Sejak kecil Rea seorang anak tunggal terlalu bergantung pada Jayden. Laki-laki sok jagoan yang selalu ingin melindunginya. Meskipun sok jagoan dan kadang menyebalkan, tapi Jayden adalah orang yang tidak pernah meninggalkan Rea dalam keadaan apapun. Jayden selalu ada di kehidupan Rea. Hingga saat Altan Bagaskara tidak datang di hari pernikahannya dengan Rea, Jayden dengan jiwa heroiknya tiba-tiba menawarkan diri untuk menjadi pengganti mempelai pria. Lalu, mampukah mereka berdua mempertahankan biduk rumah tangga, di saat orang-orang dari masa lalu hadir dan mengusik pernikahan mereka?
Selamat Membaca ya!
Semoga suka. 🤩🤩🤩
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Budi Asih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ep 33
"Jangan ngarang deh, Lun. Ngapain juga kakakmu depresi?"
"Maaf, ya, Mbak. Aku mau tanya sesuatu sama Mbak Rea."
"Apa?"
"Soal hubungan Mbak Rea sama Mas Jayden."
Alis Clareance berubah mengerut. "Maksud kamu?"
"Kalian pernah pacaran, ya?"
"Enggak," sangkal Rea cepat.
"Beneran?"
"Beneeer. Ngapain juga aku bohong."
"Tapi, kayaknya Mas Jayden suka deh sama Mbak Rea."
"Tahu dari mana? Jangan percaya omongan dia, deh. Jayden itu nggak pernah mau serius sama cewek. Dia saja pernah bilang kalau mau melajang sampai mati."
Kaluna terdiam mendengar penuturan Clareance. "Iya, sih. Tapi, kayaknya Mas Jayden nyesel deh pernah ngomong kayak begitu. Buktinya, sekarang dia kelihatan sedih banget. Aku saja sampai nggak tega."
Usai bicara dengan Kaluna di telpon, perasaan Clareance semakin tidak tenang. Dia ingin melihat Jayden. Memeriksa keadaan lelaki itu. Apakah dia baik-baik saja, atau masih demam seperti apa yang telah diceritakan Kaluna padanya.
Ah, kenapa dia masih saja khawatir pada lelaki itu? Padahal Rea sudah berusaha keras menjauh dari Jayden. Tapi, kenapa rasanya sulit sekali?!
Gadis itu bangkit dari tidur dan bergegas mengganti baju. Dia akan pergi ke rumah Amaya menemui Jayden, sebentar saja. Ya, sebentar saja. Hatinya tak akan tenang kalau belum memeriksa sendiri keadaan sahabatnya itu.
"Mau kemana, Rea?"
Seketika langkah Rea terhenti. Gadis itu berbalik dan meringis pada Maminya yang duduk di ruang keluarga.
"Pergi sebentar, Mam?"
"Sendirian?"
"Iya."
"Urusan pekerjaan?"
"Bukan." Rea menggeleng. "Eum ... aku mau ke tempat salonnya Hera. Benerin rambut," bohongnya.
Rea tak mau menceritakan masalah Jayden pada Maminya. Urusannya bisa panjang. Apalagi kalau beliau tahu, kalau Jayden pernah mengajaknya menikah. Entah hanya becanda atau serius, tapi tetap saja hal itu bisa membuat orang tua Clareance merasa cemas.
"Jangan lama-lama. Ponsel jangan dimatiin. Takutnya Altan datang ke sini nyariin kamu sepulang kerja. Mami malas kalau harus nelponin kamu dulu," Omel Selena.
"Baik, Mamiii," sahut Rea sambil membungkuk sopan. Sebelum ia melesat keluar rumah memanggil supir pribadinya dan meluncur ke rumah orang tua Jayden.
###
"Nggak usah pulang dulu, Jayden. Nginap di sini sampai kamu benar-benar sembuh," ujar Amaya pada putranya.
Jayden hanya mengangguk patuh lalu lelaki itu berjalan gontai menaiki tangga. Sesekali ia batuk-batuk, dan kepalanya masih terasa pusing. Mungkin dia terkena flu karna beberapa hari ini tidurnya tidak teratur. Di tambah lagi, pernikahan Rea yang semakin dekat membuatnya merasa cemas. Rasanya dia belum siap melepaskan Rea untuk hidup bersama pria lain. Singkatnya, Jayden belum bisa merelakan gadis itu pergi. Karna itulah, hampir setiap malam Jayden memimpikan Clareance.
Sesampainya di kamar, Jayden kembali menutup tirai jendela kamarnya yang terbuka, agar ruangan itu menjadi redup. Dia ingin tidur, berbaring di atas ranjang tanpa melakukan apa pun. Energinya seolah terkuras habis karna memikirkan Clareance.
Usai membasuh dan membersihkan badan, Jayden kembali berbaring di atas ranjang, menutupi tubuhnya dengan selimut tebal yang membuatnya nyaman. Baru sebentar ia terpejam, terdengar suara pintu kamarnya di dorong dari arah luar. Jayden berpikir itu adalah Mamanya yang membawakan obat untuknya. Namun, saat seseorang itu duduk di tepian ranjang dan mengusap lembut wajahnya, Jayden menyadari kalau seseorang itu bukanlah Mamanya.
"Rea ...." Jayden menangkap jemari Rea yang masih menempel di wajahnya. "Ini beneran kamu kan?"
"Tadi Kaluna nelpon, katanya kamu demam. Makanya aku ke sini."
"Dasar tukang ngadu," gerutu Jayden, memaki adiknya yang tak bisa menjaga rahasia. "Lagian, kamu nggak perlu ke sini. Aku nggak apa-apa, kok."
"Ya, sudah, aku pulang," dengus Rea sambil menarik tangannya. Namun, lelaki itu menahan. Genggamannya semakin kuat, membuat Rea tak bisa beranjak dari tempatnya.
"Jangan pergi."
Entah kenapa, jantung Rea mendadak berdebar mendengar ucapan Jayden. Lelaki itu seolah memohon agar dia tetap di sini, atau ... dia memohon agar Rea memilih dia dari pada Altan.
"Aku nggak bisa lama. Mungkin Altan akan datang ke rumah menemuiku."
Seketika Jayden mendengus kesal. Lelaki itu mengangkat tubuhnya hingga dia bisa duduk dan bersandar di kepala ranjang, menghadap Clareance yang duduk menyamping di tepian ranjangnya.
"Kalau begitu ngapain kamu ke sini?" Sinis Jayden, ekspresi wajahnya berubah kesal.
"Aku khawatir," sahut Rea dalam hati.
"Aku cuma mastiin kalau kamu nggak kenapa-kenapa. Padahal malas banget aku datang ke sini," kilahnya sambil membuang wajah ke samping.
"Oh, ya? Tapi, wajahmu mengatakan hal yang lain."
Clareance menoleh, kembali menatap Jayden. "Maksud kamu?"
"Kamu khawatir kan sama aku?"
"Siapa bilang? Enggak, kok," sangkal Clareance. Matanya membulat penuh. Bibirnya yang kemerahan sedikit mengerucut membuat Jayden gemas. Dan tanpa aba-aba, tiba-tiba saja lelaki itu mengecup singkat.
"Jayden!" Pekik Rea, matanya mengerjap cepat, menatap Jayden yang tersenyum padanya. "Gila ya, kamu. Siapa yang kasih ijin kamu buat cium aku?" Gerutunya kesal.
"Aku nggak butuh ijin siapapun," sahut Jayden, semakin berani.
"Aku pulang sekarang!"
"Eh, tunggu!" Jayden menarik tangan Rea, bermaksud melarang pergi. Namun, ia tak sadar kalau sudah melakukannya terlalu kuat hingga tubuh gadis itu ambruk ke dalam pelukannya.
Beberapa detik kemudian. Mereka hanya diam tak bergerak. Sementara Rea masih menikmati suara detak jantung Jayden yang berdetak begitu cepat, sama seperti dirinya. Sesuatu yang jarang ia rasakan saat bersama dengan Altan. Padahal, Rea merasa kalau cintanya hanya untuk lelaki itu. Lelaki yang akan menikahinya minggu depan. Tapi, mengapa dia masih berdebar-debar saat berada dekat Jayden? Sepertinya ada yang salah dengan dirinya.
"Jangan bergerak. Tetaplah seperti ini, sebentar saja," lirih Jayden saat Rea mulai bergerak, hendak melepaskan pelukan lelaki itu.
Dan sesaat kemudian, Jayden benar-benar melepaskan pelukannya. Jarak mereka masih sangat dekat, bahkan gadis itu bisa menghirup aroma tubuh Jayden yang menguar memenuhi kamarnya.
Rasanya Rea tak sanggup lagi, di tatap sedemikian lekat oleh Jayden membuatnya sulit bernapas. Dia harus segera pergi dari sini.
"Jayden, aku ...." Rea tak sanggup melanjutkan ucapannya, karna tiba-tiba Jayden menutup bibirnya dengan sebuah ciuman.
Tak ada yang di pikirkan oleh lelaki itu saat mencium Clareance. Tak ada rasa takut ataupun keraguan. Dia yakin Rea juga menyukainya, kalau tidak, mana mungkin gadis itu membalas ciumannya. Hanya saja, mereka berdua tak menyadari, ada seseorang yang melihat perbuatan mereka dari balik pintu kamar Jayden yang terbuka sedikit.
###
Ciuman itu baru terlepas saat Rea merasakan ponselnya bergetar, dan sebuah nama yang muncul di layarnya membuat Rea seketika bangkit dan menjauh dari Jayden.
"Halo, Altan?"
"Kamu di mana, Rea?"
"A-ku ... aku lagi di ... eum, ada urusan sebentar sama agency. Kenapa?"
"Kupikir kamu di rumah. Mau aku jemput ke tempat agency?"
"Eh, enggak ... jangan. Tadi aku bawa supir. Ini sudah mau jalan pulang."
"Okay, aku tunggu kamu di rumah."
"Okay, bye, Altan. See you."
Clareance menebah dadanya yang masih berdebar, ia menutup wajahnya dengan kedua tangan dan menggerutu sendirian. Menyalahkan dirinya sendiri karna tak bisa menahan diri untuk menolak ciuman dari Jayden tadi.
"Rea ...."
"Jayden, just stop it," potong Rea cepat. Gadis itu berbalik dan menatap Jayden tajam. "Just stay away from me. It's enough, Jayden. It's hurt too much. Jangan bikin aku tambah bingung dengan keadaan ini."
"Aku nggak pernah bermaksud membuatmu bingung, Rea. Aku cuma mau menunjukkan perasaanku padamu."
"Aku tahu kamu sayang sama aku, tapi nggak begini caranya, Jayden! Nggak seperti ini ... kamu membuat aku menjadi pengkhianat. Aku merasa bersalah setiap kali melihat Altan. Aku nggak bisa, Jayden! Apa yang kita lakukan tadi itu salah!"
Jayden turun dari ranjang berniat mendekati Clareance. Namun, gadis itu bergerak mundur. Menjauh dari jangkauannya.
"Kamu paham nggak sih posisi aku?" Ucap Rea tegas, kedua tangannya menahan langkah Jayden agar tidak semakin mendekat ke arahnya. "Kenapa baru sekarang kamu mengungkapkan perasaanmu? Kenapa?! Kenapa dulu kamu nolak aku? Bertahun-tahun aku berusaha menunjukkan perasaanku, tapi kamu selalu berdalih kalau hubungan kita hanya sebatas teman! It's bulshit, Jayden! You such a liar!" Teriaknya dengan air mata yang tiba-tiba meleleh.
"Rea, aku minta maaf. Aku memang salah. Aku egois dan pengecut. Aku nggak berani mengakui perasaanku sendiri. Aku baru menyadari saat orang lain ingin memilikimu, dan aku benar-benar nggak rela, Rea. Kamu pantas membenciku. Karna selama ini aku telah membohongi perasaanku sendiri."
Clareance menarik napas dalam. Ia mengusap kedua matanya yang basah dengan punggung tangan.
"Okay, sudah cukup," katanya lelah. "Sekarang aku paham kenapa Altan menyuruhku menjauh darimu. Dia pasti tahu, kalau kamu berniat merebutku darinya." Gadis itu berbalik, berjalan cepat keluar dari kamar Jayden. Meninggalkan lelaki itu dalam kesendirian.
Sejenak, Jayden tersenyum getir. "Dia yang sudah merebutmu dariku," lirihnya dengan raut wajah penyesalan.
\*
\*
\*
***❤️\>Bersambung<❤️***