~MEMBALAS DENDAM PADA SUAMI, SELINGKUHAN, DAN MERTUA MANIPULATIF~
Mayang Jianasari—wanita bertubuh gendut kaya raya—menjadi istri penurut selama setahun belakangan ini, meski dia diperlakukan seperti pembantu, dicaci maki karena tubuh gendutnya, bahkan suaminya diam-diam berselingkuh dan hampir menguras habis semua harta kekayaannya.
Lebih buruk, Suami Mayang bersekongkol dengan orang kepercayaannya untuk memuluskan rencananya.
Beruntung, Mayang mengetahui kebusukan suami dan mertuanya yang memang hanya mengincar hartanya saja lebih awal, sehingga ia bisa menyelamatkan sebagian aset yang tersisa. Sejak saat itu Mayang bertekad akan balas dendam pada semua orang yang telah menginjaknya selama ini.
"Aku akan membalas apa yang telah kau lakukan padaku, Mas!" geram Mayang saat melihat Ferdi bertemu dengan beberapa orang yang akan membeli tanah dan restoran miliknya.
Mayang yang lemah dan mudah dimanfaatkan telah mati, yang ada hanya Mayang yang kuat dan siap membalas dendam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon misshel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mulai Muak
"Kamu kenapa, Le?" Ferdi terkejut bukan main saat melihat Lea kacau lagi. Barang-barangnya berantakan dan rusak. Lea habis mengamuk lagi, pikir Ferdi. Kesehatan mental kekasihnya itu benar-benar terganggu. Apa Lea menjadi kurang waras karena ketahuan oleh Mayang?
"Mayang datang, Mas ... dia ambil rekeningku, kunci motor, perhiasan, dan uang tunai yang akan aku pakai buat bayar pelunasan mobil, Mas." Lea menubruk Ferdi dengan tubuhnya yang polos. Lantas, ia menarik tangan Ferdi yang masih bengong ke arah lacinya. "Itu lihat, Mas ... dia menumpahkan isi tasku, mengambil emasku disana," tunjuk Lea pada tempat dimana ia menyimpan barang berharganya.
Astaga, pintu membuka, ngamuk ngga pakai baju, berhalusinasi pula. Manalah mungkin, ditinggal ambil mobil sebentar, terus Mayang melakukan perampokan sebesar itu? Lagian bagi Mayang, jumlah itu pasti kecil dibandingkan surat tanah yang masih tersisa di laci. Tidak mungkin pula, dia tidak berpapasan dengan Mayang di depan tadi. Tak sampai lima belas menit Ferdi keluar, sebab ia mengaku membeli rokok di warung pada tukang cuci, demi perasaan penuh yang tak bisa lagi ditahannya lebih lama. Bahkan ia masih ada lembur, tetapi ia menyempatkan diri melampiaskan itu pada kekasihnya ini.
"Mas, ambil kembali uang kita, kita akan pakai uang itu buat beli tanah, kan? Rekeningnya ada ditas istrimu, coba nanti kamu periksa. Dan, aku ndak mungkin dampingi kamu tanpa emas-emas itu, bisa gagal dihormati kita, Mas!" rajuk Lea lagi di lengan Ferdi. Mata sendu itu tampak lain di pandangan Ferdi. Mungkin Lea sedang mengada-ada, mungkin Lea tidak ingin berbagi lagi dengannya. Menguasainya seorang diri.
Tapi, ini agak mustahil. Tidak mungkin Lea menghianati rencananya sendiri. Entahlah, yang pasti aneh ketika Lea bilang, Mayang mencecarnya setiap hari. Mayang itu mudah down dan menangis kalau ada masalah walau masalah itu hanya sebesar kerikil, ini kan masalah besar dan serius, manamungkin Mayang akan tampak tenang? Di rumah, Mayang juga tampak biasa saja, terkesan tidak peduli, meski agak judes. Mayang akan punya masa dimana dia sangat mudah marah dan sensitif bila tamu bulanannya datang.
Siapa yang bersandiwara di sini? Entahlah, Ferdi bingung sendiri. Yang pasti dia harus memastikan semuanya terlebih dahulu. Besar kemungkinan Lea yang bersandiwara, tapi tidak mustahil juga, itu adalah ulah Mayang yang sedang melakukan pembalasan. Meski sementara ini, hanya pada Lea, sementara hidupnya baik-baik saja. Untuk saat ini, lebih baik diam saja dan bersikap seperti biasa.
"Iya, Mas akan periksa tas Mayang dan mengambil barang milik kamu," ucap Ferdi lembut seraya menatap wajah Lea. "Sekarang, kamu mandi, biar Mas rapikan kamar. Atau mau Mas bantu ke kamar mandinya? Gendong depan atau belakang?"
Lea merengut manja, tetapi hatinya senang penuh bunga. "Dia nampar aku juga, Mas ... ini sampai perih. Terus jatohin aku juga, sampai badanku sakit semua. Aku mau digendong, dimandiin, trus disayang sore ini," katanya merajuk. Menggelayutkan tangan di leher Ferdi, menempelkan kepalanya di dada.
Ferdi menarik manik matanya ke atas, jengah dengan sikap manja Lea yang malah lebih parah dari Mayang. Dia benci sifat wanita yang satu itu. Baginya, wanita harus kuat dan tegar. Lincah dan menggairahkan. Ini! Mirip sekali sama orang penyakitan.
Kendatipun demikian, Ferdi tetap bangkit dan melakukan apa yang Lea pinta, dengan senyum terpaksakan.
Usai memandikan dan mendandani Lea, Ferdi membersihkan kamar itu sampai rapi, kemudian pamit kembali ke kantor untuk lembur sampai jam sembilan malam.
Rumah sudah tampak sepi ketika Ferdi sampai rumah, hanya televisi yang dihadapi dengan angkuh oleh ibunya.
"Sudah pulang, kamu, Fer?" tanya Marini usai melirik Ferdi seolah Ferdi telah melakukan kesalahan besar pada sang ibu.
Ferdi menghela napas dan mengambil posisi duduk di sebelah ibunya. Aroma mengadu tercium jelas di mata Ferdi. "Ada masalah apa lagi, Bu?"
"Istrimu itu makin kurang ajar!" cetus Marini bahkan sebelum Ferdi menyelesaikan kalimatnya.
Sudah Ferdi duga.
"Dia ndak nyediain makan siang dan malam dua hari ini. Lalu, dia permalukan Ibuk di depan teman-teman Ibuk, waktu makan di restonya. Masa Ibuk di suruh bayar? Kan itu resto mantu Ibuk. Ndak lucu, kan?" serunya menggebu. "Itu pasti kerjaan Mayang, dia yang nyuruh kasirnya buat nagih ke Ibuk. Alasannya Mayang saja bayar meski makanan itu buat Ibuk."
Ferdi membuang napas, "wajarlah, Buk ... kan itu masuk ke pembukuan Mayang."
"Opo? Wajar?" interupsi Marini seraya mendelik. "Kamu pikir Ibuk ndak paham soal pembukuan, opo? Iya, memang di catat apa yang sudah dihidangkan, tapi kan begitu tau itu Ibuk dan teman-teman, harusnya kan tidak usah ditagih. Memalukan! Padahal Ibuk sudah baik-baikin Mayang di depan mereka, malah dia nyoreng mukanya sendiri." Marini muntab.
Ferdi hanya bisa menarik napas panjang, kupingnya pengang dan berdenging. "Memangnya Ibuk dengar sendiri Mayang nyuruh kasirnya buat nagih ke Ibuk? Enggak, kan?"
"Ya ndak juga, sih ...." Marini berkata lirih. Amarahnya memudar, sedikit malu. Ia baru ingat kalau Mayang sedang tidak ada di tempat. Dan karyawan itu pasti belum tahu atau mendapat perintah langsung dari Mayang untuk selalu menggratiskan dirinya.
Marini menunduk, Ferdi lega.
"Jadi ... Mayang tidak salah apa-apa, Buk. Ibuk hanya menduga," putus Ferdi. Ibu-ibu tua selalu saja berprasangka buruk.
"Ya-ya ... tapi, Mayang sedikit ngelawan Ibuk, kan, Le," kata Marini sedikit mendayu. Mencoba tetap terlihat dialah yang benar.
"Itu karena Ibuk yang suka nekan Mayang. Makanya, baik-baik dan sabar sama dia. Manjakan dia, kita ini hidup yang nanggung dia, Buk. Ingat itu!" Ferdi beranjak melangkah ke kamarnya, mengabaikan Ibunya yang melongo.
Marini menangis dalam hati. Membenarkan semua ucapan itu. "Itu benar sekali. Tanpa Mayang, aku pasti ndak bisa naik mobil mewah, pamer emas dan baju-baju mahal, makan enak, nraktir teman. Huhuhu, seumur hidup, baru kali ini aku dihormati dan dipandang layak."
*
*
*
*
Marini oh Marini😄