama setahun. Nadine tetap bekerja di bawah bayang-bayang Rizky yang terus bersikap dingin, tanpa senyuman, dan tanpa banyak kata. Tak ada yang tahu apa yang dia pikirkan, kecuali mungkin dirinya sendiri. Namun, ada sesuatu yang mulai berubah dalam hidup Nadine ketika suatu malam dia dipanggil ke ruang kerja Rizky. Saat itulah segalanya mulai terasa semakin aneh.
“Masuk,” suara Rizky terdengar tanpa emosi ketika Nadine mengetuk pintu kantornya.
Dia melangkah masuk, perasaan was-was memenuhi benaknya. Di balik meja besar, Rizky duduk dengan postur tegak, wajahnya masih tak menunjukkan ekspresi apapun.
“Kamu ingin bicara sesuatu, Pak?” tanya Nadine, merasa tercekik oleh suasana.
“Ya,” jawab Rizky tanpa basa-basi. “Aku butuh bantuanmu dalam urusan pribadi.”
Nadine mengerutkan kening, “Urusan pribadi?”
Rizky menatapnya lurus, tanpa sedikit pun perubahan emosi. “Aku akan menikah. Dan aku ingin kamu yang menjadi istriku.”
Jantung Nadine serasa berhenti berdetak. Kata-kata Rizky begitu sederhana, namun dampaknya seperti ledakan besar di kepalanya.
“Ma—Maaf, apa?” Nadine tergagap, yakin bahwa telinganya salah dengar.
“Aku butuh istri untuk urusan bisnis, bukan cinta,” jelas Rizky. “Perusahaan kami sedang berada dalam kesepakatan merger besar, dan image CEO yang menikah dianggap lebih stabil oleh para investor. Ini murni perjanjian bisnis, bukan hal yang personal.”
Nadine menatapnya dengan tak percaya. “Kamu mau menikahi seseorang hanya untuk tampilan di depan investor?”
“Betul,” jawabnya tegas. “Dan aku memilih kamu karena aku tahu kamu cukup profesional untuk tidak mencampur adukkan urusan pribadi dan pekerjaan. Ini adalah tawaran yang sangat menguntungkan bagimu. Aku bisa memastikan kamu akan mendapatkan segala yang kamu butuhkan.”
Nadine terdiam, otaknya berputar dengan kecepatan penuh. Ini jelas gila. Tidak ada alasan logis bagi seorang wanita untuk menerima tawaran seperti ini. Tapi di sisi lain, Rizky benar, ini adalah kesempatan besar untuk dirinya—terutama dalam hal keuangan. Selain itu, ada sesuatu dalam diri Rizky yang, meskipun dingin, membuat Nadine merasa tertantang. Seolah ada misteri besar yang harus dia pecahkan.
“Aku butuh waktu untuk berpikir,” jawab Nadine akhirnya.
Seminggu kemudian, Nadine akhirnya berkata, “Ya.”
Pernikahan mereka berlangsung sederhana namun mewah, di sebuah hotel bintang lima di tengah kota. Tanpa kehadiran keluarga besar atau teman-teman dekat. Hanya ada mereka berdua, beberapa saksi, dan media yang meliput.
Rizky tetap menjadi sosok dingin yang tak tersentuh sepanjang acara. Tak ada tawa, tak ada percakapan hangat. Mereka saling berjabat tangan di depan penghulu seperti dua mitra bisnis yang baru saja menandatangani kontrak.
Setelah pernikahan, kehidupan mereka berdua terasa aneh. Meski satu atap, mereka jarang berbicara. Rizky selalu pulang larut malam, sibuk dengan pekerjaannya, sementara Nadine mencoba menjalani hari-harinya dengan biasa-biasa saja. Dia tahu bahwa ini bukan pernikahan nyata, namun tetap saja, ada sesuatu yang mengganggu batinnya.
Hingga suatu malam, segalanya berubah.
Suatu malam, Nadine terbangun karena mendengar suara-suara dari kamar kerja Rizky. Penasaran, dia mendekat dengan hati-hati. Di balik pintu, dia mendengar suara Rizky yang terdengar berbeda—bukan lagi datar dan dingin, melainkan penuh kemarahan.
“Aku sudah bilang, aku tak akan mengizinkan kalian menghancurkan perusahaan ini!” suara Rizky terdengar menggema, penuh dengan intensitas yang belum pernah Nadine dengar sebelumnya.
Dia mengintip dari celah pintu. Di dalam, Rizky sedang berbicara dengan seseorang di telepon, wajahnya tampak tegang.
“Jika kalian terus menekan, aku tak segan-segan menghancurkan kalian semua,” lanjut Rizky dengan nada yang lebih rendah, hampir berbisik.
Nadine menahan napas. Siapa yang Rizky ancam? Dan kenapa dia begitu marah? Ada sesuatu yang salah dalam dunia bisnisnya, dan Nadine bisa merasakan bahaya yang mengintai.
Saat Rizky menutup telepon dan berbalik, dia terkejut melihat Nadine berdiri di pintu.
“Kamu mendengar semuanya?” tanya Rizky, suaranya kembali dingin.
Nadine mengangguk pelan, tapi tak bisa berkata-kata. Ada begitu banyak pertanyaan di kepalanya.
Rizky berjalan mendekatinya, tatapannya tajam. “Kamu harus menjauh dari masalah ini. Ini bukan urusanmu.”
“Apa yang sebenarnya terjadi, Rizky?” Nadine bertanya, memberanikan diri.
Pria itu terdiam sesaat, seolah mempertimbangkan sesuatu. Lalu, untuk pertama kalinya, dia berbicara dengan jujur.
“Ada pihak yang ingin menjatuhkan perusahaanku. Merger ini bukan hanya urusan bisnis biasa, Nadine. Ini lebih besar dari yang kau bayangkan. Dan mereka akan melakukan apa saja untuk menghancurkanku—termasuk menyakitimu jika perlu.”
Nadine merasakan bulu kuduknya meremang. “Menyakitiku? Kenapa?”
“Karena sekarang kamu adalah istriku,” jawab Rizky dingin. “Dan itu membuatmu menjadi sasaran.”
Sejak malam itu, hubungan mereka berubah drastis. Nadine kini menjadi bagian dari dunia yang jauh lebih berbahaya dari yang pernah dia bayangkan. Setiap malam Rizky bekerja keras untuk menyelamatkan perusahaannya, dan Nadine mulai terlibat semakin dalam. Mereka sering terlibat dalam percakapan serius di malam hari, membahas langkah apa yang harus diambil selanjutnya.
“Aku tak bisa membiarkan mereka menang,” kata Rizky suatu malam, tatapannya masih penuh ketegangan. “Ini lebih dari sekadar uang atau reputasi. Ini soal bertahan hidup.”
Di bawah tekanan yang semakin memuncak, Nadine mulai melihat sisi lain dari Rizky. Di balik sikap dinginnya, dia ternyata adalah seseorang yang terobsesi dengan tanggung jawab, bahkan jika itu berarti harus mempertaruhkan nyawanya sendiri.
“Apa ini sepadan, Rizky?” tanya Nadine pada akhirnya. “Kenapa kamu terus berjuang?”
Rizky menatapnya lama, sebelum akhirnya menjawab pelan. “Karena ini satu-satunya cara aku bisa melindungi orang.