Reynard Fernando, seorang CEO sukses yang lumpuh, menikahi Caitlin Revelton, gadis ceria dan penuh semangat yang dikenal tak pernah mau kalah dalam perdebatan. Meskipun Caitlin tidak bisa membaca dan menulis, ia memiliki ingatan yang luar biasa. Pernikahan mereka dimulai tanpa cinta, hanya sekadar kesepakatan.
Namun, apakah hubungan yang dimulai tanpa cinta ini dapat berkembang menjadi sesuatu yang lebih mendalam? Atau, mereka akan terjebak dalam pernikahan yang dingin dan hampa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 14
Caitlin masih tampak asyik dengan notanya, jari-jarinya bergerak lincah di atas kertas, mencoretkan sesuatu yang tidak diketahui orang lain. Ruang rapat yang biasanya penuh ketegangan kini berisi orang-orang yang terfokus pada Wanny, wanita yang memulai presentasi. Namun, Caitlin tampak benar-benar tenggelam dalam dunianya sendiri, seolah semua yang terjadi di sekitar tidak penting baginya.
Reynard dan Nico saling bertukar pandang, lalu memperhatikan gadis itu. "Kenapa gadis ini bisa begitu tenang?" Nico bertanya-tanya dalam hati, tatapannya tertuju pada Caitlin yang sama sekali tak terganggu. “Apakah dia tidak tahu rasa takut?” Batin Nico semakin diliputi keheranan.
Sementara itu, Tommy duduk di sisi ruangan dengan pandangan sinis yang tak tersembunyi. Tatapannya tertuju pada Caitlin, yang terus mencoret-coret tanpa peduli. Rasanya, sikap gadis itu begitu mengganggu baginya.
"Caitlin, sebentar lagi giliranmu," suara Tommy memecah keheningan yang terjaga di antara mereka. “Apakah kamu tidak cemas?” lanjutnya, nada suaranya penuh ketidakpercayaan.
Caitlin mengangkat wajahnya sejenak, menatap Tommy dengan datar. “Aku tidak membunuh, kenapa harus cemas,” jawabnya dengan tenang, suaranya nyaris tanpa emosi. Dia kemudian kembali menunduk, melanjutkan coretan di atas notanya.
Tommy mendengus, merasa terabaikan. "Di sini adalah ruang rapat," katanya lebih tegas, “Apakah kamu bisa menghormati yang lain?” Suaranya memendam kemarahan, tatapan matanya tajam seperti ingin menusuk ketidakpedulian Caitlin.
Caitlin tersenyum tipis tanpa memandangnya lagi. "Aku hanya duduk dan menggambar, apakah ini juga salah?" jawabnya dengan nada datar, lalu menambahkan, “Paman, lebih baik abaikan aku saja. Fokus pada tugasmu!” suaranya tenang namun terasa menusuk.
Beberapa saat kemudian, Wanny menyelesaikan penjelasan proyeknya, menarik perhatian semua orang. "Wanny sudah selesai. Sekarang giliranmu," kata Hanz, suaranya tegas saat memanggil Caitlin.
Caitlin menguap malas, menggerutu pelan, “Lama sekali.” Dengan santai, dia merobek selembar nota yang sudah dia coret sejak tadi dan menyerahkannya kepada Nico. "Tunjukkan pada mereka," perintahnya dengan nada yang seolah tak peduli.
Nico tertegun, matanya membulat saat melihat apa yang ada di atas kertas itu. Tak bisa berkata-kata, dia memandang Caitlin sejenak sebelum melangkah ke layar proyektor. Dengan hati-hati, Nico memasang gambar itu di layar besar di ruang rapat.
Semua mata tertuju pada layar saat hasil coretan Caitlin muncul. Ternyata, bukan sekadar coretan biasa, melainkan sebuah lukisan yang luar biasa detail, menampilkan gedung tinggi yang adalah hotel. Sesuai dengan proyek yang mereka rencanakan.
Sinar lampu proyektor menyorot gambar itu dengan jelas, membuat seluruh ruangan terdiam dalam kekaguman yang tak terucapkan.
Reynard, Nico, dan bahkan Tommy tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Caitlin hanya duduk santai, melihat hasil karyanya terpampang di depan semua orang, sama sekali tidak terganggu oleh kehebohan yang dia ciptakan.
Reynard tidak bisa menahan rasa penasaran yang membuncah dalam dirinya. Ia menoleh ke arah Caitlin, tatapannya dipenuhi kekaguman dan sedikit kebingungan. "Sejak kapan kamu melukisnya?" tanyanya, suaranya rendah tapi penuh rasa ingin tahu.
Caitlin berhenti sejenak, Ia menatap Reynard dengan ekspresi tenang, lalu menjawab dengan ringan, "Saat Nico sedang presentasi. Aku bosan hanya duduk diam, jadi aku menggambar sambil mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulutnya." Ia kembali melanjutkan gambarnya.
Salah satu pemegang saham, yang duduk di ujung meja, menatap layar dengan kagum. "Hanya dengan mendengar saja, kamu sudah bisa menggambar gedungnya," katanya, suaranya sedikit terkejut, "bahkan semuanya sesuai dengan yang kita rencanakan."
Caitlin tersenyum tipis, tidak mengalihkan perhatiannya dari gambarnya. "Hanya hal kecil, kenapa diperbesar?" balasnya dengan nada tenang, lalu tatapannya berpindah ke pria itu, sorot matanya tajam tapi santai. "Percaya atau tidak, aku juga bisa menggambar rumahmu dan seluruh keluargamu, hanya dengan mendengar deskripsi."
Semua yang hadir di ruangan itu terdiam, seolah tidak percaya dengan kemampuan gadis itu. Tommy, yang sejak awal menatap Caitlin dengan sinis, kini terdiam lebih lama. Matanya menatap tajam ke arah Caitlin.
"Bagaimana bisa kamu melakukannya dalam waktu singkat?" tanya Tommy penuh rasa penasaran yang tertahan.
"Bukankah Nico hanya butuh 30 menit untuk presentasinya?" jawab Caitlin sambil mengangkat bahu dengan sikap santai. "Aku juga menyelesaikan dalam 30 menit. Jadi, kali ini aku yang menang, Karena hasil karyaku bisa dilihat oleh semua yang hadir di sini. Sementara yang dilakukan Wanny tadi hanyalah mengulang apa yang sudah Nico jelaskan sebelumnya." Nada bicaranya datar, tetapi penuh arti.
Tommy hanya bisa menatapnya dalam diam, tak mampu menemukan kata-kata untuk membalas, sementara yang lain mulai berbisik, terpukau oleh kecepatan dan ketelitian Caitlin dalam menciptakan gambar hanya dengan mendengar. Caitlin, tetap tenang dan tak terpengaruh, kembali tenggelam dalam gambarnya, seolah semua perhatian yang mengarah kepadanya bukanlah hal yang penting.
Reynard tertawa lepas, suaranya bergema di ruang rapat, membuat semua orang yang tadinya tegang menjadi terkejut oleh kelegaan yang ditampilkannya. Ia menatap Caitlin dengan bangga, meskipun istrinya terus sibuk mencoret-coret di atas notanya tanpa terlalu peduli dengan perhatian yang ia dapatkan.
"Ha ha ha... Apakah kalian mengaku kalah?" tanyanya, masih dengan senyum lebar di wajahnya. Ia lalu menatap satu persatu orang yang hadir, terutama mereka yang tadinya tampak meremehkan Caitlin. "Apa yang ditampilkan Caitlin adalah sebuah karya yang mirip dengan rencana kita. Hotel, kolam renang, halaman luas yang indah, gedung 27 tingkat. Hanya butuh 30 menit dan semuanya sudah selesai." Suara Reynard menggema, penuh dengan rasa bangga."Paman Hanz, sepertinya Wanny harus mengaku kalah," tambahnya.
Wanny yang sejak tadi diam terpaku, langsung tertunduk malu. Kata-kata Reynard menusuknya dalam-dalam, membuat wajahnya memerah. Tanpa berkata-kata, ia berdiri dengan langkah kesal, meninggalkan ruang rapat dalam suasana yang serba canggung.
"Wanny!" seru Hanz, mencoba memanggil putrinya yang sudah pergi begitu saja, tapi suaranya tak bisa menghentikan langkah cepat Wanny. Ia berbalik dengan ekspresi canggung, menatap Reynard. "Direktur, maaf!" katanya, suaranya terdengar penuh penyesalan.
Reynard mengangguk pelan, wajahnya berubah serius. "Sampaikan pada putrimu, kalau bukan karena melihatmu, Wanny sama sekali tidak dibutuhkan di sini," kata Reynard dengan nada dingin, menyiratkan ketidakpuasannya yang jelas. Ia tidak berbasa-basi, setiap kata yang keluar dari mulutnya adalah peringatan.
"Iya," jawab Hanz dengan nada rendah.
Caitlin, tampak sama sekali tidak terpengaruh oleh drama yang baru saja terjadi. Dengan tenang, ia menyelesaikan coretan lainnya di notanya dan menoleh ke Tommy yang masih menatapnya dengan penuh rasa penasaran. "Apakah hasil karyaku bagus?" tanya Caitlin dengan nada sengaja, senyumnya tipis, seolah menantang Tommy untuk memberikan tanggapan.
Tommy mengambil kertas dari tangan Caitlin, matanya langsung membesar ketika melihat gambar yang terpampang di atasnya. Sebuah mobil tergambar dalam posisi terbalik, dengan dua orang di dalamnya terlihat terluka. Gambar itu begitu nyata, detailnya sangat mendalam, hingga membuat Tommy tersentak.
"Ini?" tanya Tommy, kebingungan bercampur penasaran di wajahnya.
Caitlin tersenyum kecil, lalu menjawab dengan nada datar, "Aku hanya menggambar sembarangan. Aku pernah melihat adegan di drama, di mana dua pria yang tidak dikenal mengalami kecelakaan. Tapi, tidak ada yang tahu nasib mereka," katanya dengan nada yang tampaknya acuh tak acuh, Caitlin sengaja mengingatkan mereka pada kejadian yang terjadi enam bulan lalu, kejadian yang sampai sekarang masih menjadi misteri bagi sebagian orang.
Mendengar itu, Reynard dan Nico langsung menoleh cepat ke arah Caitlin, pandangan mereka penuh kecurigaan dan keterkejutan. Mereka tahu persis apa yang dimaksud Caitlin, meskipun gadis itu mengatakannya dengan santai.
Reynard, mencoba memecah ketegangan, tersenyum tipis meskipun dalam hati ia jelas merasa terganggu oleh gambar itu. "Caitlin, biar aku lihat karyamu," ujarnya dengan sengaja, "Mungkin saja kamu bisa menjadi seorang pelukis hebat." Ia mengambil kertas dari tangan Tommy, tapi begitu melihat hasil karya istrinya, senyumnya hilang seketika. Wajahnya berubah serius, dan ia tidak bisa berkata apa-apa.
Begitu pula dengan Nico. Dia menatap gambar itu dengan ekspresi tegang, seolah gambar tersebut memunculkan kembali kejadian yang pernah dia lihat.
Tommy, yang masih merasa bingung, akhirnya berbicara lagi, kali ini dengan nada lebih serius. "Caitlin, di mana kamu belajar? Kenapa gambar ini begitu mirip dengan kenyataan?" tanyanya, tatapannya penuh dengan pertanyaan yang tak terjawab.
Caitlin hanya mengangkat bahu, wajahnya tetap tenang tanpa beban. "Tidak pernah belajar. Aku bisa menggambar apa pun yang aku mau," jawabnya dengan sederhana.
"Bukankah ini mirip dengan kejadian yang aku alami bersama supirku, kenapa Caitlin seakan tahu kejadian itu?" gumam Reynard.
seru nih