Di jantung kota Yogyakarta, yang dikenal dengan seni dan budayanya yang kaya, tinggal seorang wanita muda bernama Amara. Dia adalah guru seni di sebuah sekolah menengah, dan setiap harinya, Amara mengabdikan dirinya untuk menginspirasi siswa-siswanya melalui lukisan dan karya seni lainnya. Meski memiliki karir yang memuaskan, hati Amara justru terjebak dalam dilema yang rumit: dia dicintai oleh dua pria yang sangat berbeda.
Rian, sahabat masa kecil Amara, adalah sosok yang selalu ada untuknya. Dia adalah pemuda yang sederhana, tetapi penuh perhatian. Dengan gitar di tangannya, Rian sering menghabiskan malam di kafe-kafe kecil, memainkan lagu-lagu yang menggetarkan hati. Amara tahu bahwa Rian mencintainya tanpa syarat, dan kehadirannya memberikan rasa nyaman yang sulit dia temukan di tempat lain.
Di sisi lain, Darren adalah seorang seniman baru yang pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Dengan tatapan yang tajam dan senyuman yang memikat, Darren membawa semangat baru dalam hidup Amara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon All Yovaldi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 _ Jalan Buntu Perasaan
Langit sore mulai berwarna jingga ketika Amara memutuskan untuk keluar rumah. Dia merasa sumpek, pikirannya terlalu penuh dengan kebimbangan soal Darren dan Rian. Sepanjang hari, hatinya seperti terbelah dua—sebagian ingin bersama Darren yang selalu bisa membuatnya tertawa, dan sebagian lagi merasa nyaman dengan Rian yang dewasa dan stabil.
Tanpa sadar, kakinya membawanya ke taman kota. Angin sore menerpa wajahnya, sedikit meredakan keruwetan yang sejak pagi menghantui. Dia duduk di salah satu bangku taman, memandangi keramaian di sekitarnya. Ada keluarga kecil yang bermain, pasangan muda yang bercanda, dan seorang pria tua yang sibuk memberi makan burung.
“Kenapa perasaan gue jadi serumit ini?” gumam Amara pelan.
Dia membuka ponselnya, mencoba mengalihkan pikiran dengan media sosial, tapi tidak ada yang menarik. Tiba-tiba, notifikasi pesan masuk dari Rian muncul di layar.
Rian: “Lagi ngapain? Udah makan?”
Amara tersenyum tipis. Rian memang selalu perhatian seperti itu, membuatnya merasa dihargai tanpa banyak kata. Namun, sebelum sempat membalas pesan, ponselnya kembali bergetar. Kali ini pesan dari Darren.
Darren: “Mau keluar? Gue bisa jemput kalo lo butuh temen.”
Kepalanya mulai berdenyut. Dua pria ini selalu hadir di saat yang sama, dengan perhatian yang nggak pernah berkurang sedikit pun. Amara tahu mereka tulus, tapi justru itu yang bikin dia tambah bingung.
“Harus sampai kapan kayak gini?” Amara menghela napas panjang.
Belum sempat dia menentukan akan balas pesan siapa lebih dulu, tiba-tiba suara akrab terdengar dari belakang.
“Sendirian di sini?”
Amara menoleh dan menemukan Darren berdiri di hadapannya. Pria itu mengenakan hoodie abu-abu dan celana jeans robek, dengan gitar kecil menggantung di punggungnya. Wajahnya sedikit lelah, tapi senyumnya tetap lebar seperti biasa.
“Gue tadi lagi jalan, terus lihat lo di sini. Kebetulan banget kan?” Darren duduk di sampingnya tanpa menunggu jawaban.
Amara tersenyum kecil. “Kebetulan banget ya? Atau lo emang ngikutin gue?”
Darren terkekeh. “Enggak lah. Gue cuma punya radar spesial buat lo.”
Mereka berdua tertawa kecil, dan untuk sejenak, semua kebingungan di kepala Amara terasa menguap begitu saja. Bersama Darren memang selalu terasa ringan dan menyenangkan.
“Lo lagi mikirin apa?” Darren bertanya, kali ini dengan nada lebih serius.
Amara mengangkat bahu. “Biasa... hidup, perasaan, dan hal-hal nggak jelas lainnya.”
“Perasaan... ke gue sama Rian?” Darren menatapnya tajam, seperti berusaha membaca isi hatinya.
Amara tidak langsung menjawab. Dia hanya mengangguk pelan, cukup untuk membuat Darren mengerti.
“Gue nggak bakal maksa lo buat pilih sekarang,” ucap Darren akhirnya. “Gue cuma mau lo tau kalau gue bakal selalu ada, apa pun yang lo putusin nanti.”
Amara terdiam. Darren selalu bisa membuatnya merasa tenang, tapi sekaligus membuat hatinya semakin sulit untuk memilih.
Ketika langit mulai gelap, Darren mengantar Amara pulang. Di sepanjang perjalanan, mereka tidak banyak bicara, tapi kehadiran Darren di sampingnya sudah cukup membuat Amara merasa sedikit lebih baik.
Begitu sampai di rumah, Amara turun dari motor Darren dan mengucapkan terima kasih.
“Jangan terlalu pusing ya, Mara. Kadang hati butuh waktu buat ngerti apa yang dia mau.” Darren tersenyum hangat sebelum pergi.
Amara memandang motor Darren yang semakin menjauh, lalu masuk ke dalam rumah dengan perasaan campur aduk. Sesaat setelah dia masuk kamar, ponselnya kembali berbunyi. Kali ini pesan dari Rian.
Rian: “Gue boleh mampir nggak? Gue lagi di dekat rumah lo.”
Amara menghela napas. Rian dan Darren seperti selalu tahu kapan waktu yang tepat untuk muncul.
Dia berpikir sejenak sebelum akhirnya membalas pesan Rian.
Amara: “Boleh. Tapi sebentar aja ya.”
Tak lama kemudian, bel rumah berbunyi. Amara membuka pintu dan menemukan Rian berdiri dengan senyum tipis. Dia membawa sekotak kue dan dua botol minuman dingin.
“Gue bawain favorit lo,” ucap Rian, mengangkat kotak kue di tangannya.
Amara tersenyum. “Lo selalu tau cara bikin gue senang, ya.”
Mereka duduk di teras, menikmati kue dan minuman sambil ngobrol ringan. Meski suasananya santai, ada ketegangan samar yang terasa di antara mereka.
“Gue nggak tau gimana caranya bilang ini...” Rian akhirnya membuka suara, suaranya pelan tapi penuh makna. “Tapi gue cuma mau lo tau kalau gue serius sama perasaan gue ke lo.”
Amara tertegun. Kalimat itu begitu sederhana, tapi membuat jantungnya berdetak lebih cepat.
“Gue tau situasi ini nggak gampang buat lo,” lanjut Rian. “Tapi apa pun yang lo putusin nanti, gue cuma mau lo bahagia.”
Amara merasa matanya mulai memanas. Rian begitu tulus, dan itu justru membuatnya semakin sulit.
“Gue cuma butuh waktu, Rian...” Amara akhirnya berbisik.
Rian mengangguk. “Gue ngerti. Dan gue akan selalu nunggu, seberapa lama pun itu.”
Malam itu, setelah Rian pulang, Amara duduk sendirian di teras rumah. Hatinya terasa lebih berat dari sebelumnya. Dua pria yang sama-sama mencintainya, sama-sama tulus, dan sama-sama tidak ingin memaksanya memilih.
Amara tahu, pada akhirnya dia harus membuat keputusan. Tapi malam itu, dia hanya ingin membiarkan perasaannya mengalir tanpa beban—meski hanya untuk sementara.
Gimana Guys Reaksi Nya setelah Baca Episode Ini😃 Sabar Ya dek ya😅😅
#Jangan ya dek ya
Lanjut Episode Berikutnya aja ya!!!
semangat berkarya../Determined//Determined//Determined/