Ketika adik-adiknya sudah memiliki jodoh masing-masing, Ara masih diam tanpa progres. Beberapa calon sudah di depan mata, namun Ara masih trauma dengan masa lalu. Kehadiran beberapa orang dalam hidupnya membuat Ara harus memilih. Teman lama atau teman baru? Adik-adik dan keluarganya atau jalan yang dia pilih sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon veraya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26 : Detak Mahesa
Ara meracau di sela tangisnya. Mahesa merasa ada yang salah. Meskipun Ara memujinya, namun Mahesa merasa ini bukan tentang dirinya. Mahesa ingin bertanya tapi melihat Ara yang nangis, dia tidak tega.
“Need hug?” Mahesa merentangkan kedua lengannya.
Ara menatap Mahesa beberapa saat lalu berkata, “Tadinya iya, tapi sekarang kok pengen mukul ya.”
“Gimana sih? Tadi nangis, sekarang marah, nanti apa lagi? Jungkir balik?”
Ara menghapus sisa lelehan air mata di pipinya. Sedikit lega. Menangis bisa mengurangi rasa terhimpit di dalam dadanya.
“I’m still here…” Mahesa masih menunggu Ara menyambut rentangan tangannya.
“Rasanya nggak adil kalau kamu yang kena pukul. Ayo masuk, di sini dingin. Kita ngobrol di dalam saja, termasuk bagaimana kamu bisa tahu aku di sini.”
“Kamu lapar nggak?” tanya Mahesa.
Biasanya kalau Ara sedang galau, dia akan merasa sangat lapar, tapi kali ini entah kenapa nafsu makannya hilang. “Nggak.” jawabnya singkat.
“Aku belum makan. Deket sini ada warung makan jadul, tadi aku lihat. Temenin aku makan, Ra.”
“Kamu nggak capek? Makan di dalam saja, aku punya mie rebus kesukaan kamu.”
“Kamu bawa-bawa makanan kesukaanku sampai sini? Kamu pasti nungguin aku datang, ya?”
“Ish.” Ara menepak bahu Mahesa lalu masuk ke dalam.
“Ada telur juga nggak?”
“Ada.”
“Sayuran?”
“Nggak ada.”
“Bikinin, ya.”
“Ya.”
“Telurnya setengah mateng.”
“IYA!”
“Ada cabe rawit?”
“Ada. Di pasar. Kamu mau beli dulu? Atau mau nunggu aku nanam pohonnya dulu? Bawel banget Anda ya. Aku masih pengen mukul nih. Ati-ati, ya.”
Mahesa menutup mulutnya sambil mengisyaratkan damai dua jari.
Sampai di dalam, Mahesa memilih untuk berbaring di sofa sambil melihat Ara menyiapkan makan malam untuknya.
Melihat Ara yang tidak menanyakan soal Alice, Mahesa sedikit lega. Dia takut Ara salah paham dan mengira itu adalah kekasih Mahesa.
Walaupun penggemar The Red Rose ada banyak dan sesekali ada yang berani melakukan tindakan pujian untuk Mahesa, namun dia tidak khawatir Ara akan salah paham.
Tapi entah kenapa terasa berbeda dengan kehadiran Alice kemarin. Mahesa benar-benar tidak menyangka dia bisa datang ke acara itu. Apalagi saat Alice bersalaman dengan Risty. Mungkin mereka teman baik, atau sebelumnya Alice memang sudah menjadi tamu undangan?
Tidak sampai lima menit, mie rebus hangat dengan toping telur setengah matang tersaji di atas meja.
Mata Mahesa berbinar-binar. Dia menghirup aroma mie rebus dengan seksama sampai matanya merem melek.
“Udah lama kamu nggak bikinin aku mie.”
Ara tersenyum.
“Selamat makan.”
Mahesa menghancurkan kuning telur, menggulung mie dan menyendok kuahnya.
“Hmm…it’s a best daaay eveeeer…”
Ara menopang dagunya sambil menontoni Mahesa makan. Lucu juga ketika dia masih sering menirukan Sponge Bob.
“Yakin kamu nggak mau?” Mahesa melirik Ara.
“Menggiurkan sih.”
Mahesa menyuapi Ara segulung mie. Ara menerimanya dengan senang hati.
“Enak.”
“Ya, kan. Harusnya kamu mau makan juga. Jangan sampai sakit.”
“Sekarang jelaskan bagaimana ceritanya kamu bisa ke sini.” tanya Ara setelah menyelesaikan kunyahannya.
“Naik awan kinton.”
“Ha, ha, ha. Berapa tiketnya? Kalau murah aku juga mau sewa.”
“Gratis. Tadinya aku mau naik itu, tapi karena full booked, trus aku naik delman istimewa.”
“Maheees…”
“Sebenarnya nggak penting sih gimana aku bisa ke sininya, yang penting aku berhasil menemukan kamu. Aku ke sini karena khawatir kamu bakalan kayak dulu lagi. Lari trus nangis sendirian. Dan dugaanku benar kan?” Mahesa menatap mata Ara, menunggu momen Ara mau terbuka.
“Hes, kamu tahu…aku…takut berhubungan sama laki-laki. Mengatasi trauma itu nggak segampang bikin mie instan.”
“Kamu merasa nggak gampang karena kamu nggak mau gerak, keluar dari zona gelap. Padahal udah ada orang yang narik kamu keluar dari sana.”
“Siapa?”
“Aku, lah.”
Ara terdiam, memandang Mahesa yang terkesan bercanda tapi serius.
“Kamu cinta sama aku, Hes?"
“Aku nggak cinta sama kamu…tapi aku sayang sama kamu. Aku cuma pengen kamu baik-baik saja, nggak trauma-trauma lagi. Cinta bisa tumbuh, bisa hilang, bisa berganti. Tapi aku nggak punya itu semua, Ra. Aku cuma punya diriku. Terserah kamu mau pakai yang mana.”
“Maksudmu gimana, Hes?”
Mahesa merentangkan lengannya lagi.
“Tanganku boleh kamu pakai kalau kamu lagi jatuh dan butuh pertolongan, badanku boleh kamu pakai kalau kamu lagi butuh tempat bersandar, kepalaku boleh kamu pakai kalau kamu butuh berbagi pikiran, kakiku boleh kamu pakai kalau kamu mau jalan-jalan sama aku. He he he…”
Mahesa nyengir lebar. Ara tersenyum geli.
“Gombalan kamu maut juga ya.”
“Apa yang kamu takutkan sampai kamu nangis tadi?” Mahesa memelintir tema.
Ara tidak siap dengan pertanyaan yang menjurus ke inti. Tidak siap harus jawab apa.
“Kamu takut disentuh? Dipeluk? Dicium?” tambah Mahesa.
“Kok kamu bisa tau?”
“Trauma-mu kan sekitar situ-situ aja. Kontak fisik. Si cowok itu maksa kamu lagi?”
Ara menunduk. Mahesa tidak tahan lagi. Dia menggenggam tangan Ara.
“Kalau aku sentuh kayak gini, kamu takut?”
Ara menggeleng. Mahesa menarik tangan Ara hingga mereka berdua berdiri sejajar. Mahesa melingkarkan sebelah tangan Ara di sekitar pinggangnya.
“Mau ngapain, Hes?”
“Sstt…ikuti aja. Percaya sama aku.”
Mahesa melingkarkan sebelah tangan Ara yang satunya hingga kedua lengan Ara memeluk pinggang Mahesa secara sempurna. Mahesa tertawa kecil.
“Masih takut?”
“Dikit.”
Mahesa merengkuh kepala Ara dan membimbingnya bersandar di dada Mahesa.
“Dengerin detak jantungku.”
Kepala Ara ingin menolak namun kata hatinya berkata lain. Pelan-pelan dia menempelkan telinganya di dada Mahesa.
Dag dig dug itu pelan, teratur, dan menghpnotis. Ada rasa tenang dan nyaman yang Ara rasakan.
Mahesa membelai rambut panjang Ara yang terurai. Mulai dari ujung kepala sampai punggung.
“Manusia yang membuatmu takut, di dunia ini memang ada banyak, Ra. Tapi sekarang, ada manusia yang ingin menenangkanmu, sekedar memberi perlindungan buat kamu. Kamu cuma perlu bernafas, tenang, dan menerima. Jangan berusaha sendirian lagi buat ngobatin lukamu. Aku punya banyak plester kalau kamu mau.”
Ara tertawa kecil kemudian melepaskan lengannya dari pinggang Mahesa.
"Makasih banyak kamu sudah jadi sahabatku dari kecil sampai sekarang, Mahesa Baja Hitam. Tapi...aku benar-benar minta maaf sama kamu. Aku juga nggak cinta sama kamu. Aku sayang sama kamu. Sayang banget. Karena aku sayang, aku nggak mau kamu buang-buang waktu gara-gara aku. Hidupmu berharga. Jadi sebaiknya kamu...mulai mencintai gadis lain yang punya banyak rasa cinta juga sama kamu. Misalnya, si rambut coklat itu?"
Mata Mahesa menelusuri kedua bola mata Ara yang berembun. Apa kamu akan menolakku lagi, Ra? Tanya Mahesa dalam hati. Mahesa ingin tertawa, menertawakan dirinya sendiri yang berkali-kali kalah dalam permainan. Dalam hatinya, Mahesa merasa seolah akan dibuang.
"Pulanglah. Aku baik-baik saja di sini. Aku nyaman banget sama kamu. Tapi aku nggak bisa jadi pacar kamu. Kita akan selamanya jadi teman. I'm so sorry..." kata Ara sambil mengusap kedua lengan Mahesa.
Mahesa terpaku. Bukan lagi dunia runtuh atau kilat menyambar-nyambar yang dia rasakan kini. Justru hatinya malah seolah meleleh. Meleleh oleh sesuatu yang hangat dan memaksanya menjadi bentuk lain dari metafora rasa sukanya pada Ara.
Mahesa tertawa kecil sambil menunduk. Menunduk memandang kakinya yang sudah melangkah sejauh ini tapi yang dia kejar masih ingin berlari.
Mahesa menatap mata Ara yang basah tapi bibirnya tersenyum. Kedua tangan Ara memeluk kedua sisi pipinya sambil berkata terbata.
"You are the best friend i ever had, Mahesa. Thank you so much..."