Sarjana Terakhir
Siang ini udara panas berembus terasa membakar di ruas jalan depan gerbang Universitas Siliwangi Tasikmalaya. Matahari meninggi mendekati kulminasi. Suara gaduh di sekeliling menderu. Pekikan bersahut-sahutan, riuh gemuruh. Derap langkah, dentuman marching band dan melodi-melodi bersahutan diiringi nyanyian-nyanyian semarak berpadu dengan suara mesin-mesin kendaraan.
Rudi salah satu laki-laki yang sudah tercatat sebagai mahasiswa Unsil selama hampir 7 tahun hadir tak jauh dari parade wisuda. Ia mengusap peluh dalam sebuah mobil. Cucuran keringat membasahi wajah pria berkaca mata itu. Sudah setengah jam ia di tengah hiruk pikuk. Namun tidak seperti mahasiswa lain. Pria umur 28 tahun itu bukan salah satu wisudawan, tetapi di sana ia hanya seorang sopir angkot yang terjebak beberapa meter di belakang parade.
Rudi adalah sopir angkot. Mahasiswa yang bekerja sebagai sopir angkot. Karena sibuk bekerja, sudah hampir lima tahun ia tidak lagi menginjakkan kaki di kampus. Tidak mendengar kuliah-kuliah. Mengerjakan tugas mingguan di perpustakaan, menyusun makalah kelompok, presentasi maupun menyelesaikan tugas-tugas praktikum.
Semua ini bermula saat ia baru naik tingkat ke tingkat tiga. Sepulang dari kampus dia mendapat telepon. Sore itu dering telepon di layar memunculkan nama ibunya. Tetapi ketika diangkat, suara itu ialah suara orang lain: tetua kampung.
Rudi mengenal suaranya, itu adalah suara Wak Jajim. Pria berusia 62 tahun itu menyuruh Rudi pulang karena ada suatu keperluan. Tak berpanjang kata, tak dijelaskan pula ada keperluan apa, tapi Rudi yang sudah merasa ada kejanggalan segera menuruti apa yang dikatakan Wak Jajim.
Sore itu juga Rudi melajukan motornya menempuh perjalanan selama tiga jam. Rumahnya memang jauh, dari Tasikmalaya menempuh perjalanan ke Kabupaten Ciamis. Dari barat terus melaju ke arah timur menelusuri jalur provinsi menuju kota Banjar. Dari Kota Banjar berbelok ke utara melewati jalur tanjakan dan turunan berkelok-kelok melintasi lembah dan perbukitan hingga sampai di sebuah Desa, Desa Tambaksari namanya. Sebuah Desa di Kabupaten Ciamis yang terletak di perbatasan, ialah suatu perbatasan kabupaten yang juga merupakan perbatasan provinsi, antara Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Rudi tiba hampir malam. Kala itu rumahnya telah dikerumuni orang-orang Desa. Kursi-kursi plastik bertumpuk, atap terpal bertiang bambu telah terpasang di depan rumahnya yakni sebuah rumah panggung sederhana. Perempuan-perempuan berkerudung hitam datang dan pergi. Beberapa orang mengurusi karung beras yang mulai terisi penuh. Sementara yang lain menunggu di depan baskom berisi amplop yang dihampiri orang-orang desa silih berganti.
Rudi bergegas masuk ke dalam rumahnya. Terdengar suara tangis bercampur dengan suara orang mengaji. Di tengah-tengah rumah terbujur kaku sosok mayat tertutup kain. Dilihat ibunya yang tengah hamil tua di dekat mayat itu mengaji sambil sesenggukan. Sementara adiknya Heryani yang baru berusia 8 tahun memeluk ibunya.
Rudi tersungkur di depan ibunya. Ia merangkul ibu dan adiknya. Ibunya berkata bahwa ayah Rudi telah tiada. Ia meninggal dunia setelah sebelumnya pingsan di sawah.
Pria malang itu ditemukan warga tergeletak mengigau di pematang, sementara cangkul masih erat digenggam tangannya. Beberapa warga yang datang kemudian ikut membantu menggotong ayah Rudi pulang ke rumah. Di rumah pria itu sempat siuman dan menyampaikan beberapa pesan, kemudian meninggal sekitar pukul empat sore.
Salah satu pesan itu ialah pesan untuk Rudi, supaya ia jangan sampai putus kuliah. Supaya ia menggapai segala cita-cita setinggi-tingginya, juga pesan beliau supaya Rudi menjaga ibunya dan merawat adiknya Heryani, termasuk adiknya yang masih ada dalam kandungan.
Ayah Rudi adalah seorang pria pendiam namun penuh semangat, optimis dan menuruti segala cita-cita anaknya. Rudi yang berkeinginan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi pun diantarnya, didorongnya dengan dukungan penuh.
Meskipun pria itu hanya seorang buruh tani yang sesekali jual beli hasil bumi, tetapi visi hidup ke depan yang diharapkannya tergambar jelas, cerah dan cemerlang. Jika dirinya hanya sebatas menjadi buruh di desa, maka anak-anaknya ia harapkan jadi orang-orang besar, jadi orang-orang hebat.
Harapan itu pernah terucap di depan Rudi semasa ia lulus SMA, dan itu merupakan kalimat satu-satunya yang menggambarkan harapan si pria, selain dari pesan terakhirnya sebelum dia meninggal. Waktu itu dalam tatap mata berkaca-kaca, kepada Rudi pria itu berkata begini :
“Rudi, habis ini kuliahlah yang tinggi! Apa pun yang terjadi gapailah cita-cita setinggi-tingginya!”
Rudi tertunduk mencengkram kuat stir angkotnya. Mengingat kata-kata ayahnya membuat dadanya sesak. Hingga detik ini ia belum bisa kembali ke kampus. Melihat meriahnya wisuda tahun ini di ruas jalan depan universitas ia hanya mampu membayangkan dirinya ada di barisan para wisudawan memangku ijazah, memakai toga dan medali. Dirinya yang berkerumun di sekitar lokasi-lokasi penjual buket bunga atau tempat berfoto untuk mengabadikan peristiwa bersama keluarga. Dirinya yang hanya sebuah bayangan, bayangan yang lekas sirna dihempas kenyataan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
Nabila.id
b
2024-08-06
1
Fania kurnia Dewi
mampir
2024-08-01
1