Menceritakan perjalanan raja iblis tak terkalahkan yang dulu pernah mengguncang kestabilan tiga alam serta membuat porak-poranda Kekaisaran Surgawi, namun setelah di segel oleh semesta dan mengetahui siapa dia sebenarnya perlahan sosoknya nya menjadi lebih baik. Setelah itu dia membuat Negara di mana semua ras dapat hidup berdampingan dan di cintai rakyat nya.
Selain raja iblis, cerita juga menceritakan perjuangan sosok Ethan Valkrey, pemuda 19 tahun sekaligus pangeran kerajaan Havana yang terlahir tanpa skill namun sangat bijaksana serta jenius, hidup dengan perlakukan berbeda dari ayahnya dan di anggap anak gagal. Meskipun begitu tekadnya untuk menjadi pahlawan terhebat sepanjang masa tak pernah hilang, hingga pada akhirnya dia berhasil membangkitkan skill nya, skill paling mengerikan yang pernah di miliki entitas langit dengan kultivasi tingkat tertinggi.
Keduanya lalu di pertemukan dan sejak saat itu hubungan antara bangsa iblis dan ras dunia semakin damai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NAJIL, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13
Raja Iblis menunduk, diam dalam keheningan. Kata-kata kakek tua mengalir deras di pikirannya, meresap ke dalam jiwa yang selama ini dipenuhi kebencian dan keputusasaan. Ia perlahan menyadari bahwa setiap nasihat yang keluar dari mulut kakek tua bukanlah celaan, melainkan penuntun bagi dirinya—sebuah jalan untuk membebaskan dirinya dari belenggu kebencian yang selama ini menahannya.
“Aku... aku benar-benar telah melampaui batas,” gumam Raja Iblis, suaranya bergetar. “Sekarang aku harus bagaimana? Sebagai perwujudan dari kebencian, aku ditakdirkan untuk menyebarkan kehancuran dan kerusakan. Apa aku punya pilihan lain?”
Kakek tua menatapnya, wajahnya penuh ketenangan. “Tidak ada yang memintamu untuk mengingkari dirimu sendiri. Tetaplah menjadi dirimu, sebagai perwujudan kebencian. Jangan pernah mencoba menjadi orang lain,” katanya dengan nada lembut namun tegas. “Tapi ingatlah ini, Enzo. Perubahan sejati tidak terletak pada apa yang terlihat di luar, melainkan pada hati yang kau bawa. Penampilanmu tidak perlu berubah, tetapi isi hatimu yang harus kau tempa.”
Raja Iblis mendongak kembali, menatap kakek tua dengan sorot mata yang kini berbeda. “Ya, kau benar, Pak Tua. Aku tak perlu melarikan diri dari siapa diriku. Tapi aku bisa belajar... untuk menjadi lebih baik.”
Kakek tua tersenyum, ada rasa bangga dalam sorot matanya. Namun, ia segera memandang tubuh Raja Iblis yang mulai memudar, tanda-tanda tak sanggup menahan tekanan dimensi ini. “Sekarang kita harus pergi. Tubuhmu sudah hampir tidak kuat menahan radiasi antara dua dimensi ini.”
Ia terdiam sejenak sebelum melanjutkan, “Tapi sebelum kita pergi... kau yakin tidak ingin mengucapkan salam perpisahan kepada Dewi Hestia? Ini mungkin satu-satunya kesempatanmu.”
Raja Iblis menatap tubuhnya yang mulai tembus pandang, pikirannya dipenuhi oleh wajah Dewi Hestia yang sedang menari bahagia. Ia menggeleng perlahan, lalu menutup matanya dengan ekspresi penuh tekad. “Tidak... aku tidak pantas mengucapkan sepatah kata pun sebelum aku berubah menjadi sosok yang lebih baik. Aku tak ingin membuatnya kecewa lagi.”
Kakek tua hanya mengangguk pelan, tanpa memaksa. “Baiklah... ayo pergi.”
Mereka berdua lalu meninggalkan Khayangan, meninggalkan Dewi Hestia yang masih menari penuh kebahagiaan bersama para dewi lainnya. Dalam perjalanan kembali, Raja Iblis tak mampu menghilangkan bayangan ibunya dari pikirannya.
Sesampainya di Lembah Adam, Raja Iblis langsung duduk, menatap langit. Pikirannya melayang pada sosok Dewi Hestia. Wajahnya kembali terbayang, senyumnya yang hangat terasa begitu nyata dalam ingatannya. Sebuah senyum yang seolah berkata padanya bahwa segala sesuatunya masih mungkin diperbaiki.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Raja Iblis merasa bahwa ada harapan, meski kecil. Sebuah harapan untuk suatu hari bisa bertemu kembali dengan maha dewi, bukan sebagai sosok kehancuran, tetapi sebagai seseorang yang akhirnya membawa perdamaian tiga alam. Persis seperti mimpi yang dia Inginkan.
“Kebencian adalah sifat alami makhluk. Tapi walaupun kau terlahir dari kebencian, itu tidak berarti kau harus menjadi jahat,” ujar kakek tua, pandangannya menatap langit di iringi senyum. Suaranya tenang, penuh kebijaksanaan. “Hiduplah dalam kebahagiaan. Ingat, kebahagiaan itu adalah pilihan.”
Raja Iblis, yang duduk di sampingnya, terdiam sejenak. Kata-kata itu bergema dalam pikirannya, seperti angin lembut yang perlahan menyapu badai di hatinya. Pandangannya ikut mengarah ke langit. Untuk pertama kalinya, ia merasa hatinya lebih ringan—bukan oleh kemenangan, tapi oleh pemahaman.
Mereka berdua tampak seperti ayah dan anak. Walau sebelumnya saling berhadapan dalam pertarungan sengit, kini mereka duduk bersama, berbagi momen keheningan yang penuh makna.
Namun, keheningan itu tak berlangsung lama. Raja Iblis tiba-tiba bangkit, senyum lebar menghiasi wajahnya. “Ayo, Pak Tua! Kita lanjutkan pertarungan kita! Kali ini, aku pasti akan menang melawan mu!” teriaknya penuh semangat, pandangannya penuh percaya diri.
Kakek tua tertawa terbahak-bahak, suaranya menggema di lembah Adam. “Ha-ha-ha! Kau memang iblis yang aneh, Enzo. Tapi baiklah, kalau itu maumu!”
“Ha-ha-ha! Jangan menyesal kalau aku menang, Kakek Tua Sialan!”
“Baik, baik. Cepat maju, Enzo!”
Pertarungan kembali dimulai. Kali ini, tidak ada kemarahan, tidak ada dendam. Yang ada hanya semangat dan kegembiraan. Aura Raja Iblis, yang sebelumnya memancarkan kebencian murni dan menghancurkan segala yang disentuhnya, kini terasa berbeda. Ledakan energi yang ia keluarkan tidak lagi membawa kehancuran, melainkan harmoni.
Senyum lebar terpancar di wajah Raja Iblis saat ia meluncurkan serangan demi serangan. “Pak Tua! Ingat baik-baik! Aku sudah lebih kuat!” serunya dengan nada penuh tawa, serangan-serangannya kini jauh lebih terkontrol.
Kakek tua menghindar dengan mudah, tetap tersenyum santai. “Ha-ha-ha! Kau memang semakin baik, Enzo! Tapi aku masih jauh di atasmu!”
“Bukan berarti aku akan menyerah, Pak Tua!” balas Raja Iblis, lemparannya dihiasi semangat yang tak tergoyahkan.
Aura negatif kebencian yang dulu membalutnya kini telah benar-benar hilang, tergantikan oleh cahaya positif dari kebahagiaan. Setiap gerakan, setiap serangan, bukan lagi berasal dari rasa ingin menghancurkan, melainkan keinginan untuk tumbuh lebih baik.
Tanpa rasa benci ataupun dendam, hanya kesenangan murni dari adu kekuatan yang tulus. Skill tebasan putih miliknya semakin memancar terang, membelah udara dengan keindahan yang memukau.
Ledakan dari setiap pukulan tidak lagi menciptakan kehancuran, melainkan gelombang energi positif yang menenangkan jiwa siapapun yang menyaksikannya.
“Bagus, Enzo!” seru kakek tua, sambil dengan mudah menghindari setiap serangan. “Kau akhirnya menemukan apa artinya bertarung dengan hati yang bersih tanpa mengedepankan kebencian. Tapi ingat, kau belum sepenuhnya memahami seni itu!”
Senyum Raja Iblis, yang kini lebih manusiawi, terus terukir di wajahnya. “Heh, jangan kira aku akan membiarkanmu terus menerus menghindar, kakek tua sialan! Kali ini aku akan membuatmu kewalahan!”
Raja Iblis melompat ke udara, pedang hitam di kedua tangannya memancarkan energi yang saling melengkapi. Dia memutar tubuhnya dengan kecepatan luar biasa, menciptakan pusaran energi yang menggabungkan kedua elemen tersebut.
Serangan ini, yang ia beri nama “Harmoni Langit dan Neraka”, langsung menghantam kakek tua dengan kekuatan besar.
Namun, kakek tua tetap tersenyum. Dengan gerakan lembut, ia mengangkat satu jari, dan seluruh serangan Raja Iblis tertahan seolah-olah menabrak tembok tak kasatmata. “Kau memang semakin kuat! Tapi untuk mengalakanku ini masi belum cukup!"
Raja Iblis terkejut, tapi justru tertawa. “Heh, kau memang sulit dikalahkan, Pak Tua. Tapi aku belum selesai!” Ia kembali melesat, kali ini tanpa senjata, hanya mengandalkan kekuatan murni tubuhnya.
Pertarungan berlangsung sengit, tapi di setiap serangan, ada kebahagiaan yang tulus. Raja Iblis kini bertarung bukan untuk membuktikan kehebatan, melainkan untuk menikmati momen berharga ini bersama seseorang yang ia hormati.
“Ini rasanya... bertarung tanpa kebencian,” pikirnya. “Benar-benar indah.”
Kakek tua mengangguk pelan sambil menangkis serangan berikutnya. “Itulah seni bertarung yang sejati, Enzo. Selamat datang di dunia yang baru.”
Kakek tua tertawa lepas, matanya berbinar melihat transformasi Enzo. “Ha-ha-ha! Kau akhirnya menemukan kedamaianmu!”
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Raja Iblis tidak lagi bertarung untuk membuktikan kekuatannya. Kali ini, ia bertarung untuk merayakan kehidupan—sebuah kehidupan baru yang ia temukan melalui cinta, penerimaan, dan tekad untuk berubah.
Pertarungan itu mencapai puncaknya dengan keindahan yang paradoksal. Dari kejauhan, pertempuran antara Raja Iblis dan kakek tua terlihat lebih seperti tarian surgawi para dewi yang sempurna ketimbang konflik brutal. Setiap gerakan mereka menciptakan kilauan cahaya yang menghiasi langit, seakan semesta sedang merayakan puncak kisah Raja Iblis.
Namun, momen itu segera berubah ketika kakek tua akhirnya mengeluarkan jurus pamungkasnya—Skill Penyegelan Tingkat Semesta. Cahaya dari langit meredup sejenak, hanya untuk digantikan oleh tiang-tiang penyegel raksasa yang menghujani Raja Iblis tanpa ampun. Tiang-tiang itu memancarkan energi semesta yang tak tertandingi, membuat Raja Iblis benar-benar terkunci tanpa celah untuk melarikan diri.
Raja Iblis mencoba melawan. Kekuatannya yang dulu begitu menakutkan tak lagi mampu mengimbangi kekuatan penyegelan ini. Ia hanya bisa menatap kakek tua dengan penuh frustrasi, namun di balik amarahnya, ada penerimaan yang perlahan tumbuh.
“Sialan kau, tua bangka!” teriak Raja Iblis, meskipun ia tahu ini adalah akhirnya.
Kakek tua, tetap tersenyum seperti biasanya, menatap Raja Iblis dengan tatapan yang lebih lembut. “Ha-ha-ha, kau harus mempertanggungjawabkan semua perbuatanmu, Enzo! Ini adalah takdir yang telah kau pilih.”
Tiang-tiang penyegel terus menghujani, semakin memperkuat belenggu di sekitar tubuh Raja Iblis. Ia tak lagi bisa bergerak. Sebuah gerbang dimensi besar mulai terbuka di langit, perlahan menyerap tubuh Raja Iblis yang kini tertutup oleh lapisan segel energi.
Raja Iblis menundukkan kepalanya. “Jadi ini akhirku... Tapi aku tahu, aku layak mendapatkannya.” Sebuah senyum samar muncul di wajahnya, sebuah pengakuan bahwa perjuangannya telah menemukan arti baru.
Kakek tua mendekat, tatapannya penuh hormat. “Ini bukan akhir, Enzo. Ini adalah permulaan. Kau telah belajar bahwa kekuatan sejati bukan untuk menghancurkan, tapi untuk mencintai.”
Raja Iblis menatap kakek tua untuk terakhir kalinya, suaranya lirih namun penuh rasa ingin tahu. “Sebelum aku benar-benar hilang... Siapa sebenarnya kau, kakek tua bangka?”
Kakek tua mengangkat tangannya, tiang penyegel terbesar turun dengan gemuruh dahsyat, mengakhiri segalanya. Sebuah suara lembut namun penuh kekuatan terdengar, menggema di seluruh dimensi:
“Aku adalah Semesta.”
Dengan itu, Raja Iblis, sosok yang pernah menjadi simbol kebencian dan kehancuran, disegel ke dalam dimensi lain. Kutukannya yang selama ini merasuki tiga alam perlahan memudar. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, teror Raja Iblis Zhask Agung telah berakhir.
Langit kembali tenang, dan kilauan dunia seakan-akan menyaksikan kemenangan. Tapi jauh di dalam kegelapan dimensi penyegelan, tersimpan harapan baru—bahwa mungkin, suatu saat nanti, Raja Iblis akan kembali sebagai sosok yang benar-benar baru.