"Menikahlah denganku, maka akan kutanggung semua kebutuhanmu!"
Karina Anastasya harus terjebak dengan keputusan pengacara keluarganya, gadis sebatang kara itu adalah pewaris tunggal aset keluarga yang sudah diamanatkan untuknya.
Karina harus menikah terlebih dahulu sebagai syarat agar semua warisannya jatuh kepadanya. Hingga pada suatu malam ia bertemu dengan Raditya Pandu, seorang Bartender sebuah club yang akan mengubah hidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fafafe 3, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tekanan dari Dua Arah
Matahari mulai tenggelam di balik cakrawala, tetapi di dalam rumah Pandu dan Karin, suasana hati jauh dari damai. Di ruang tamu yang seharusnya nyaman, Pandu duduk dengan raut wajah yang tegang, telepon genggamnya berdering dengan pesan-pesan yang masuk bertubi-tubi. Di salah satu layar, pesan dari adiknya muncul, "[Pandu, Mama semakin sakit. Papa bilang kamu harus segera datang untuk urus rapat penting besok. Ini masalah besar buat perusahaan kita.]"
Pandu menarik napas panjang, memijit pelipisnya yang terasa berdenyut. Ia menatap ke arah Karin yang sedang memeriksa rak dapur, merapikan peralatan makan dengan sangat hati-hati. Di tengah-tengah kekacauan dalam dirinya, Pandu tahu bahwa Karin juga membutuhkan dirinya lebih dari sebelumnya.
"Karin," panggilnya pelan.
Karin menoleh, tatapannya waspada, seperti siap untuk mendengar berita buruk. "Iya?" jawabnya lembut, tetapi nada suaranya menunjukkan kecemasan yang menggelayut.
"Aku harus pulang ke rumah Mama besok," kata Pandu dengan hati-hati. "Ada rapat penting yang harus aku urus."
Karin terdiam sejenak, tampak berpikir keras. "Berapa lama kamu akan pergi?"
"Mungkin sepanjang hari," jawab Pandu, berusaha terdengar ringan meskipun ia tahu bahwa jawabannya pasti akan memicu kecemasan Karin. "Tapi aku akan cepat kembali."
Mata Karin menyipit sedikit. "Seharian penuh? Padahal, aku masih butuh bantuanmu di rumah. Kita sudah sepakat untuk membersihkan ulang ruang tamu besok, kan?"
Pandu merasakan hatinya mencelos. Ia tahu betapa pentingnya rutinitas bagi Karin, dan betapa sulitnya bagi istrinya untuk menerima perubahan tiba-tiba. Tapi dia juga tak bisa mengabaikan tanggung jawab keluarganya. "Iya, aku tahu. Tapi ini benar-benar penting, sayang. Mama semakin sakit, dan aku perlu ada di sana. Mereka semua mengandalkan aku sekarang."
Karin menghela napas panjang, matanya menunduk ke lantai. "Kamu semakin sering keluar akhir-akhir ini. Rasanya seperti kamu mulai menjauh dariku..."
Pandu merasa hatinya tertusuk. Ia bangkit dari kursinya dan mendekati Karin, memegang kedua tangannya dengan lembut. "Aku nggak menjauh, Karin. Aku nggak pernah akan meninggalkanmu. Tapi ada begitu banyak yang terjadi sekarang. Bisnis keluarga, kesehatan Mama... Aku merasa terjebak di dua tempat pada waktu yang bersamaan."
Karin menatap Pandu dengan mata yang penuh kecemasan. "Aku takut kamu terlalu terbebani dengan semua ini. Aku... Aku nggak mau jadi beban untukmu."
Pandu segera menggelengkan kepalanya, menatap istrinya dalam-dalam. "Kamu bukan beban, Karin. Kamu adalah prioritasku. Aku cuma butuh kamu untuk percaya padaku. Kita berdua sedang melewati masa yang sulit, dan aku sedang berusaha sebaik mungkin untuk menyeimbangkan semuanya."
Tetapi Karin, dengan pikiran yang selalu berputar dan kecemasan yang semakin hari semakin menyiksa, tak bisa sepenuhnya menerima kata-kata itu. Ia tahu Pandu berusaha keras, tetapi perasaannya sulit dikendalikan. "Tapi aku merasa... kamu lebih sering memilih keluargamu. Apa itu karena aku... terlalu rumit? Karena OCD-ku?"
Pandu terkejut mendengar pertanyaan itu. Ia menarik Karin ke dalam pelukannya, merasakan tubuh istrinya yang sedikit bergetar. "Jangan pernah berpikir begitu. Kamu nggak pernah rumit buatku, sayang. Aku tahu ini sulit, tapi aku janji, aku nggak akan pernah biarkan kamu menghadapi ini sendirian."
Karin bersandar di dada Pandu, merasakan detak jantungnya yang tenang. Tapi di dalam pikirannya, ia masih dikepung oleh keraguan dan rasa cemas yang tak henti-hentinya. "Aku cuma takut kamu lelah... lelah dengan semua ini."
Pandu merenggangkan pelukannya, lalu menatap dalam-dalam ke mata Karin. "Aku memang lelah, tapi bukan lelah karena kamu. Aku lelah karena semua ini sangat menuntut. Tapi itu nggak berarti aku akan menyerah. Aku mencintaimu, Karin. Kita sedang menghadapi badai, tapi aku di sini, di sampingmu."
Malam itu, meskipun Karin akhirnya setuju membiarkan Pandu pergi ke rumah keluarganya keesokan harinya, perasaan cemas tetap bertahan di hatinya. Karin tahu Pandu melakukan yang terbaik untuk mendukungnya, tapi ia juga bisa melihat betapa tertekannya suaminya.
Sementara itu, Pandu kembali ke kamar dengan hati yang berat. Dia merasa bersalah karena harus membagi dirinya di antara dua dunia yang sama-sama membutuhkan perhatian penuh. Pada satu sisi, keluarganya yang tengah menghadapi penyakit ibunya dan tekanan bisnis. Di sisi lain, Karin yang tengah berjuang dengan OCD dan butuh dukungan penuh.
Sebelum tidur, Pandu menggenggam tangan Karin yang kecil dan rapuh. "Kita akan melewati ini, ya? Aku janji, aku akan cari cara agar kita bisa menyeimbangkan semuanya."
Karin menatap Pandu, matanya terlihat lelah namun masih ada harapan di sana. "Aku percaya sama kamu, Pandu. Aku cuma butuh waktu untuk merasa lebih tenang. Dan aku harap, kamu juga bisa menemukan ketenanganmu."
Dalam hati, Pandu tahu bahwa janji itu bukanlah janji yang mudah untuk ditepati. Tapi ia juga tahu bahwa cinta yang tulus memerlukan pengorbanan. Pandu memejamkan matanya, mencoba mencari ketenangan yang dia butuhkan untuk bisa terus bertahan. Meskipun tantangan semakin banyak, ia percaya bahwa dengan kesabaran dan cinta, mereka bisa mengatasi semua tekanan ini, bersama-sama.
Pagi menjelang dengan kesunyian yang aneh di rumah Pandu dan Karin. Biasanya, Karin akan sibuk dengan ritual paginya, memastikan semua hal bersih dan teratur. Namun, kali ini, Karin hanya duduk di meja makan, tangannya bermain dengan sendok di mangkuk tanpa minat untuk sarapan. Pandu menatapnya dari seberang meja, rasa bersalah yang mendalam menggantung di hatinya.
"Aku akan segera kembali, Karin. Aku janji nggak akan lama," kata Pandu dengan suara lembut, mencoba menyuntikkan rasa optimisme ke dalam situasi yang jelas-jelas penuh ketegangan.
Karin mengangguk, meski sorot matanya masih dipenuhi kecemasan. "Oke... hati-hati ya," ujarnya pelan.
Pandu mendekat, mencium kening Karin dengan penuh kasih. Namun, ada sesuatu yang berat dan tak terucapkan di antara mereka, seperti jarak yang tak bisa dilihat, tapi sangat terasa.
Dia mengambil kunci mobil dan berbalik, berjalan menuju pintu depan. Namun, ketika dia hendak membuka pintu, suara telepon rumah berdering dengan nyaring, memecah keheningan pagi. Pandu dan Karin saling menatap sesaat, keduanya dengan firasat buruk di hati masing-masing.
Pandu menjawab telepon itu, sementara Karin dengan hati-hati mendekat, memperhatikan raut wajah suaminya berubah drastis dari rasa terkejut menjadi panik.
"Apa? Bagaimana bisa?" Pandu berseru dengan nada cemas, tubuhnya menjadi tegang. "Tunggu, aku akan langsung ke sana."
Pandu meletakkan gagang telepon dengan tangan gemetar. Ia berbalik menatap Karin dengan mata yang penuh kegelisahan. "Aku harus ke rumah sakit sekarang. Mama... mama pingsan lagi!"
Karin terpaku di tempatnya, dadanya terasa sesak mendengar kabar itu. Di saat yang sama, ia bisa merasakan ketegangan baru yang menyelimuti hubungan mereka.
"Aku ikut," kata Karin tiba-tiba, memutuskan untuk tidak membiarkan Pandu menghadapi ini sendirian.
Pandu menggeleng pelan, suaranya serak, "Nggak, Karin. Kamu harus tetap di sini. Kamu sendiri masih belum stabil, dan rumah sakit mungkin terlalu penuh tekanan buat kamu. Aku nggak ingin kamu semakin tertekan."
"Tapi, Pandu..."
"Aku janji akan segera kembali. Aku cuma butuh waktu untuk memastikan Mama baik-baik saja."
Karin menggigit bibirnya, menahan desakan untuk ikut. Hatinya terpecah antara ingin mendampingi Pandu dan ketakutannya akan lingkungan rumah sakit yang bisa memicu OCD-nya.
Dengan berat hati, Karin mengangguk. Pandu mengelus pipinya sekali lagi sebelum dengan cepat melangkah keluar dari rumah, meninggalkannya sendirian di tengah kekosongan yang semakin mencekam.
Beberapa menit setelah Pandu pergi, Karin mulai merasakan serangan kecemasan yang mendalam. Dia melihat sekeliling rumah, merasakan kekacauan yang tak terlihat tapi sangat nyata di pikirannya. Ia mencoba menenangkan diri, tapi rasa cemas semakin mendesak.
Tiba-tiba, dia mendengar suara berisik dari pintu belakang. Jantungnya berdetak lebih cepat. Dia berjalan perlahan menuju suara itu, dengan perasaan takut yang tak bisa dijelaskan. Ketika dia mendekat, sebuah pesan singkat muncul di ponselnya dari nomor tak dikenal.
"Kamu pikir suamimu bisa menjaga segalanya tetap aman? Jangan terlalu yakin."
Karin terpaku di tempat, tangannya gemetar saat memegang ponsel. Pesan itu hanya membuat kecemasannya semakin besar. Pandu sudah pergi, dan sekarang dia sendirian di rumah dengan perasaan terancam yang kian menghantui.
Suara berisik dari arah pintu belakang semakin keras. Apa yang sebenarnya terjadi? Siapa yang mengiriminya pesan? Dan apa yang sebenarnya sedang mengancam mereka?