Yaya_ gadis ceria dengan sejuta rahasia.
Ia selalu mengejar Gavin di sekolah,
tapi Gavin sangat dingin padanya.
Semua orang di sekolah mengenalnya sebagai gadis tidak tahu malu yang terus mengemis-ngemis cinta pada Gavin. Namun mereka tidak tahu kalau sebenarnya itu hanya topengnya untuk menutupi segala kepahitan dalam hidupnya.
Ketika dokter Laska memvonisnya kanker otak, semuanya memburuk.
Apakah Yaya akan terus bertahan hidup dengan semua masalah yang ia hadapi?
Bagaimana kalau Gavin ternyata
menyukainya juga tapi terlambat mengatakannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mae_jer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Sudah tiga hari ini Yaya absen. Semenjak kejadian ia tidak sadarkan diri di kelas, lukanya memburuk dan ia tidak diijinkan keluar dari rumah sakit selama beberapa hari oleh dokter Laska. Lukanya memang serius, jadi Laska tidak mau mengambil resiko kalau mengikuti kemauan Yaya yang ingin keluar dari rumah sakit secepatnya. Dalam situasi seperti ini, tidak ada salah bersikap tegas.
Dokter tampan itu masih ingat jelas bagaimana keadaan Yaya saat ia datang menjemputnya di sekolah. Kenapa dia yang jemput? Kenapa bukan papa gadis itu saja atau mama tirinya? Alasannya mereka semua sibuk. Tidak ada waktu katanya. Karena itu papa Yaya menelpon dokter Laska untuk mengurus putrinya, apalagi gadis itu memang pasien pribadinya. Pasien paling keras kepala tapi juga paling penting bagi seorang dokter tegas seperti Laska. Bagi Laska, Yaya sudah ia anggap seperti adiknya sendiri. Apalagi keluarga gadis itu seperti tidak peduli padanya lagi. Itu membuat keinginan Laska mengangkat Yaya sebaik adiknya makin besar.
Yaya menarik nafas panjang menatap keluar jendela yang langsung dihadapkan dengan sebuah taman kecil Rumah Sakit. Ada banyak pasien lainnya yang terlihat menikmati udara segar di taman itu. Beberapa anak didampingi orangtua mereka begitu pula sebaliknya. Orang-orang di luar sana tersenyum bahagia.
Sejujurnya Yaya iri pada mereka. Keluarga mereka terlihat memperlakukan mereka sangat baik. Mereka ada yang menemani ketika sakit, tapi dia?
Gadis itu tersenyum kecut, selama ia di rawat di rumah sakit ini, belum ada seorang pun yang datang mengunjunginya. Semua orang yang ia harapkan tidak datang. Ingin rasanya gadis itu menangis, tapi ditahannya. Ia tidak mau orang-orang menertawainya.
Tiba-tiba pintu kamar rawat itu terbuka. Awalnya Yaya mengira yang datang adalah perawat atau dokter Laska, tapi ketika menoleh ia melihat wajah yang familiar tengah berjalan ke arahnya.
Gadis itu mengernyitkan dahi bingung.
"Kak Sava?
Yah, itu adalah Savaro. Lelaki itu kini duduk di tepi ranjang. Pandangannya turun ke Yaya. Ekspresinya datar seperti biasa. Sebenarnya ia tidak tahu kalau gadis itu sedang di rawat di sini, ia hanya kebetulan melihatnya dari seberang tadi, saat menunggu mamanya selesai berobat.
"Lo kenapa?" tanya Savaro menatap Yaya dari atas ke bawah. Gadis itu malah menatapnya bingung.
"Hm?" balasnya.
"Lo kenapa di sini? Sakit apa?" tanya cowok itu lagi memperjelas.
"Oh, luka aku berdarah." jawab Yaya ambigu. Savaro menatapnya bingung.
"Maksud lo?" kali ini pandangan Savaro berpindah kebagian dahi sampai kepala gadis itu yang diperban. Ia tidak begitu memperhatikannya tadi.
"Kepalaku kena pecahan gelas." jelas gadis itu lagi. Savaro mengangguk mengerti tapi terus mengamati gadis itu.
"Tapi udah nggak apa-apa kan?" untuk ketiga kalinya cowok itu bertanya. Ia merasa dirinya jadi suka bertanya tiap kali berhadapan dengan adik kelasnya yang satu ini.
Yaya menganggukkan kepala.
"Kak Sava kenapa di sini? giliran gadis itu bertanya.
"Temenin mama berobat."
"Oh."
"Ya udah, kayaknya mama gue udah nungguin. Gue balik yah. Lo cepet sembuh." cowok itu berdiri, mencubit pipi tembem Yaya lembut lalu berbalik pergi dari situ.
Yaya menatap kepergian kakak kelasnya tersebut dengan wajah bingung. Kesambet apa tuh orang? Kok tiba-tiba baik? Mana sifat galaknya yang kayak biasa? Apa jangan-jangan karena dirinya sakit jadi kak Sava sengaja baik-baikin dia?
Gadis itu tersenyum senang. Meski tidak bisa dianggap menjenguk, tapi ia merasa senang ada yang mau menyapa dan bicara dengannya. Ia teringat Gavin, andai saja Gavin juga peduli sama dia. Gadis itu menghembuskan nafas lelah. Tidak apa-apa, yang penting ia masih bisa melihat pria itu. Gadis itu tersenyum bersamaan dengan masuknya dokter Laska.
"Gimana lukanya, masih sakit?" tanya sang dokter di sela-sela kesibukannya memeriksa bagian kepala Yaya.
Gadis itu menggeleng.
"Kapan aku bisa pulang?" tanyanya menatap Laska. Dokter itu menatapnya setelah selesai memeriksa.
"Besok."
Yaya tersenyum senang.
"Aku akan memanggilmu lagi setelah hasil pemeriksaannya keluar." tambah Laska. Yaya menganggukan kepalanya menurut. Sangat sulit bilang tidak pada dokter sebaik dokter Laska. Coba deh kakaknya bisa bersikap lembut selembut dokter Laska memperlakukannya.
***
Yaya menarik nafas dalam-dalam merasakan udara di pagi hari yang terasa begitu menenangkan. Sekarang ini ia sudah berdiri didepan gerbang sekolahnya lagi setelah hampir seminggu tidak masuk.
Ia senang bukan karena merindukan sekolah itu. Tapi karena dirinya bisa melihat Gavin lagi. Gadis itu tersenyum ceria saat berjalan menuju kelasnya.
"GAVIIINNN."
suara cemprengnya membuat seisi kelas menatapnya dengan ekpresi berbeda-beda. Kebanyakan merasa terganggu. Tapi siapa peduli? Kan ia sudah tidak punya rasa malu lagi kalau mengejar Gavin. Seisi kelas tahu itu.
Gavin cukup kaget mendengar teriakan namanya yang bergema di seluruh ruangan kelas itu. Ia menutup matanya dalam-dalam dan menggeram dalam hati. Ia kenal sekali suara siapa itu. Gadis itu akhirnya muncul lagi setelah dia bisa merasakan ketenangan beberapa hari ini.
"Gavin, kamu nggak selingkuh kan selama aku nggak ada?" seru Yaya yang sudah sampai dibangkunya dan duduk menghadap Gavin. Gadis itu sudah terlihat sehat meski kepalanya masih diperban. Gavin menatap datar tak menghiraukannya seperti biasa.