Ayu menggugat cerai suaminya karena tak ingin dimadu. Memiliki tiga orang anak membuat hidupnya kacau, apalagi mereka masih sangat kecil dan butuh kasih sayang yang lengkap, namun keadaan membuatnya harus tetap kuat.
Sampai pada suatu hari ia membanting setir menjadi penulis novel online, berawal dari hobi dan akhirnya menjadi miliarder berkat keterampilan yang dimiliki. Sebab, hanya itu yang Ayu bisa, selain bisa mengawasi anak-anaknya secara langsung, ia juga mencari wawasan.
Meskipun penuh rintangan tak membuat Ayu patah semangat. Demi anak-anaknya ia rela menghadapi kejam ya dunia sebagai single Mom
Bergulirnya waktu, nama Ayu dikenal di berbagai kalangan, disaat itu pula Ikram menyadari bahwa istrinya adalah wanita yang tangguh. Berbagai konflik pun kembali terjadi di antara mereka hingga masa lalu yang kelam kembali mencuat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadziroh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penolakan Ikram
"Aku pulang, Ma." Hanan berteriak sembari melepas kaosnya yang dipenuhi dengan keringat.
Tidak ada jawaban, hanya suara dentuman jam yang terdengar. Alifa dan Adiba pun tak ada di rumah. Hanan celingukan menyusuri setiap ruangan.
"Apa mama tidur ya?" Meletakkan bajunya di keranjang kotor.
Hanan membuka pintu kamar Ayu. Matanya kembali mengelilingi sekitar. Bulu halusnya merinding mengingat cerita temannya yang membahas tentang hantu. "Mama…" panggilnya lagi.
Tetap sama, tidak ada jawaban yang membuat Hanan menebak-nebak.
Apa mungkin mama belanja.
Hanan bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri setelah tak mendapati siapapun di rumah.
Tidak ada lagi kata manja. Hanan sudah mandiri. Sekalipun tak pernah meminta bantuan Ayu. Juga tak merepotkan sang mama yang akhir-akhir ini semakin sibuk.
Setelah rapi Hanan duduk di teras rumahnya. Matanya terus menatap ke arah jalan, berharap Ayu cepat pulang.
Ninik datang dengan Alifa dan Adiba.
"Mama di mana, Nak?" tanya Ninik mengikuti mata Hanan memandang.
Hanan menggeleng tanpa suara. Wajahnya layu mengingat ucapan mamanya saat di bengkel.
Apa uang mama habis untuk bayar tadi. Mulai sekarang aku harus hati-hati lagi supaya tidak merepotkan mama, ucap Hanan dalam hati.
Ninik mengajak anak-anak masuk ke dalam karena hari mulai gelap. Tak berselang lama suara salam menggema dari balik pintu yang sedikit terbuka.
Hanan dan kedua adiknya langsung berhamburan memeluk Ayu yang baru saja tiba.
"Mama dari mana saja?" tanya Hanan tanpa melepas pelukannya.
Ayu tersenyum. Mengusap kepala ketiga anaknya bergantian.
"Tadi mama __" Ayu menghentikan ucapannya. Tidak mungkin ia menjawab jujur, pasti Hanan akan bersedih dan merasa bersalah.
Ayu menggiring anak-anak duduk. Menatap mereka bergantian. Sementara Hanan, bocah itu mengulurkan tangannya menyentuh pipi Ayu yang terkena noda hitam.
"Pasti tadi mama bersih-bersih di bengkel untuk membayar biaya perbaikan sepeda?" tebak Hanan dengan suara lirih.
Kedua matanya berkaca-kaca dan menyandarkan kepalanya di dada Ayu.
"Gak, Nak. Ini tadi mama gak sengaja." Ayu mengusap pipinya dengan asal. Berusaha untuk menghilangkan noda yang tak mungkin bisa luntur begitu saja.
Ninik hanya bisa mengangkat tangan menguatkan. Sebagai tetangga sekaligus sahabat ia harus bisa menjadi pendukung Ayu supaya tetap kuat menghadapi kenyataan pahit itu.
Panjang lebar Ayu menjelaskan pada Hanan untuk tidak memikirkannya. Sedikit demi sedikit ia mengatakan sesuatu yang memang harus di lakukan demi bertahan hidup.
"Jadi kakak gak boleh sedih, harus semangat belajar supaya bisa menjadi anak yang pintar."
Seketika itu Hanan berlari ke kamarnya dan membuka buku, sedangkan Ninik pamit pulang karena sudah malam.
Hampir seharian penuh Ayu tak memegang ponsel, selain sibuk dengan hari ulang tahun Hanan, ia juga harus menghemat kuota yang semakin menipis.
Ayu membuka karya yang ia daftarkan kontrak kemarin. Senyum merekah saat mendapat kabar bahwa tulisannya diterima kontrak. Bahkan ia tak bisa membendung air mata kebahagiaan.
"Aku gak salah lihat, kan?" Ayu memastikan nya kembali. Membaca dengan teliti tulisan itu.
Benar, ternyata karya yang diajukan lolos kontrak, namun ia harus mengisi formulir terlebih dahulu sebelum melanjutkan nya lagi.
Selain nama pena dan beberapa data pribadi, ternyata Ayu juga harus mengisi nomor rekening. Sedangkan saat ini ia tak memilikinya, karena sudah mengembalikan semua pemberian Ikram termasuk buku tabungan.
Ayu berdecak kesal. Meletakkan ponsel nya lagi di atas meja. Sebab, saat ini ia belum memiliki uang untuk membuka rekening.
Mengingat-ingat kebutuhan selanjutnya. Ada kemungkinan ia akan segera membuka buku tabungan jika tak ada kebutuhan besar.
"Mama…" teriak Hanan dari arah kamar membuyarkan lamunan ayu.
Ayu yang baru sadar bergegas menghampiri sang putra. Takut bocah itu membutuhkan bantuannya.
"Ada apa, Nak?" tanya Ayu dari ambang pintu.
Hanan menoleh tanpa berdiri, bibirnya seolah kaku untuk mengucap, namun ia tak bisa mengabaikan pesa ibu gurunya.
"Besok hari ayah. Dan semua siswa disuruh datang bersama ayahnya masing-masing. Aku juga ingin seperti yang Lain, Ma," pinta Hanan mengiba.
Ayu mendekati Hanan. Lalu berlutut di depannya. Ia pun bingung harus mengucap apa. Di satu sisi tak ingin mengecewakan Hanan, namun disisi lain kemungkinan besar Ikram tidak akan mau menuruti permintaan istrinya.
"Telpon papa, Ma. Suruh dia datang ke sekolah ku," pinta Hanan lagi.
Ayu menundukkan kepala, tak berani menatap wajah Hanan yang tampak penuh harap.
"Bagaimana kalau papa tidak bisa datang, Nak?" jawab Ayu lirih.
Hanan menangkup kedua pipi Ayu dan mendongakkan nya hingga keduanya saling tatap.
"Aku gak mau ke sekolah kalau gak sama papa." Hanan merajuk dan membuang muka ke arah lain.
Terpaksa Ayu mengangguk, mengesampingkan ego yang menyelimuti. Bukan demi dirinya, namun demi anak.
Ayu menghubungi Ikram lewat sambungan ponsel.
"Halo, kamu pasti butuh uang," cetus Ikram.
Hanan merebut ponsel yang ada di tangan Ayu kemudian menempelkan di telinganya.
"Besok Bu Guru meminta murid datang bersama papa nya masing-masing, Pa. Aku mau papa datang," pinta Hanan polos.
Terdengar helaan napas panjang.
"Papa sibuk, jadi gak bisa datang. Mama kamu sudah membawamu pergi, itu artinya ia bisa melakukan apapun untuk kamu. Jangan minta bantuan papa."
Buliran bening mengalir begitu saja membasahi pipi Hanan. Ia tak sanggup membendung air matanya mendengar penolakan Ikram, bahkan pria yang masih dianggap papa itu menutup teleponnya sebelum Hanan melanjutkan ucapannya.
Ayu mengusap air mata Hanan dan memeluknya.
"Besok mama yang akan menjadi papa. Mama akan berdandan seperti papa. Hanan jangan sedih lagi." Mengusap punggung Hanan yang bergetar hebat.
Meskipun masih sangat kecil, ucapan Ikram mampu menancap di ulu hati Hanan dan sampai kapanpun tak akan pernah terlupakan.
Hanan sudah lebih tenang telah mendapat pitutur dari Ayu. Ia mulai fokus dengan buku yang ada di depannya.
Ayu kembali ke kamar. Membuka lemari dan memilih baju yang akan dipakai untuk acara besok.
Pilihannya jatuh pada kemeja putih bergaris dan rok hitam panjang. Itu adalah baju yang akan membuatnya berperan sebagai seorang ayah. Setidaknya sudah berusaha untuk menjadi kedua orang tua sekaligus.
Sebelum berbaring di atas ranjang, Ayu menghubungi kepala sekolah. Menjelaskan bahwa ia yang akan mewakili ayah Hanan yang tidak bisa hadir.
Meskipun kamu kehilangan seorang ayah, tapi kamu akan tetap mendapatkan kasih sayang yang lebih dari mama, Nak. Jangan takut sendiri. Karena sampai kapanpun mama akan menjadi yang terbaik untuk kalian.
Menatap kedua putrinya yang meringkuk dibalik selimut. Ayu sudah memutuskan untuk tidak menikah dan lebih mementingkan anak-anak. Sebab, mereka lebih berharga daripada kebahagiaannya sendiri.
nambah kesni nambah ngawur🥱