Annisa memimpikan pernikahan yang bahagia bersama lelaki yang dicintainya dan mencintainya. Tetapi siapa sangka dirinya harus menikah atas permintaan sang Kakak. Menggantikan peran sang Kakak menjadi istri Damian dan putri mereka. Clara yang berumur 7 tahun.
Bagaimana nasib Annisa setelah pernikahannya dengan Damian?
Mampukah Annisa bertahan menjadi istri sekaligus ibu yang baik untuk Clara?
Temukan kisahnya hanya di sini!^^
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kikan Selviani Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
GODAAN ZASKIA (1)
Di kantor, Damian yang baru tiba langsung disambut oleh Zaskia di area lobi. Hari itu, Zaskia mengenakan pakaian yang mirip dengan gaya Annisa: blus sederhana dengan sentuhan warna pastel dan rok formal yang anggun. Meski biasanya tampil lebih mencolok, hari ini ia sengaja meniru penampilan lembut Annisa.
“Selamat pagi, Pak Damian!” sapa Zaskia dengan senyum lebar, sambil melangkah mendekat.
Damian hanya mengangguk singkat sambil berjalan menuju ruangannya, namun pandangannya sesaat tertuju pada perubahan penampilan Zaskia. “Pagi, Zaskia. Ada yang perlu disampaikan?” tanyanya tanpa ekspresi.
Zaskia sedikit kecewa dengan tanggapannya yang biasa saja, namun ia tak menyerah. “Oh, hanya ingin menyapa, Pak,” ujarnya sambil tetap tersenyum. “Dan… ada beberapa dokumen untuk Anda review. Sudah saya taruh di meja Anda.”
Damian mengangguk, lalu berjalan ke ruangannya tanpa banyak kata. Sementara itu, Zaskia memperhatikan dari jauh, berharap usahanya menarik perhatian Damian tak sia-sia.
Setelah tiba di ruangannya, Damian membuka dokumen yang sudah disiapkan oleh Zaskia. Tak lama kemudian, Zaskia mengetuk pintu dan masuk dengan senyum cerah, seolah menunggu momen untuk mengobrol lebih lama dengan Damian.
“Pak Damian, ada yang ingin saya tanyakan terkait pertemuan bisnis dengan Pak Andi dan Pak Raka beberapa waktu lalu,” ucap Zaskia sambil mendekat.
Damian mengangguk, memasang ekspresi serius. “Baik, Zaskia. Apa yang ingin kamu bahas?”
Zaskia duduk di kursi seberang meja Damian dan berkata, “Saya perhatikan rencana kerja sama dengan perusahaan Pak Andi cukup menjanjikan, khususnya di sektor pengembangan proyek yang mereka usulkan. Bagaimana rencana Anda untuk kelanjutannya, Pak? Apakah akan ada pertemuan lanjutan dengan mereka?”
Damian menyandarkan punggungnya, matanya fokus menatap dokumen di meja. “Ya, saya sudah diskusi dengan Andi dan Raka tentang peluang ini. Mereka memiliki konsep bagus, tapi masih ada beberapa detail yang perlu kita sempurnakan. Saya ingin memastikan semuanya benar-benar matang sebelum membuat keputusan.”
“Lalu, apakah saya perlu menyiapkan materi presentasi tambahan untuk pembahasan berikutnya?” tanya Zaskia, antusias. Dalam hati, ia berharap dapat terlibat lebih jauh dalam proyek ini, apalagi jika itu membuatnya lebih sering berinteraksi dengan Damian.
Damian berpikir sejenak. “Ya, itu ide yang bagus. Siapkan data terkait potensi keuntungan dan analisis pasar yang relevan. Pastikan semuanya terperinci karena Andi sangat teliti dalam hal itu.”
Zaskia mengangguk cepat. “Baik, Pak. Saya akan mulai segera.”
Damian menambahkan, “Dan pastikan juga bahwa kita punya opsi cadangan. Raka sudah menyarankan beberapa rencana alternatif yang sebaiknya kita pertimbangkan. Saya ingin semua pihak, termasuk Andi dan Raka, merasa nyaman dengan kesepakatan ini.”
Zaskia tersenyum penuh semangat. “Pasti, Pak. Saya akan mempersiapkan semuanya dengan baik. Jika ada arahan tambahan, Anda bisa langsung sampaikan pada saya.”
Damian mengangguk. “Terima kasih, Zaskia.”
Zaskia, yang sudah berusaha tampil lebih mirip dengan Annisa hari itu, merasa sedikit kecewa karena Damian tetap fokus pada pembicaraan bisnis dan tak menunjukkan perhatian lebih. Namun, ia tetap merasa puas karena diberi kepercayaan lebih oleh Damian dalam proyek ini.
Setelah percakapan selesai, ia meninggalkan ruang Damian dengan harapan proyek ini bisa mendekatkan mereka lebih jauh.
Zaskia berjalan cepat menuju ruangannya sendiri. Ia melihat pantulan dirinya di cermin kecil di atas meja dan memutuskan untuk menyempurnakan makeup-nya. Ia mengambil lipstik dan menambahkan sedikit warna agar tampak lebih segar, lalu memulas bedak tipis-tipis. Tak lupa, ia juga menyemprotkan parfum di beberapa bagian tubuhnya—cukup banyak kali ini, berharap aromanya bisa lebih menarik perhatian.
Ketika selesai, ia keluar dari ruangannya, berjalan menuju area umum kantor dengan penuh percaya diri. Namun, saat itu juga, Andi dan Raka baru saja tiba. Mereka berdua sedang bercakap-cakap ringan sambil berjalan di koridor kantor, dan aroma parfum Zaskia yang kuat langsung tercium oleh mereka.
Raka, yang sensitif terhadap bau parfum yang terlalu menyengat, langsung terbatuk kecil. Ia menoleh ke arah Zaskia yang sedang berjalan mendekat, kemudian menoleh pada Andi sambil berbisik, “Wah, kayaknya ada yang pakai parfum terlalu semangat, nih.”
Andi menahan senyum, menyadari bahwa Raka sedang menggoda. "Mungkin ingin tampil lebih spesial di kantor, Rak."
Zaskia mendekat dan menyapa mereka berdua dengan ramah. “Pagi, Pak Andi, Pak Raka,” ujarnya sambil tersenyum manis. “Selamat datang, ya.”
Andi tersenyum sopan, “Selamat pagi, Zaskia. Terima kasih, ya.”
Raka menahan diri untuk tidak mengomentari aroma parfum yang memenuhi ruangan. “Pagi, Zaskia. Semangat sekali hari ini, ya?”
Zaskia mengangguk penuh percaya diri. “Tentu, Pak. Apalagi dengan proyek kerja sama yang sedang berjalan, semoga bisa membawa hasil yang baik untuk perusahaan.”
Andi menatap Zaskia dengan ramah, tetapi ia tahu apa yang sebenarnya ada di pikiran Raka. “Bagus itu, Zaskia. Tetap semangat dan profesional, ya,” ucap Andi singkat sebelum mereka berdua melanjutkan langkah ke ruang rapat.
Saat Andi dan Raka berlalu, Raka tersenyum kecil pada Andi sambil berbisik, “Semoga parfumnya nggak makin menyengat nanti, ya.”
Andi tertawa kecil mendengar komentar Raka tentang parfum Zaskia. “Iya, semoga nanti pas kita di dalam ruangan nggak terlalu tercium lagi,” timpal Andi, masih menahan senyum.
Mereka melanjutkan langkah menuju ruang Damian dengan santai. Kedatangan mereka kali ini bukan untuk urusan proyek, melainkan untuk menjenguk Damian yang sempat sakit beberapa hari lalu dan tiba-tiba menghilang dari kantor tanpa kabar.
Begitu sampai di depan pintu, Andi mengetuk sambil berkata, “Damian, kami masuk, ya?”
Damian mengangkat pandangan dari dokumen di mejanya, menyambut kedua temannya dengan senyum tipis. “Andi, Raka, silakan masuk.”
Andi langsung menyelidiki keadaan Damian dengan pandangan khawatir. “Kami nggak datang buat bahas proyek, kok. Setelah kamu tiba-tiba menghilang beberapa hari, kami khawatir. Kamu baik-baik saja, kan?”
Damian tersenyum, seolah sudah menebak maksud mereka. “Maaf, aku memang menghilang sebentar. Sebenarnya aku nggak kemana-mana kok, hanya menemani Annisa pulang ke rumah orang tuanya untuk menghadiri pesta pernikahan sepupunya, Nadine.”
Raka mengangguk, tampak sedikit lega. “Oh, jadi itu alasannya. Kukira kamu sakit atau ada masalah besar,” ujarnya, tertawa kecil.
Damian menggeleng. “Awalnya, memang agak kurang enak badan. Tapi Annisa sudah mengajakku, dan aku nggak tega mengecewakan dia. Jadi, aku ikut.”
Andi terdiam sejenak, merasa ada sesuatu yang berbeda ketika mendengar penuturan Damian tadi. Ada sensasi aneh di dadanya, seolah kata-kata Damian tentang menemani Annisa membuatnya terpikirkan sesuatu yang tak ia duga. Namun, ia cepat-cepat menguasai dirinya, mengubah ekspresi wajahnya menjadi biasa saja.
“Kau sudah tidak menganggap Annisa sebagai beban lagi?” tanyanya, berusaha terdengar santai.
Damian terdiam sejenak, seolah mempertimbangkan jawabannya. “Dulu… mungkin aku pernah berpikir seperti itu. Tapi belakangan ini, kurasa pandanganku mulai berubah. Annisa ternyata jauh lebih tegar dan perhatian daripada yang aku kira,” jawabnya, suaranya terdengar lebih lembut.
Raka, yang menyadari ketegangan kecil itu, hanya tersenyum sambil melirik Andi. “Ya, memang begitu adanya. Annisa itu perempuan yang baik, kau hanya perlu waktu untuk benar-benar mengenalnya.”
Damian mengangguk pelan. “Iya. Rasanya seperti aku melihat sisi lain darinya, terutama setelah beberapa waktu bersama di pernikahan sepupunya.”
Andi mengangguk paham, meski di dalam hati ada perasaan tak nyaman yang ia coba abaikan. “Baguslah kalau begitu. Semoga hubungan kalian bisa makin baik,” ucapnya dengan nada datar.
Damian tersenyum tipis, tak menyadari perubahan halus pada Andi. “Terima kasih, Andi. Itu juga yang sedang kucoba.”