NovelToon NovelToon
Sebatas Istri Bayangan

Sebatas Istri Bayangan

Status: sedang berlangsung
Genre:Mengubah Takdir / Keluarga / Suami Tak Berguna / Penyesalan Suami / Ibu Mertua Kejam
Popularitas:7.6k
Nilai: 5
Nama Author: rose.rossie

Kirana, seorang wanita lembut dan penyabar, merelakan hidupnya untuk menjadi istri dari Dion, pria pilihannya. Namun, kebahagiaan yang diharapkan tak kunjung datang. Sejak awal pernikahan, Kirana dibayangi oleh sosok mertuanya, seorang wanita yang keras kepala dan suka mengontrol. Mertuanya tak pernah menganggap Kirana sebagai bagian dari keluarga, selalu merendahkan dan mencampuri setiap keputusan Kirana.

Kirana merasa seperti boneka yang diatur oleh mertuanya. Setiap pendapatnya diabaikan, keputusannya selalu ditolak, dan kehidupannya diatur sesuai keinginan sang mertua. Dion suaminya, tak pernah membela Kirana. Ia terlalu takut pada ibunya dan selalu menuruti segala permintaan sang ibu. Ditengah konflik batinnya, akankah Kirana kuat mengarungi bahtera rumah tangganya? Atau akhirnya ia menyerah dan memilih berpisah dengan suaminya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rose.rossie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 1

Sudah tiga tahun aku menikah dengan Dion. Tiga tahun penuh dengan janji-janji manis yang tak pernah benar-benar terwujud. Pernikahan kami, seperti kata orang, adalah pertemuan dua jiwa yang bersatu dalam cinta. Namun, di balik janji-janji manis itu, ada satu kenyataan pahit yang selama ini menggerogoti kehidupanku—aku bukan hanya menikah dengan Dion, tetapi juga dengan seluruh keluarganya.

Saat awal kami menikah, aku membayangkan kehidupan rumah tangga yang indah. Aku membayangkan kebebasan, ruang untuk tumbuh bersama sebagai pasangan, dan tentu saja, rumah kami sendiri yang damai. Namun, semua itu berubah setelah aku menyadari bahwa keluarganya, terutama ibunya, adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan kami. Rumah ini, meskipun dibangun dengan jerih payah Dion, selalu terasa seperti milik mertuaku, bukan kami.

"Kenapa pintu depan terkunci?" tanya ibu mertuaku suatu hari saat dia datang berkunjung tanpa pemberitahuan, lagi. Aku baru saja selesai mengepel lantai ketika dia masuk dengan langkah tergesa. Nafasnya terengah, seolah rumah kami adalah bagian dari wilayah pribadinya yang bisa diakses kapan saja.

“Oh, saya tidak tahu Ibu akan datang,” jawabku sopan. Aku memaksakan senyum meski hatiku perih. Sebenarnya, aku tahu dia akan datang—dia selalu datang. Setiap hari, tanpa permisi, tanpa rasa segan. Dia punya kunci rumah kami. Suamiku memberikannya tanpa pernah berdiskusi denganku terlebih dahulu.

Ibunya masuk ke dapur tanpa basa-basi. "Ada apa ini, hanya satu jenis lauk? Kalau kamu tahu, besok adik iparmu mau datang, siapkan yang lebih banyak. Orang dari kampung tidak makan makanan seadanya seperti ini."

Aku hanya bisa mengangguk. Berusaha keras untuk tidak menunjukkan ekspresi apapun. Dalam hatiku, aku merasa kecil. Setiap tindakanku, setiap masakanku, setiap keputusan yang kuambil di rumah ini selalu dianggap salah di matanya. Tidak pernah ada pujian, hanya kritik yang tak berkesudahan.

Sering kali, Dion tidak berada di rumah ketika ibunya datang dan membuatku merasa seperti seorang tamu di rumahku sendiri. Aku mencoba membicarakan ini dengannya, berharap ada pengertian. Tapi apa yang kudapat? Sebuah tatapan tajam, dingin, seolah dia berkata, “Biarkan saja. Dia ibuku.”

Kadang aku berpikir, apakah ini kehidupan yang kucita-citakan? Pernikahan seharusnya menjadi tempat berlindung, rumah yang hangat. Tapi aku merasa seperti hidup di bawah kendali orang lain. Setiap hari, aku harus siap dengan kunjungan tak terduga, barang-barang yang diambil tanpa izin, dan masakan yang tak pernah cukup baik.

Hari itu, ibu mertuaku mengambil beras dan beberapa barang dari dapur. “Ini buat rumah adik iparmu. Mereka sedang butuh.” Tanpa pamit, dia keluar membawa sepeda listrik kami yang jarang dipakai.

Aku hanya bisa menatap punggungnya yang menjauh. Tidak ada yang bisa kulakukan selain diam. Protes hanya akan membuat Dion semakin dingin padaku. Aku tahu betul reaksinya, karena aku sudah pernah mencoba berbicara tentang hal ini. Jawabannya selalu sama, “Dia ibuku. Apa yang kau harapkan dariku?”

Aku mulai merasa lelah. Bukan hanya fisik, tapi juga mental. Setiap kali aku melihat ibu mertuaku keluar dari rumah kami dengan barang-barang yang seharusnya menjadi milikku dan Dion, aku merasakan sebuah bagian dari diriku ikut terbawa. Kehidupan ini tidak adil, pikirku. Aku bekerja keras, aku berusaha sebaik mungkin menjadi istri yang baik, tapi apa balasannya?

Sore itu, setelah ibu mertuaku pergi, aku memutuskan untuk istirahat. Tubuhku lelah setelah seharian mengurus rumah. Aku tertidur di sofa, mencoba melupakan semua masalah. Saat bangun, perutku keroncongan. Aku menuju dapur, berharap ada sisa makanan untuk kumakan. Tapi ketika kulihat ke meja makan, piring yang tadi penuh dengan makanan sudah kosong.

“Habis,” gumamku, terkejut. “Ke mana makanannya?”

Setelah menelusuri rumah, aku menyadari bahwa ibu mertuaku telah membawanya pulang. Makanan yang aku masak dengan susah payah, untuk keluargaku, sekarang sudah di rumah adik ipar yang bahkan tidak pernah mengucapkan terima kasih. Aku merasa marah. Hatiku terasa panas, tapi aku menahannya. Ini sudah terlalu sering terjadi, dan aku tahu tidak ada gunanya marah-marah sendiri.

Malam itu, Dion pulang membawa bungkusan nasi goreng. Harapanku kembali tumbuh. Setidaknya, aku bisa makan malam bersama suamiku dengan tenang. Namun, saat aku hendak menyentuh bungkusan itu, Dion langsung menahanku.

“Itu untukku,” katanya singkat.

Aku menatapnya, tak percaya. “Aku belum makan, Dion. Kamu beli hanya untuk dirimu sendiri?”

Dion hanya mengangkat bahu. “Masak saja kalau lapar, atau beli sendiri.”

Itu adalah saat di mana aku merasa seperti pecahan kaca yang hancur. Suami yang seharusnya menjadi pelindungku, malah memperlakukanku seperti ini. Apa artinya pernikahan jika aku hanya dianggap pelayan? Seorang yang harus memenuhi semua kebutuhan keluarga, tanpa diberi perhatian sedikitpun?

Malam itu, aku menangis dalam diam. Aku memandang cincin kawin di jariku, simbol janji yang pernah diucapkan dengan tulus oleh Dion. Aku rela meninggalkan kotaku, orang tuaku, semuanya, demi membangun hidup bersamanya. Tapi apa yang kudapat? Aku seperti hidup dalam neraka kecil yang diciptakan oleh keluarganya, dan Dion hanya diam, membiarkanku terbakar perlahan-lahan.

Besok paginya, aku membuat keputusan besar. Sudah cukup. Aku tidak bisa terus hidup seperti ini. Aku harus memikirkan diriku sendiri. Selama ini, aku selalu memikirkan Dion, selalu mengutamakan kebutuhannya. Tapi sekarang, aku tahu bahwa satu-satunya cara untuk bertahan adalah dengan berdiri di atas kaki sendiri.

Aku menjual mas kawin yang selama ini kusimpan di dalam lemari. Dengan uangnya, aku membeli sebuah iPhone. Bukan untuk gaya-gayaan, tapi untuk masa depan. Aku tahu, jika aku ingin keluar dari bayang-bayang keluarganya, aku harus punya cara sendiri untuk bertahan hidup. TikTok, bisnis affiliate—aku melihatnya sebagai jalan keluar.

Aku mungkin belum tahu bagaimana masa depan akan berjalan, tapi satu hal yang pasti: aku tidak akan lagi tinggal diam dan menjadi korban. Ini waktuku untuk bangkit.

1
Welsa Putri
dtggu lanjutannya
roserossie: Tunggu malam ini ya😘
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!