Naina dijual ibu tirinya untuk menikah dengan pria yang tersohor karena kekayaan dan buruk rupanya, juga menjadi pemegang rekor tertinggi karena setiap tahunnya selalu menikahi ratusan wanita. Selain itu, Minos dikenal sebagai psikopat kejam.
Setiap wanita yang dinikahi, kurang dari 24 jam dikabarkan mati tanpa memiliki penyebab kematian yang jelas. Konon katanya para wanita yang dinikahi sengaja dijadikan tumbal, sebab digadang-gadang Minos bersekutu dengan Iblis untuk mendapatkan kehidupan yang abadi.
“Jangan bunuh aku, Tuan. Aku rela melakukan apa saja agar kau mengizinkanku untuk tetap tinggal di sini.”
“Kalau begitu lepas semua pakaianmu di sini. Di depanku!”
“Maaf, Tuan?”
“Kenapa? Bukankah kita ini suami istri?”
Bercinta dengan pria bertubuh monster mengerikan? Ugh, itu hal tergila yang tak pernah dibayangkan oleh Naina.
“... Karena baik hati, aku beri kau pilihan lain. Berlari dari kastil ini tanpa kaki atau kau akhiri sendiri nyawamu dengan tangan di pedangku?”
***
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Piscisirius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 7 - Dijalari Penasaran
Dengan rupa mengerikannya, dia sulit bahkan tidak diterima oleh siapapun. Kekayaannya pun tak mampu membuat wanita gila harta berlutut padanya, cinta dengan isyarat juga tak bisa membuatnya dicintai.
Terlebih banyak desas-desus tak mengenakan tentang dirinya yang menyebar secara merata pada masyarakat, wanita-wanita yang dikirim ke kastil untuk menjadi istrinya kebanyakan dari kalangan rakyat jelata. Atau wanita putus asa yang tak tahu arah hidupnya akan kemana.
Hanya kemampuan sihirnya yang tidak diketahui oleh orang lain, terkecuali para wanita yang pernah menjadi istrinya. Itu pun mereka sudah mati dan tidak mungkin membocorkannya pada orang-orang.
Tora menghela napas, kepalanya lesu tertunduk. “Pada intinya, Tuan Minos sudah sering ditinggalkan. Sudah bersahabat dengan kehilangan dan penderitaan. Aku tahu apa yang dikatakan mereka di luar sana, tentang Tuan Minos yang bersekutu dengan iblis. Tapi aku mentah-mentah menepis hal itu.”
Karena ada hal yang mengganjal, Naina memberanikan diri untuk bertanya. “Lalu? Apa yang terjadi pada kondisinya hingga bisa seperti itu? Kenapa dia tidak terlihat seperti manusia pada umumnya? Dan juga rumor dia yang sudah menikahi ratusan wanita setiap tahunnya apakah itu benar?”
“Tentang rumor, aku akui itu benar adanya. Dan mengenai kondisi Tuan Minos, aku tidak bisa menjawabnya sekarang. Biarkan waktu yang menjawab pertanyaanmu.” Tora memilih bungkam tentang hal itu, tidak mau terlalu jauh bercerita.
Naina melenguh sebal, rasa penasarannya kian mencuat naik, tapi gagak itu masih enggan bercerita secara jelas. “Kenapa? Kenapa perlu menunggu waktu? Bagaimana jika malam ini aku mati dan tidak tahu tentang jawaban dari pertanyaan itu?”
Tora dengan santai menjawab, “Itu berarti kau bukan orangnya. Kau bukan orang yang selama ini dicari dan dibutuhkan Tuan Minos.”
“Memangnya apa yang sebenarnya dicari olehnya? Perempuan bagaimana yang dibutuhkannya?” cecar Naina, harap mendapat secercah jawaban agar meredakan rasa penasarannya.
“Ini tentang petunjuk. Dan sedikit petunjuk itu ada pada dirimu. Kamu bisa saja menjadi orang yang dimaksud. Dan dengan sendirinya jawaban itu akan segera kamu dapatkan,” balas Tora, kukuh untuk tidak berbicara pada intinya.
“Termasuk soal kenangan dan kutukan yang sempat kau bicarakan?”
Tora mengangguk.
Karena penjelasan gagak itu terlalu berbelit-belit tanpa tahu kemana ujungnya, dan justru malah menambah rasa penasaran yang ada, Naina menyerah untuk bertanya lagi. Seperti apa yang dikatakannya, dirinya hanya perlu menunggu waktu.
Melihat ekspresi sedih bercampur kesal yang terpampang pada gadis di depannya, Tora mencoba untuk menghibur.
“Sudahlah. Sekarang aku harus segera pergi. Kau juga harus membersihkan ruangan ini, bukan? Jika butuh sesuatu, kau bisa panggil diriku dengan bersiul tiga kali. Tapi sebelum itu, semua barang-barang yang kau butuhkan semuanya ada di rumah ini. Cari saja, dan hindari kamar terlarang.”
Naina mengangguk tipis tanpa menatap gagak yang mulai mengepak, bergegas untuk terbang tinggi meninggalkan ruangan ini. Membuat senyap kembali merayap, hening membalut kehampaan, membasuh pilu dari air mata yang mulai menetes kembali.
Semakin memeluk lututnya yang terluka, Naina menenggelamkan kepalanya dibalik kedua kakinya. Kembali tergugu dalam tangis, sesekali kepalanya menanggah untuk mengabsen ruangan kosong melompong yang hanya diisi oleh debu tebal dan kasar yang menjadi pijakan.
Bau lembab membuat lantai dan dinding terasa amat dingin. Dinding dengan cat yang menguning dan sudah mengelupas pun membuat ruangan semakin terlihat tidak layak untuk ditinggali.
Dan agar malam nanti dirinya bisa tidur dengan aman dan nyenyak, otomatis ruangan ini harus dibersihkan sebelum langit menggelap. Bisa saja Naina tidur tanpa beralaskan apa-apa, mengingat satu perabot atau benda pun tak ada di sini.
***
“Tuan, aku kembali.” Tora terbang ke atas tungku perapian, menatap Tuannya yang tampak merenung.
“Kau hampir membuatku ingin membakarmu hidup-hidup!” balasannya yang dingin dengan tatapan yang menghunus nyalang berhasil membuat Tora bergidik.
Tora yang tahu mengapa Tuannya berbicara seperti itu lantas menunduk dan meminta maaf. “Aku tidak akan berbicara secara berlebihan, Tuan. Biar saja gadis itu mencari tahu sendiri maksud dari semua ini. Aku hanya sedikit memberinya pemahaman, agar dia tahu bahwa sifat Tuan yang begini didasari oleh sesuatu.”
Tuan Minos mendesis, “Ya, kau tahu apa akibatnya jika sampai mengatakannya. Tapi seiring berjalannya waktu, ketika dia menemukan atau melihat sesuatu yang membuatnya bertanya-tanya, kau bisa menjelaskannya sedikit. Kau dan aku tahu, gadis itu tidak tahu apa-apa tentang apapun yang ada di dunia ini.”
Tora mengangguk setuju. “Benar, Tuan. Dia seperti anak domba yang dilepaskan ke hutan. Dia masih perlu bimbingan dan belajar tentang banyak hal.”
Hening sesaat. Keduanya sama-sama terbawa pada ingatan tentang kehidupan Naina selama tinggal bersama ibu tirinya. Hal itu membuat Tuan Minos merasa ingin tahu banyak tentang gadis itu, apa saja bahkan jika itu hanya keseharian yang monoton.
“Apa aku terlalu berlebihan padanya?” Tuan Minos mendadak bertanya, menatap kosong ke arah bola sihir yang ia keluarkan dari telapak tangan.
Pantulan seorang gadis yang masih sibuk memeluk diri dalam posisi duduk terpampang dari bola sihir tersebut. Suara tangisannya yang merintih pilu membuat Tuan Minos berasa bersalah, teringat apa yang sudah ia lakukan padanya.
“Aku bingung harus mengatakan apa, Tuan. Jika membahas berlebihan atau tidak, bukankah sebelum-sebelumnya kau melakukan hal yang lebih dari itu? Entah karena Naina membawa petunjuk bahwa dia-lah wanita yang kau cari, sehingga kau begitu sensitif dan mudah terbawa perasaan. Aku tidak tahu.” Tora tampak bingung, tidak biasanya Tuannya bersikap begini setelah melakukan hal buruk pada seseorang.
Tuan Minos tiba-tiba beringsut dari kursi, menutup telapak tangannya sehingga bola sihir yang menampilkan sosok Naina langsung lenyap. Ruangan kembali diterangi oleh kobaran api dari tungku perapian, tidak pernah sekalipun sinar mentari dibiarkan masuk.
“Tapi siapa yang peduli? Aku hanya akan melakukan apa yang ingin aku lakukan.” Tuan Minos melipat kedua tangan di depan dada, mengangkat dagu tampak angkuh.
Namun ternyata ucapannya tidak selaras dengan tindakannya. Karena beberapa jam setelah mengatakan itu, Tuan Minos terus berjalan mondar-mandir dengan raut gelisah. Seolah pikirannya hanya berkutat tentang Naina.
“Tuan? Kau sudah berdiri dan berjalan selama tiga jam. Apa kau baik-baik saja?” Tora memberanikan diri untuk bertanya, wajah kantuknya nampak jelas, bosan melihat Tuannya yang terus melakukan hal yang sama.
Kedua tangan Tuan Minos diangkat tinggi-tinggi, dilebarkan, melakukan peregangan. “Sepertinya aku butuh angin segar. Aku akan keluar sebentar sembari melihat-lihat keadaan.”
Tora hanya angguk-angguk saja. Membiarkan Tuannya itu pergi tanpa perlu dibuntuti. Hanya saja Tora tahu, sejak kapan Tuan Minos butuh angin segar sementara dirinya selalu mengurung diri selama ribuan tahun, juga teramat benci saat dunia diterangi oleh matahari. Ah, entahlah.
Dan pria bertubuh jangkung yang berbungkus jubah hitam menjuntai hingga menutupi mata kaki sudah berjalan-jalan di lorong, bukan menaiki tangga untuk menuju ke menara kastil paling atas dan menghirup udara segar. Tujuannya tidak seperti apa yang mulutnya ucapkan.
“Tuan?!”
Benar, Tuan Minos menghampiri Naina di ruangannya. Gadis itu baru saja membersihkan lantai, tubuhnya hanya dibalut oleh kain tebal yang diberikan Tora sebelumnya. Paha dan bagian dadanya terekspos jelas, dan tentunya Tuan Minos mengamati pemandangan itu hingga Naina menjerit ketakutan.
Tuan Minos berdecak, tidak nyaman mendengar suara jeritan yang melengking. “Kenapa dengan dirimu?”
“Tu-tuan...” Naina meneguk ludahnya sendiri dengan susah payah. Kakinya bergerak mundur seiring dengan Tuan Minos yang datang mendekat.
“Bisakah aku meminta satu hal? Karena ruangan ini akan kutempati, jadi sebelum Tuan masuk, aku ingin Tuan mengetuk pintu lebih dulu.” Naina mengatakannya dengan mulut yang bergetar, suaranya tidak stabil, kaku mulai menyergap sekujur tubuh.
Seringaian itu nampak jelas di wajah pria jangkung tersebut. “Kenapa aku harus mengetuk pintu rumahku sendiri? Ruangan ini milikku. Kau tidak berhak mengatur apa-apa!”
“Ta-tapi, Tuan...” Naina semakin terbata-bata, tubuhnya mepet pada tembok. Tidak bisa lagi mundur ke mana-mana.
“Lepaskan kain itu dari tubuhmu!” perintah Tuan Minos tiba-tiba, makinlah membuat Naina carut-marut, nampak jelas wajahnya yang memucat di sana.
“... Mau kau lepaskan sendiri atau aku yang merobeknya dengan tanganku?” ancamnya kemudian dengan kaki yang terus melangkah ke depan, bahkan ketika tersisa hanya beberapa langkah lagi.
Atmosfer berubah drastis. Sempurna membuat pengap dan panas yang mendadak menjalari tubuh gadis itu. Teror dari mata pria dihadapannya menikamnya dalam jurang ketakutan.
***