NovelToon NovelToon
Alastar

Alastar

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: Bita_Azzhr17

Alastar adalah sosok yang terperangkap dalam kisah kelam keluarga yang retak, di mana setiap harinya ia berjuang dengan perasaan hampa dan kecemasan yang datang tanpa bisa dihindari. Kehidupan rumah tangga yang penuh gejolak membuatnya merindukan kedamaian yang jarang datang. Namun, pertemuannya dengan Kayana, seorang gadis yang juga terjerat dalam kebisuan keluarganya yang penuh konflik, mengubah segalanya. Bersama-sama, mereka saling menguatkan, belajar untuk mengatasi luka batin dan trauma yang mengikat mereka, serta mencari cara untuk merangkai kembali harapan dalam hidup yang penuh ketidakpastian. Mereka menyadari bahwa meski keluarga mereka runtuh, mereka berdua masih bisa menciptakan kebahagiaan meski dalam sepi yang menyakitkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bita_Azzhr17, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 33. Alastar dan Perasaannya

Suasana malam itu hening, hanya terdengar suara detak jam dinding yang bergerak pelan. Alastar terbangun dari tiduran yang tak begitu nyenyak di sofa kamarnya. Ponselnya bergetar di meja samping tempat tidurnya.

Suasana malam itu hening, hanya terdengar suara detak jam dinding yang bergerak pelan. Alastar terbangun dari tiduran yang tak begitu nyenyak di sofa kamarnya. Ponselnya bergetar di meja samping tempat tidurnya.Matanya sedikit kabur, namun begitu melihat nama Kayana tertera di layar, ia segera mengambilnya.

“Halo, Star. Lo baik-baik aja kan? Gue khawatir,” suara Kayana terdengar begitu lembut, namun penuh kecemasan. Seolah Kayana merasakan setiap kepanikan yang ada di dalam dirinya. Alastar terdiam sejenak, menenangkan, perasaan kacau yang menyelimuti dirinya berubah tenang kala mendengar suara gadis itu. Sebuah senyum samar terukir di sudut bibirnya.

“Lo dimana sekarang?” suara Kayana melanjutkan, terdengar semakin penuh perhatian.

“Kay, gue dibawa ayah pulang ke rumah,” jawab Alastar, mencoba menenangkan dirinya, meskipun sebenarnya hatinya masih bergejolak. “Gue baik-baik aja.”

“Lo nggak di apa-apain kan? Lo baik-baik aja kan, Star?” tanya Kayana dengan suara cemas, seolah ia bisa merasakan ketegangan di balik kata-kata Alastar.

“Gue baik-baik aja,” jawab Alastar dengan tenang, meskipun dalam hati ia tahu bahwa semua ini belum selesai.

Kayana terdiam sejenak, mungkin mencoba untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa Alastar memang baik-baik saja.

“Syukurlah kalau lo nggak di apa-apain,” kata Kayana akhirnya, dengan nada sedikit lega. Lalu duduk kembali ke meja belajar nya.

Alastar menundukkan kepalanya, matanya menatap kosong ke lantai kamar yang gelap. Kata-kata Kayana terdengar begitu tulus, seakan ia memang peduli padanya dengan seluruh hati.

“Kay…” suara Alastar melunak, namun cukup terdengar oleh Kayana di sisi lain.

“Iya, kenapa, Star?” jawab Kayana, nada suaranya yang lembut itu membuat hati Alastar semakin berat.

“Jangan ninggalin gue ya? Jangan berhenti peduli sama gue,” suara Alastar terdengar lemah tapi tulus, seperti seseorang yang takut kehilangan satu-satunya jangkar yang membuatnya bertahan.

Kayana menghela napas panjang di seberang sana, mencoba menenangkan detak jantungnya yang tiba-tiba tidak karuan. “Lo kenapa tiba-tiba ngomong kayak gitu, Star? Jangan-jangan…” Suaranya menggantung, ragu untuk melanjutkan.

“Jangan-jangan apa?” tanya Alastar dengan nada bingung.

“Lo udah mulai suka sama gue, ya?” Kayana akhirnya melanjutkan, sedikit bergetar, mencoba menutupi harapan kecil yang diam-diam tumbuh di dadanya.

Alastar terdiam. Beberapa detik berlalu dalam hening yang terasa seperti selamanya. Akhirnya, ia menjawab dengan nada datar, “Nggak, Kay… Gue belum suka sama lo. Sorry.”

Kayana tersenyum kecil di seberang telepon, tapi senyum itu tidak pernah sampai ke matanya. Ia terkekeh pelan, tapi terdengar hambar, seperti seseorang yang mencoba menyembunyikan rasa sakit. “Belum, ya? Jadi… kapan?”

Alastar mengernyit, bingung dengan arah pembicaraan. “Kapan apa?”

“Kapan lo bakal suka sama gue?” tanya Kayana, suaranya pelan, hampir berbisik, tapi penuh dengan perasaan yang bercampur antara harapan dan ketakutan.

Alastar menarik napas panjang, mencoba memilih kata-katanya dengan hati-hati. “Kay… Gue nggak tahu. Gue nggak pernah mikirin itu.”

Kayana tertawa kecil, tapi kali ini terdengar lebih getir. “Lo tahu nggak, Star? Gue tuh kayak orang bodoh. Selalu nunggu, selalu peduli, meskipun gue tahu lo mungkin nggak pernah bakal lihat gue kayak gue lihat lo.”

“Kay… Jangan ngomong kayak gitu. Lo itu penting buat gue,” jawab Alastar, suaranya terdengar sedikit gemetar.

“Penting, tapi bukan orang yang lo cinta, kan?” potong Kayana cepat. Ia tidak bermaksud terdengar tajam, tapi kata-kata itu keluar sebelum ia bisa menahannya.

Alastar terdiam lagi. Ia tidak tahu harus berkata apa. Ada sesuatu dalam nada suara Kayana yang membuat dadanya sesak, tapi ia juga tidak bisa memberikan jawaban yang diinginkan gadis itu.

“Lo tahu, Star? Gue nggak butuh lo minta maaf. Gue cuma butuh lo jujur,” Kayana melanjutkan, mencoba menjaga suaranya tetap stabil meskipun hatinya berantakan. “Kalau lo nggak akan pernah suka sama gue, bilang aja. Gue bakal ngerti. Gue nggak akan maksa.”

Alastar menelan ludah, merasa berat untuk mengucapkan kata-kata berikutnya. “Gue nggak tahu, Kay. Gue beneran nggak tahu. Gue takut, gue bingung… Tapi satu hal yang gue tahu, gue nggak mau lo pergi.”

“Lo nggak mau gue pergi, tapi lo juga nggak mau gue tinggal terlalu dekat, kan?” tanya Kayana, suaranya sekarang terdengar lebih pelan, seperti seseorang yang menyerah pada kenyataan.

“Bukan gitu maksud gue…” Alastar mencoba menjelaskan, tapi suaranya terhenti.

Kayana menarik napas panjang, mencoba menahan air matanya. “Nggak apa-apa, Star. Gue ngerti kok. Gue bakal tetap di sini, meskipun cuma jadi teman. Tapi kalau suatu hari gue capek, tolong jangan benci gue karena pergi.”

Alastar merasa seperti ada sesuatu yang runtuh di dalam dirinya. Ia ingin berkata sesuatu, ingin meminta Kayana untuk tidak menyerah, tapi lidahnya kelu. “Kay…” hanya itu yang keluar.

Kayana tersenyum pahit di seberang telepon. “Tidur, Star. Lo butuh istirahat. Gue doain lo selalu baik-baik aja, ya.”

Sebelum Alastar sempat menjawab, sambungan telepon terputus. Ia hanya bisa menatap ponselnya, merasakan perasaan kosong yang tiba-tiba menyerang. Untuk pertama kalinya, ia menyadari bahwa mungkin, ia lebih takut kehilangan Kayana daripada yang pernah ia akui pada dirinya sendiri.

Cahaya matahari pagi menerobos masuk melalui celah-celah gorden kamar Alastar. Namun, suasana kamarnya tetap kelam, mencerminkan suasana hatinya. Alastar bangun dengan kepala berat, mencoba melupakan percakapannya dengan Kayana semalam. Ia duduk di tepi ranjang, menatap pintu kamarnya yang terkunci.

Tok. Tok. Tok.

Ketukan di pintu membuatnya tersentak. Tanpa menunggu izin, pintu terbuka dari luar. Seorang bodyguard masuk membawa seragam sekolahnya.

"Tuan Chairil menyuruh Anda bersiap. Katanya, Anda harus kembali ke sekolah hari ini."

Alastar menatap pria itu dengan dingin, lalu mengambil seragamnya tanpa sepatah kata pun. Setelah bodyguard keluar, ia menggertakkan giginya, frustrasi dengan kenyataan bahwa bahkan kebebasannya untuk memutuskan hal sederhana seperti sekolah pun direnggut.

Ketika ia turun ke ruang makan, ayahnya sudah duduk di sana, menyeruput kopi pagi dengan sikap santai.

"Pagi, Narendra," sapa Chairil dengan nada dingin.

"Aku nggak ada pilihan buat nggak pergi ke sekolah, kan?" balas Alastar sinis.

Ayahnya mengangkat alis. "Benar. Dan pastikan kamu nggak bikin ayah malu lagi. Jangan lupa siapa kamu, dan jangan berani kabur lagi."

Alastar menggertakkan gigi, ingin membalas, tapi ia tahu itu hanya akan memperpanjang drama pagi itu. Tanpa sepatah kata lagi, ia keluar rumah, diantar oleh salah satu sopir keluarga.

****

Kayana duduk bersama Rizka di kantin. Matanya terus melirik ke arah pintu gerbang, menunggu sosok yang semalam memenuhi pikirannya. Ilva mulai mendekatkan dirinya pada Kayana.

"Kay, lo ngeliatin apa sih dari tadi? Jangan-jangan masih mikirin si Alastar, ya?" goda Rizka.

Kayana hanya tersenyum kecil, tidak membantah.

Beberapa menit kemudian, Alastar muncul di gerbang, seragamnya kusut, wajahnya terlihat lelah. Semua orang di kantin langsung memperhatikannya termasuk Barram, Falleo, Alarick, dan Faldo yang duduk tak jauh dari meja Kayana.

"Nah, si anak drama datang," ujar Faldo sambil mengunyah keripik. "Gue yakin tadi pagi di rumahnya pasti ada sinetron."

Barram menyikut Faldo, tapi tidak bisa menahan tawanya. "Lo ini mulutnya emang nggak bisa dijaga."

"Tapi jujur ya, kayaknya dia kelihatan makin kusut dibanding kemarin," tambah Falleo dengan nada serius.

Alastar langsung menuju meja Kayana. Semua pembicaraan di kantin seolah berhenti sejenak. Kayana berdiri, menyambutnya dengan ekspresi tidak seceria biasanya menyambut Alastar.

"Pagi, Kay." sapa Alastar, berdiri di samping Kayana.

Alastar sedikit mendongak, menatap Alastar yang menenteng tas di bahu kanannya. "Pagi." balasnya tidak memberikan ekspresi apapun pada wajahnya.

Rizka menyikut Kayana pelan, memberi isyarat agar memberikan ruang untuk Alastar. Kayana mengerti dan menyuruh Alastar duduk, meskipun hatinya masih penuh kekecewaan.

"Nggak perlu, Kay. Gue duduk di meja mereka aja." Alastar berujar seraya mengarahkan pandangannya pada meja teman-temannya.

"Gue cuma mau memastikan, Lo sarapan pagi dengan baik hari ini." ujarnya tersenyum seraya menyentuh kepala Kayana.

Alastar kemudian bergabung dengan teman-temannya. Ia duduk di samping Barram, yang langsung memukul pelan bahunya.

"Gimana? Drama pagi ini berakhir damai?" tanya Barram sambil tertawa kecil.

Alastar mendengus, tapi tidak membalas.

"Eh, gue serius, Star. Kalau lo butuh tempat buat kabur, bilang aja. Gue punya kamar kosong di rumah," kata Falleo dengan nada serius, meskipun ada senyuman kecil di wajahnya.

Faldo menambahkan, "Atau, kalau lo mau kabur jauh-jauh, kita bisa bikin rencana pelarian. Gue bawa motor, Barram yang cari alasan buat kepala sekolah. Deal?"

Alastar tersenyum kecil mendengar lelucon mereka, meskipun senyum itu tidak bertahan lama. Ia tahu, di balik semua candaan itu, teman-temannya benar-benar peduli padanya.

"Thanks, boy. Gue hargai itu. Tapi untuk sekarang, gue harus bertahan dulu."

Semua teman-temannya mengangguk. Mereka tahu, meskipun Alastar adalah orang yang keras kepala dan sulit terbuka, dia adalah bagian penting dari perkumpulan mereka. Dan mereka akan selalu ada di sana, apapun yang terjadi.

1
lgtfav
👍
lgtfav
Up terus thor
lgtfav
Thor semangat👍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!