Siang ini udara panas berembus terasa membakar di ruas jalan depan gerbang Universitas Siliwangi Tasikmalaya. Matahari meninggi mendekati kulminasi. Suara gaduh di sekeliling menderu. Pekikan bersahut-sahutan, riuh gemuruh. Derap langkah, dentuman marching band dan melodi-melodi bersahutan diiringi nyanyian-nyanyian semarak berpadu dengan suara mesin-mesin kendaraan.
Rudi salah satu laki-laki yang sudah tercatat sebagai mahasiswa Unsil selama hampir 7 tahun hadir tak jauh dari parade wisuda. Ia mengusap peluh dalam sebuah mobil. Cucuran keringat membasahi wajah pria berkaca mata berambut gondrong terikat ke belakang itu. Sudah setengah jam ia di tengah hiruk pikuk. Namun tidak seperti mahasiswa lain. Pria umur 28 tahun itu bukan salah satu wisudawan, tetapi di sana ia hanya seorang sopir angkot yang terjebak beberapa meter di belakang parade.
Rudi adalah sopir angkot. Mahasiswa yang bekerja sebagai sopir angkot....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andi Budiman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33. Bukan Gadis Biasa
Matahari pagi mulai bercahaya. Kabut tebal yang menyelimuti kemah perlahan-lahan menyingsing seiring udara yang semakin hangat. Intan duduk pada sebuah bangku. Gadis itu termenung memandang lanskap dekat pohon pinus. Rudi baru saja usai membicarakan bus dengan Aditia dan yang lainnya. Informasi terbaru yang diterima mengabarkan bahwa perbaikan bus sudah hampir selesai. Perkiraan beres menjelang siang.
Rudi menghampiri Intan membawakan segelas air hangat. Ia bisa melihat ada sesuatu yang dipikirkan gadis itu. Ia sudah melihatnya sejak subuh. Rudi pun duduk di hamparan rumput tak jauh dari Intan.
Ia sadar, Intan telah berkenalan dengan keluarganya, tetapi ia sendiri belum pernah berkunjung ke rumah orang tua Intan dan berkenalan dengan keluarga Intan. Rudi khawatir gadis itu merenungkan ketidakadilan itu.
“Maafkan Abang ya Dek… Abang belum bisa menemui ayah dan ibumu.”
Intan melirik ke arah Rudi seraya tersenyum :
“Tidak apa-apa Bang, sesiapnya Abang saja. Sekarang yang penting Abang konsentrasi kuliah dulu, sampai Abang lulus. Intan mengerti kok kondisi Abang. Abang harus membiayai hidup ibu dan adik-adik Abang di samping kuliah Abang…”
Rudi menghembuskan nafas. Ia sangat bersyukur atas jawaban Intan yang sangat bijaksana.
“Iya Dek! InsyaAllah… nanti setelah wisuda yaa…”
“Iya Bang…” jawab Intan tersenyum.
Rudi teringat perkataan ibunya malam kemarin, bahwa Intan itu memang sepertinya bukan anak orang sembarangan. Selama ini Rudi belum mendengar secara jelas siapa ayah dan ibu Intan sebenarnya.
“Dek… maukah kamu ceritakan tentang siapa ayah dan ibumu? Abang ingin mendengarnya.” pinta Rudi.
Intan seperti berpikir.
“Ayah ibu itu… orang yang baik, bijaksana, tidak suka menilai orang dari apa yang terlihat sepintas…” jawab Intan diplomatis. “Mereka amat penyayang dan menghargai setiap orang dari berbagai kalangan.”
Sebenarnya bukan itu jawaban yang diinginkan Rudi. Namun dari perkataan Intan Rudi mendapat firasat bahwa perkataan ibunya kemungkinan benar bahwa orang tua Intan bukan orang biasa. Mungkin kalangan terpandang. Mungkin kepala desa, pejabat pemerintah atau pengusaha. Tetapi sepertinya Intan tidak mau berterus terang. Mungkin ia amat menjaga dan menghargai perasaan Rudi. Mungkin ia sangat kasih terhadap Rudi.
“Sebetulnya Abang kepikiran perkataan ibu malam kemarin. Memang sepertinya kamu bukan anak orang biasa… Ayahmu atau ibumu, atau kedua-duanya, mungkin orang-orang yang memiliki kedudukan dan cukup terpandang.”
Intan hanya tersenyum mendengar perkataan Rudi.
“Begitukah?” lanjut Rudi.
Intan mengangguk, lalu berkata :
“Setiap manusia sama saja di hadapan Tuhan Bang… Abang sendiri orang hebat kok, Intan bangga sama Abang dan sangat bersyukur. Intan percaya Abang itu yang terbaik buat Intan. Intan percaya kok...” kata Intan.
Rudi termenung, kemudian melirik ke arah Intan dan tersenyum. Sesaat kemudian ia berkata :
“Terimakasih ya Dek, berkat bantuanmu draf buku Abang mendapat apresiasi.”
“Iya Bang sama-sama…”
“Kamu ingin tahu mengapa Abang membuat draf buku itu? Sebetulnya… ada cerita di balik buku itu.”
“Oh ya? Gimana ceritanya?” tanya Intan.
Kemudian Rudi pun menceritakan perjalanan hidupnya semasa ngaji di pesantren terutama saat diajari pelajaran tauhid oleh Kiyai Abdussalam yang menekankan para santri untuk memperhatikan alam raya dan berbagai ciptaan Tuhan di dalamnya seperti hewan dan tumbuhan. Dari sana kecintaan Rudi terhadap ilmu biologi muncul, hingga ia masuk ke perguruan tinggi dan mengambil jurusan pendidikan biologi atas dukungan penuh almarhum ayahnya.
Selama kuliah Rudi sudah rajin menulis, membuat ringkasan materi bahkan artikel bertema biologi. Namun sampai tahap itu Rudi belum memulai drafnya. Sampai akhirnya tiba suatu masa di awal tingkat tiga ia tidak bisa melanjutkan kuliah karena ayahnya meninggal. Rudi pun terpaksa menjalani pekerjaan sebagai sopir angkot hingga lima tahun lamanya dan nyaris kena DO. Rudi pun mulai putus asa.
Saat itulah Rudi tergerak untuk membuat sebuah draf sebagai penghibur hati. Andaikata ia gagal kuliah, paling tidak ia tetap punya sebuah karya. Demikian ia sampaikan kepada Intan alasan ia menyusun draf buku itu.
Kemudian Rudi melanjutkan bahwa judul untuk drafnya sendiri itu sesuai dengan pemantik awal bagi semangatnya belajar ilmu biologi yaitu suatu pemikiran yang berpusat pada satu perkataan bahwa ilmu biologi adalah salah satu alat untuk mengenal Tuhan.
Pemantik awal semangat itu tidak lain adalah pengajaran-pengajaran tauhid Kiyai Abdussalam semasa ia ngaji di pesantren. Bahkan tidak hanya karena kajian-kajian tauhid Kiyai Abdussalam tetapi semangat itu juga diperkuat oleh perkataan seorang guru besar ketika Rudi mengikuti kuliah umum di Unsil, namanya Profesor Pardiman Saidi. Kala itu sang guru besar menekankan berkali-kali kepada ratusan mahasiswa di depannya bahwa setiap ilmu hendaknya dapat mendekatkan sang penimba ilmu kepada Tuhan. Tidak ada gunanya ilmu yang tidak diniatkan untuk pengabdian kepada Tuhan dan mengenal akan kebesaran Tuhan.
Dengan demikian Kiyai Abdussalam dan Profesor Pardiman Saidi adalah dua tonggak utama akan terlahirnya semangat dalam jiwa Rudi dalam memperdalam ilmu biologi, sampai akhirnya melahirkan draf buku berjudul Ilmu Biologi dan Kebijaksanaan Tuhan itu.
Intan berpaling menyeka air mata. Gadis itu mungkin terharu mendengar cerita Rudi. Air mukanya terlihat bahagia. Habis mendengar cerita Rudi soal draf buku itu, ia tak banyak berkata lagi.
Matahari pagi semakin meninggi, semua mahasiswa bersiap pulang. Kemah-kemah dibereskan begitu pula peralatan lain. Pukul sepuluh rombongan turun bukit membawa pulang berbagai perlengkapan. Sebuah panggilan mengabarkan bahwa bus sudah siap berangkat. Sebelum pergi ke area parkir bus, mereka semua ke rumah Rudi dulu untuk berpamitan pada keluarga Rudi.
Intan mencium tangan Halimah, mencium Sulis dan memeluk Heryani. Meski berat perpisahan itu tapi harus terjadi. Mereka berharap bisa segera berjumpa lagi. Halimah menyeka air mata sambil menggendong Sulis, sementara Heryani melambaikan tangan dengan senyum ceria.
Di lokasi parkir bis para mahasiswa masuk satu per satu ke dalam bis seraya menaikan barang-barang dan perlengkapan kemah yang akan dikembalikan nanti di Kecamatan Rancah. Bus pun melaju tanpa hambatan, berhenti sejenak di Kecamatan Rancah buat mengantar tenda sewaan lalu melesat ke selatan menempuh perjalanan pulang ke Tasikmalaya.