Rumah tangga yang sudah lama aku bina, musnah seketika dengan kehadiran orang ketiga di rumah tanggaku..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Aku langsung mengangguk sambil memegang pena yang sudah terjatuh dua kali karena capek. Aku memandang kertas-kertas yang berantakan di atas meja kerjanya, sketsa pakaian tersebar layaknya daun-daun di musim gugur.
Cahaya matahari yang menerobos masuk melalui jendela besar di kantorku membuat efek dramatis pada setiap lekuk kertas. Aku berusaha konsentrasi, memperhatikan setiap detail pada desain yang akan aku presentasikan.
Sumi menatap aku dengan tatapan yang mendukung. "Jangan terlalu tegang, kamu pasti bisa," ucapnya sambil tersenyum.
Sumi, yang berperan sebagai asisten ku, selalu tahu cara menenangkan hati ku di saat-saat genting seperti ini.
"Terima kasih, Sumi. Aku hanya... agak khawatir saja," balas ku seraya mengusap dahi yang mulai berpeluh.
Dia berdiri, berjalan mengelilingi meja untuk merapikan beberapa sampel kain yang akan ia bawa ke ruang meeting.
Sumi membantu merapihkan beberapa dokumen lain, "Semua akan berjalan baik, percayalah. Desainmu itu luar biasa. Kita sudah berdiskusi tentang ini dan feedbacknya positif, kamu tahu itu."
Aku menghela napas, mencoba meyakinkan diriku sendiri. Ia kembali duduk, melihat ke luar jendela sejenak, mengumpulkan semua keberanian.
"Oke, mari kita lakukan ini. Biarkan mereka melihat apa yang telah kita kerjakan dengan keras."
Kami berdua kemudian mengambil langkah menuju ruang meeting, langkah yang penuh dengan harapan dan determinasi, siap untuk mempresentasikan karya yang telah mengambil banyak waktu, pikiran, dan tentu saja, cinta dari seorang desainer seperti ku.
Kami langsung pergi ke tempat meeting,
Di ruang konferensi yang luas dan elegan, aku melangkah dengan langkah yang ragu. Ruangan itu terlihat sangat profesional dengan dinding yang dilapisi panel kayu cerah, memberikan kesan serius namun hangat.
Meja konferensi besar di tengah ruangan terbuat dari kaca yang tebal dan dikelilingi oleh kursi-kursi kulit hitam yang tampak nyaman. Di sudut ruangan, terdapat papan tulis putih besar yang sudah dipenuhi dengan sketsa dan diagram, mencerminkan proses kreatif yang sedang berlangsung.
Cahaya dari lampu gantung kristal di atas memberikan pencahayaan yang cukup tanpa menyilaukan, menciptakan suasana yang ideal untuk diskusi dan pertemuan kreatif.
Setiap detail di ruangan itu tampak dirancang dengan teliti, mencerminkan kepribadian seorang desainer yang menghargai estetika dan fungsionalitas.
Di salah satu sudut, sebuah layar proyeksi sudah terpasang, menunjukkan presentasi yang siap untuk dibagikan. Ruangan itu tidak hanya sebagai tempat pertemuan, tetapi juga sebagai kanvas bagi desainer untuk mengekspresikan dan membagikan visi kreatifku..
Beberapa jam kemudian, meeting kami akhirnya selesai. Aku merasa sangat puas dengan hasilnya. Dengan langkah penuh semangat, aku meninggalkan ruang meeting.
"Aku benar-benar menunjukkan kemampuanku hari ini," gumamku dalam hati, tersenyum puas.
"Makan dulu, Ran. Aku lapar," seru Sumi, mengingatkanku bahwa aku belum makan sepanjang hari ini.
"Beres, Sum. Ayok," seruku kembali, setuju dengan rencananya.
Aku dan Sumi masuk ke dalam mobil, dan Sumi melajukan mobil dengan kecepatan sedang, membelah jalanan ibu kota menuju restoran.
"Aku sangat lapar, semoga restoran ini sebanding dengan kerja keras kita hari ini," pikirku sambil melihat pemandangan kota yang indah dari jendela mobil.
Setibanya di restoran, kami langsung masuk ke dalam dan memesan makanan kesukaan kami. Aku berharap hidangan ini akan mengobati rasa lelahku sepanjang hari ini, sambil tetap memikirkan kesuksesan yang baru saja aku raih dalam meeting tersebut.
Seorang pria masuk ke dalam resto dengan sikap yang arogan, mirip seperti anggota geng yang sering terdengar ceritanya.
Aku mencoba untuk tidak mempedulikannya saat dia berteriak-teriak tanpa jelas alasannya, namun lama kelamaan dia mulai semakin agresif, memaki-maki pelayan yang ada di sana, dan bahkan marah-marah pada orang tua yang tidak bersalah.
Aku merasa geram yang tidak tertahankan dan tanpa sadar, aku langsung berdiri dari kursiku. Sumi, tampak heran dan bertanya, "Mau kemana, Rania? Makananmu belum habis"
"Sebentar," jawabku singkat.
Aku berjalan mendekati pria arogan itu. "Mas," panggilku mencoba untuk tetap sopan.
"Apa ?!" jawab pria itu dengan nada sinis.
"Maaf, tapi bisa nggak sih berbicara dengan sopan pada orang yang lebih tua?" ucapku tegas.
Pria itu tertawa sinis, "Oh, jadi kamu mau jadi pahlawan ya?"
Aku memilih untuk tidak menjawab dan kembali ke tempat dudukku. Ternyata pria itu tidak terima dengan teguranku, dia mengikuti langkahku dan dengan kasar menggebrak meja hingga makananku tumpah.
Sumi sangat ketakutan melihat perlakuan pria itu padaku, namun aku tidak merasa takut. Aku percaya bahwa selama aku melakukan hal yang benar, tidak ada yang perlu ditakutkan.
"Heh! Jangan coba-coba ikut campur !" seru pria itu dengan nada mengancam.
Aku menggebrak meja dengan penuh emosi, membuat pria di depanku terkejut. Barangkali, selama ini tak ada satu pun orang yang berani menentangnya.
"Aku nggak ikutan campur urusanmu! Cuma mengingatkan aja, tunjukkan sikap sopan pada orang yang lebih tua, ya!" Jawabku tegas, menatap pria itu dengan tatapan tajam.
Rahang pria itu semakin mengeras; jelas ia sangat kesal karena ada orang yang melawannya. Di dalam hati, aku bertanya, "Kenapa aku harus takut? Apa dia benar-benar ingin membuat masalah dengan aku?"
"Apa? Kamu nggak suka ya?!" seruku dengan suara keras.
"Kalau kamu bukan perempuan, udah lama aku tonjok kamu!" gumam pria itu dengan amarah.
"Hah! Tonjok aja, aku nggak takut!" jawabku tegas, menunjukkan bahwa aku tak gentar.
"Aku tandain kamu!" ancamnya dengan nada sinis.
"Siapa yang takut?" balasku sambil menatap matanya dengan tajam. "Yuk, kita pergi dari sini!" seruku kepada sumi, tak ingin memperpanjang masalah yang tak perlu ini.
Aku dan Sumi merasa tidak tahan lagi dengan suasana restoran ini, segera keluar tanpa berselera untuk melanjutkan makan.
"Ayo, kita cari restoran lain," kataku pada Sumi. Beruntung, tak jauh dari sana kami menemukan restoran lain yang tampak lebih nyaman.
Segera, kami masuk dan memesan makanan. Sambil menunggu pesanan, Sumi tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.
"Rania, kenapa tadi kamu berani sekali melawan pria itu?" tanyanya dengan suara serius.
Aku menghela napas, merasa kesal dengan keadaan ini. "Karena aku tidak melihat alasan untuk merasa takut padanya," jawabku.
Pesanan kami akhirnya datang, dan Sumi serta aku makan dengan lahap, merasa lega dapat menikmati makanan di tempat yang lebih nyaman. Setelah perut kenyang, kami segera membayar dan bersiap untuk pulang.
Saat berjalan keluar, di depan restoran, aku terkejut melihat sosok yang tidak diharapkan - Sandra, perempuan yang berselingkuh dengan Adnan. Dia sengaja menampakkan kalung berlian mewah yang ia miliki, seakan ingin pamer.
Begitu menyadari keberadaanku, ia langsung terdiam dan menatapku. Hatiku terasa sangat sakit melihat perempuan ini.
"Kau perempuan kemarin sore, bukan?" ucap Sandra sambil menggigit bibirnya.
"Ya," jawabku singkat, berusaha untuk tidak menunjukkan emosi yang tercampur aduk.
"Apa kita bisa bicara sebentar?" tawar Sandra dengan wajah tanpa rasa bersalah.
Namun, tak ada waktu lagi untuk berbicara dengan perempuan ini. Aku sudah tak tahan lagi, semua luka dan sakit hati mengingat perbuatan Adnan dan Sandra menyiksa pikiranku.
"Tidak ada waktu," ucapku tegas. Aku segera masuk ke dalam mobil, meninggalkan Sandra yang masih menatapku dengan tatapan terkejut.
***