HARAP BIJAK MEMILIH BACAAN, PASTIKAN UDAH PUNYA KTP YA BUND😙
Bosan dengan pertanyaan "Kapan nikah?" dan tuntutan keluarga perihal pasangan hidup lantaran usianya kian dewasa, Kanaya rela membayar seorang pria untuk dikenalkan sebagai kekasihnya di hari perkawinan Khaira. Salahnya, Kanaya sebodoh itu dan tidak mencaritahu lebih dulu siapa pria yang ia sewa. Terjebak dalam permainan yang ia ciptakan sendiri, hancur dan justru terikat salam hal yang sejak dahulu ia hindari.
"Lupakan, tidak akan terjadi apa-apa ... toh kita cuma melakukannya sekali bukan?" Sorot tajam menatap getir pria yang kini duduk di tepi ranjang.
"Baiklah jika itu maumu, anggap saja ini bagian dari pekerjaanku ... tapi perlu kau ingat, Naya, jika sampai kau hamil bisa dipastikan itu anakku." Senyum tipis itu terbit, seakan tak ada beban dan hal segenting itu bukan masalah.
Ig : desh_puspita
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama penulis gamau mikir dan kreator YouTube yg gamodal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28
Sabar menunggu, mata Siska akhirnya terbuka pelan-pelan. Kepalanya terasa sakit luar biasa, pusing dan kini berusaha untuk bangun namun rasanya tak bisa.
"Siska, ini berapa?"
Wanita itu hendak memastikan Siska benar-benar sadar atau belum sebenarnya. Mana sempat untuk mejawab, Siska masih sangat kesal dengan kehadiran Kanaya dan juga Ibra yang menunggu dengan santai bersandar di meja riasnya.
"Ck, singkirkan tanganmu," celetuknya sembari memperlihatkan wajah cemberut, kepalanya cenat cenut dan bisa dipastikan keningnya benjol.
Kanaya memberikan kaca kecil yang sepertinya Siska cari. Khawatir sekali ada cacat di wajah cantiknya itu hingga dalam keadaan pusing begitu dia masih menjadikan wajah sebagai hal penting dalam hidupnya.
"Auuh, Kanaya .... benjol sebesar ini, kalau Haikal mutusin aku gimana?!" sentak Siska tampaknya sebal sekali, dan Kanaya yang bingung harus menjawab apa hanya bisa meminta maaf pada Siska.
Sepertinya masalah Ibra dan Kanaya dia lupakan? Tidak tentu saja. Tidak mungkin secepat itu dia akan melepaskan kedua manusia itu dari genggamannya.
Siska selesai dengan wajahnya, kini mata tajam itu menatap Ibra. Pria tampan namun kini di matanya benar-benar menyebalkan, tatapan datar dan wajah sama sekali tak bersalah itu dapat Siska saksikan dengan nyata.
"Kau," panggil Siska sembari menunjuk Ibra dengan jemari lentiknya, jemari yang bisa saja patah jika Ibra mau bertindak.
"Berani sekali kau menghamili sahabatku? Kau tau bagaimana sulitnya dia mempertahankan keperawannya? Hah?!!"
Siska pingsan namun kenapa secepat itu kekuatannya kembali, pikir Kanaya. Pertanyaan frontal yang membuat Kanaya kembali malu luar biasa. Sepertinya baik Ibra maupun sahabatnya sama saja, sama-sama sinting dan tidak berpikir ketika berbicara.
"Oh iya? Coba tanya pada temanmu kenapa dia mau?" tantang Ibra kembali tanpa sedikitpun merasa bentakan Siska akan membuat batinnya terluka, sama sekali tidak dan kemarahan wanita itu hanya membuat Ibra menyunggingkan senyum.
"Siska sudah, sudah kukatakan semua bukan salah Ibra."
Siska bingung, wajah Kanaya yang terlihat memohon untuk tidak mempermasalahkannya lagi. Sungguh dia merasa Kanaya yang kini di depannya bukanlah Kanaya yang biasa ia kenal.
"Maksudmu apa lagi? Bukan salahnya, berarti kamu yang mulai duluan? Kamu yang minta? Kamu yang mau, Kanaya? Iyaa?!!" tanya Siska dengan nada tingginya, Ibra luar biasa kesal melihat kemarahan wanita itu, alangkah lebih baiknya jika wanita itu kembali pingsan saja, pikirnya.
"Iya!! Aku yang mau!! Aku yang meminta bahkan aku yang membayarnya!! Puas kamu, Siska?!!"
Gantian, kesal karena sejak tadi Siska selalu membentaknya walau permintaan maaf sudah berkali-kali. Kanaya kini meluapkan emosinya, berada di posisinya tidaklah mudah, dan jika ditambah dengan kemarahan Siska, rasanya dia sakit luar biasa.
"Bab-bayar? Ap-apa maksud kamu, Nay? Kamu nggak gila kan?" tanya Siska bergetar, ini semakin tidak sehat dan apa yang Kanaya ucapkan membuatnya terpukul.
Tak percaya, ini semua pasti bahan bercandaan Kanaya, pikir Siska mencari ketenangan. Tetapi tunggu, Kanaya menangis dan sepertinya ini bukan candaan biasa.
"Aku tidak bercanda dan memang itu nyatanya, Siska," ujar Kanaya sembari tak kuasa menahan air matanya, sejak tadi ia bertahan namun karena menghadapi Siska yang hanya membentaknya, dia tak tahan.
"Nay? Kamu ... aduh kepalanya ya, Tuhan!!! Kanaya!!"
Lagi dan lagi, Siska kembali menjerit dan membentak Kanaya hingga tubuh wanita itu bergetar. Sebagai saksi mata, Ibra hanya bersedekap dada menyaksikan dua wanita ini perang tiada habisnya.
Siska menarik napas dalam-dalam, dia berusaha sebaik mungkin mengatur diri agar tak pingsan lagi. Dia tatap wajah Kanaya yang begitu sendu, sejak tadi dia mengusap kasar air matanya dan terlihat jelas jika Kanaya tengah frustasi saat ini.
Kenapa Kanaya masuk sejauh ini, siapa yang membatnya segila ini, sungguh saat ini Siska masih menolak kebenaran.
"Apa kamu semenyedihkan itu sampai bayar gigolo, Naya?"
Uhuk
Pria yang berada tak jauh dari depannya mendadak tersedak ludah sendiri. Apa tadi? Gigolo? Yang benar saja, semakin menggila saja anggapan orang-orang ini padanya.
"Kau kenapa? Tidak terima?" tanya Siska kini bergantian marah pada Ibra, dan Ibra hanya menanggapi pertanyaan Siska dengan gelengan kepala.
"Bolehkah kau tunggu diluar saja? Aku sangat risih dengan tatapan matamu itu," usir Siska akhirnya pada Ibra, mata Ibra sejak tadi membuatnya sangat tak nyaman.
-
.
.
.
Hendak bagaimana, jika bisa dikatakan hancur, ya jelas Siska hancur sekali. Kanaya adalah sosok waniya paling bijaksana dan membatasi interaksi kepada lawan jenis.
Siska hanya tak menyangka saja jika yang melakukannya adalah Kanaya, andai ini Lorenza rasanya masih masuk akal. Tapi ini, dia tidak bisa menerimanya lagi.
"Jangan pikirkan aku, Siska ... aku tau salah, tapi bukan berarti aku berpikir untuk melakukan hal yang semakin salah di masa depan," tutur Kanaya mulai tenang.
"Dia mau tanggung jawab? Apa yang kamu pikirkan setelah hidup bersamanya? Kamu merusak masa depanmu, Naya, sadar nggak?"
Pikiran buruk tentang Ibra tak bisa lepas dalam diri Siska, mau bagaimanapun Kanaya membelanya tetap saja pria itu tak lebih dari sekadar lelaki bayaran di mata Siska.
"Masa depan yang mana? Sejak dulu memang tidak ada pertanda baiknya kan?" Kanaya sedih mendengar perkataan Siska yang mengatakan hidup dengan Ibra akan merusak masa depannya.
"Kamu pikirkan saja, setinggi apa impianmu dulu setiap membahas calon suami? Bahkan Gibran yang dulu naik jabatan masih kamu anggap belum sampai di titik pria yang bisa membahagiakan kamu secara materi, Naya. Sementara dia?" Siska meragukan Ibra bisa menjadi seorang pemimpin bagi Kanaya.
"Perihal itu, aku tidak peduli lagi, Siska ... yang penting dia menerimaku, disaat dunia menyudutkan bahkan keluarga dan temanku menganggap aku hina, hanya dia yang tidak."
Kanaya berucap pelan, ini adalah kalimat sindiran yang ia berikan juga pada Siska. Wanita itu sejak tadi selalu menyudutkan dirinya, Kanaya memilih Siska sebagai tempat pulang, tapi ternyata dia tak jauh berbeda dengab kakaknya.
"Kamu menyindirku?"
"Tidak, aku hanya bicara fakta saja, Siska."
Keduanya kini terdiam, bingung hendak bagaimana karena mereka sama-sama hancur. Siska yang merasa kehilangan Kanaya belum bisa untuk merengkuh Kanaya secepat itu, sementara Kanaya yang memang terluka, semakin terluka dengan segala ucapan Siska yang justru ia rasa tak menerimanya.
"Maaf, Kanaya ... a-aku, aku cuma kecewa, bukan menganggapmu hina."
"Tidak apa, kan memang faktanya aku hina, kalau kata mas Adrian aku memang pembawa sial yang akan selamanya hina dan tidak berharga," tutur Kanaya yang membuat Siska merasa semakin bersalah, dalam hal ini dia tidak bisa tinggal diam, dan demi apapun keraguan terhadap Ibra masih ia rasakan.
"Berhenti berpikir seperti itu, saat ini pikirkan saja bagaimana baiknya ... semoga saja kamu tidak salah langkah," ujar Siska pasrah.
Apapun keputusan Kanaya, menikah ataupun menerima siapapun Ibra itu terserah dia, karena tidak mungkin dia justru meminta seorang pria yang menjadi pelaku utama lari dari tanggung jawab untuk sahabatnya.
monmaap, gabisa gak suujon ama si Widya..