NovelToon NovelToon
Sekeping Rasa Yang Tersembunyi

Sekeping Rasa Yang Tersembunyi

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Kisah cinta masa kecil / Diam-Diam Cinta / Cinta Murni / Enemy to Lovers / Rebirth For Love
Popularitas:550
Nilai: 5
Nama Author: Skyler Austin

Aruna dan Nathan adalah dua sahabat yang udah saling kenal sejak kecil. Hubungan mereka simpel banget, selalu saling mendukung tanpa drama. Tapi, ada satu rahasia besar yang disimpan Aruna: dia udah naksir Nathan selama bertahun-tahun.

Waktu Nathan mulai pacaran sama orang lain, hati Aruna mulai goyah. Dia harus pilih, terus memendam perasaan atau nekat bilang dan mungkin merusak persahabatan mereka. Sementara itu, Nathan juga ngerasa ada yang aneh, tapi dia nggak ngerti apa yang sebenarnya terjadi.

Lama-lama, beberapa kejadian kecil mulai mengungkap perasaan mereka yang selama ini tertahan. Sampai suatu hari, di tengah hujan deras, momen itu datang dan semua jadi jelas. Tapi, apakah cinta yang lama dipendam ini bakal jadi awal yang baru, atau malah jadi akhir dari segalanya?

Sekeping Rasa yang Tersembunyi adalah cerita tentang berani menghadapi perasaan, kehilangan, dan keindahan cinta yang tumbuh diam-diam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Skyler Austin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Di Persimpangan Hati

Hari itu terasa berat banget buat gue. Setelah perbincangan gue sama Nathan kemarin, pikiran gue jadi makin kacau. Gue nggak tahu apa yang harus gue lakuin selanjutnya. Gue nggak pernah ngerasa sebingung ini sebelumnya. Keira, Nathan, gue—semuanya kayak bercampur jadi satu.

Gue berusaha fokus kerja, tapi mata gue nggak bisa berhenti ngelirik handphone, nunggu pesan dari Nathan. Gue tahu, seharusnya gue nggak boleh terus-terusan berharap, tapi rasanya nggak bisa langsung berhenti juga. Di satu sisi, gue merasa bersalah sama Keira, tapi di sisi lain, gue nggak bisa menahan apa yang ada di hati gue.

Saat gue lagi ngelamun, tiba-tiba ada yang ngedorong kursi gue. “Eh, Aruna, lo lagi ngelamun? Dari tadi ngelakuin kerjaan dengan muka kayak orang habis ditinggal pacar,” kata Nadira, sahabat dekat gue. Nadira udah kayak saudara sendiri, selalu bisa bikin gue ketawa dan lupa soal masalah.

Gue cuma tersenyum miris. “Lo juga, ya. Ngerusak mood aja lo,” jawab gue sambil ngebenerin tumpukan dokumen di meja.

Nadira ngangkat alis. “Gue tahu banget lo lagi mikirin Nathan kan? Gue denger kabar lo udah ngomong jujur ke dia. Lo yakin udah siap sama resikonya?” tanya Nadira sambil duduk di samping gue.

Gue menatapnya dengan tatapan lelah. “Gue nggak tahu, Dir. Itu semua jadi lebih rumit dari yang gue kira. Gue nggak mau ngerusak hubungan lo sama Keira, dan gue juga nggak mau Nathan ngerasa gue udah ngelampaui batas sahabatan kami,” jawab gue dengan nada sedikit putus asa.

Nadira cuma ngangguk. “Gue ngerti perasaan lo, tapi kadang lo harus berani ngambil risiko, Aruna. Lo nggak akan tahu kalau lo nggak coba. Jangan biarin perasaan itu terus nangkring di dalam diri lo,” katanya dengan bijak.

Gue cuma bisa diam, mencoba mencerna kata-katanya. Tapi yang gue tahu, hati gue udah terlalu berat buat dipikul sendirian.

Setelah beberapa saat hening, Nadira lanjut ngomong. “Lo tahu kan, kalau gue selalu di sini buat lo? Gue nggak peduli apa yang lo pilih, yang penting lo bahagia. Jangan biarin orang lain nentuin hidup lo.”

Kata-kata Nadira mengingatkan gue tentang hal yang sering Ibu Aruna bilang. Bahwa gue harus bisa pilih jalan gue sendiri. Tapi, gimana kalau jalan yang gue pilih itu malah ngerusak semuanya?

Gue memutuskan untuk keluar sejenak, biar otak gue bisa lebih fresh. Gue ambil tas, lalu berjalan keluar dari kantor. Kafe favorit gue selalu jadi tempat yang paling tenang buat mikir.

Sesampainya di sana, gue langsung pesan kopi hitam tanpa gula, favorit gue kalau lagi pengen sendiri. Gue duduk di pojokan kafe, sambil menatap keluar jendela, memperhatikan orang-orang yang lewat.

Tiba-tiba, handphone gue bergetar. Gue ngeliat ada pesan dari Nathan.

“Aruna, bisa kita bicara lagi? Gue butuh waktu buat jelasin semuanya.”

Hati gue langsung deg-degan. Gue tahu ini adalah kesempatan buat ngobrol lagi, buat mencari tahu apa yang sebenarnya ada di hati Nathan. Gue balas pesan itu.

“Kapan?”

Beberapa detik kemudian, Nathan bales.

“Sekarang, bisa ketemu?”

Gue baca pesan itu sambil tarik napas panjang. Gue udah siap dengan apa pun yang akan dia katakan, tapi hati gue nggak bisa bohong. Gue masih berharap, meskipun rasanya sangat berat.

Gue segera keluar dari kafe dan pergi ke tempat yang kita janjikan. Gue nggak tahu apa yang bakal terjadi nanti, tapi yang jelas, gue nggak bisa lagi sembunyiin perasaan gue.

Gue nyampe di tempat yang udah kita janjikan. Tempat ini, sebuah taman kecil di pinggir kota, jadi tempat yang sering gue dan Nathan datengin buat ngobrol santai. Suasana sepi, cuma ada beberapa orang yang lagi jalan-jalan atau duduk-duduk di bangku taman.

Gue duduk di bangku yang udah kita pilih sebelumnya, sambil ngeliat sekitar. Beberapa detik kemudian, gue liat sosok Nathan yang berjalan ke arah gue. Dia pake kaos hitam dan celana jeans biasa, tapi ada sesuatu yang beda di wajahnya. Kayak ada beban yang lagi dia pikirin.

“Lo udah datang duluan?” Nathan nanya sambil duduk di sebelah gue. Suaranya agak datar, tapi gue bisa denger ada kecemasan di dalamnya.

Gue cuma mengangguk, nggak langsung jawab. Gue sibuk mikir, apa yang sebenarnya Nathan mau bicarakan. Ini udah kesekian kalinya gue nunggu penjelasan dari dia, tapi rasanya masih ada keraguan di hati gue.

“Gue nggak tahu harus mulai dari mana, Aruna,” kata Nathan akhirnya, suaranya agak berat. “Tapi gue cuma mau lo tahu… Gue nggak pernah nyangka kalau semuanya bakal jadi begini.”

Gue menatapnya serius. “Begini gimana, Nathan?” Tanya gue, meskipun gue udah punya firasat buruk.

Nathan nyedetin napas, kemudian menghadap gue. “Gue nggak mau ngelakuin sesuatu yang bisa bikin lo sakit hati. Tapi… gue rasa gue punya perasaan lebih dari sekadar sahabat buat lo,” katanya pelan, tapi jelas.

Hati gue langsung berdebar kencang. Apa yang gue denger ini benar? Apa Nathan bilang kalau dia juga punya perasaan yang sama?

“Lo serius?” Gue nanya dengan suara tercekat. Ini sesuatu yang gue tunggu-tunggu, tapi kenapa rasanya lebih berat dari yang gue bayangkan?

Nathan menggigit bibir bawahnya, tampak ragu. “Iya, gue serius. Tapi gue juga nggak bisa ngabaikan kenyataan bahwa gue punya Keira sekarang.”

Gue ngerasa kayak ada yang pecah di dalam diri gue. Perasaan yang selama ini gue pendem tiba-tiba meledak, kayak bom waktu yang nggak bisa gue tahan lagi.

Gue tarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. “Jadi lo ngomong gitu, karena lo ngerasa nggak bisa ninggalin Keira, kan?” gue jawab dengan suara yang lebih tenang daripada yang gue rasakan.

Nathan ngangguk pelan. “Gue nggak mau jadi orang yang jahat, Aruna. Keira juga punya perasaan, dan gue nggak mau ngancurin hubungan gue sama dia. Tapi di sisi lain, gue juga nggak bisa nolak perasaan gue ke lo.”

Gue merasakan sesuatu yang berat di dada gue. Gue nggak tahu harus merasa bahagia atau justru malah lebih bingung. Gue pengen banget bilang kalau gue ngerasa sama, tapi gue juga nggak mau jadi penghalang buat Nathan dan Keira.

“Jadi gimana, Nathan?” Gue akhirnya nanya, suaranya hampir tak terdengar. “Apa yang lo harap dari gue?”

Nathan ngerespon dengan pelan, “Gue nggak tahu, Aruna. Gue cuma pengen lo tahu apa yang gue rasain. Dan gue nggak mau ada yang tertinggal tanpa penjelasan.”

Gue ngerasa lemas, kayak semua energi gue hilang dalam sekejap. “Lo harus pilih, Nathan,” kata gue akhirnya, suara gue serak. “Lo nggak bisa jalan di dua jalan yang beda.”

Nathan terlihat cemas, matanya gak bisa ngeliat gue langsung. “Gue… gue nggak tahu apa yang harus gue pilih, Aruna. Keira itu… dia penting buat gue. Tapi lo juga penting. Gue nggak mau nyakitin siapa pun.”

Ada jeda panjang antara kami berdua. Gue bisa ngerasain betapa beratnya pilihan yang Nathan rasain, tapi gue juga nggak bisa terus-terusan nunggu. Gue harus bisa pilih jalan gue sendiri.

“Lo harus pilih, Nathan,” kata gue lagi, kali ini dengan suara yang lebih tegas. “Gue nggak bisa terus jadi bagian dari ketidakpastian lo.”

Nathan mengangguk, tapi wajahnya masih kelihatan bingung. “Lo bener, Aruna. Gue nggak bisa terus begini.”

Gue cuma bisa diam, sambil merasakan perasaan gue yang campur aduk. Ini bukan jalan yang gue inginkan, tapi kadang hidup memang nggak selalu berjalan sesuai harapan.

Suasana di taman itu mulai berubah. Matahari udah mulai tenggelam, meninggalkan langit berwarna oranye yang indah. Gue duduk diem, ngeliatin Nathan yang juga lagi tenggelam dalam pikirannya.

Beberapa menit berlalu sebelum akhirnya Nathan mulai buka mulut lagi. “Gue nggak bisa lo anggap biasa, Aruna. Gue nggak bisa pura-pura nggak ngerasain apa-apa,” kata Nathan, suara dia sekarang lebih lembut, penuh penyesalan.

Gue nyadar banget kalau dia benar-benar bingung. Mungkin dia nggak bisa memilih, atau mungkin dia cuma nggak mau nyakitin siapa-siapa, bahkan kalau itu berarti nggak bisa memilih gue. Tapi gue nggak bisa terus jadi orang yang nunggu.

“Lo nggak bisa kayak gitu, Nathan,” kata gue, suara gue mulai tegas. “Gue nggak bisa terus nunggu jawaban yang nggak jelas. Gue nggak mau jadi penghalang, tapi gue juga nggak bisa jadi pilihan kedua.”

Nathan diem, matanya fokus ke tanah di bawah kaki kita. “Gue nggak pernah mau lo ngerasa kayak gitu, Aruna.”

Senyum kecut keluar dari bibir gue. “Tapi itu yang gue rasain sekarang,” jawab gue, meski gue berusaha tetap tenang. “Lo harus pilih, Nathan. Gue nggak bisa jadi cadangan buat lo.”

Ada keheningan yang berat di antara kita. Gue bisa ngerasain betapa susahnya buat Nathan ngomong sesuatu yang gue tahu dia takutkan. Dia nggak mau kehilangan gue, tapi dia juga nggak mau kehilangan Keira. Dan gue… gue cuma pengen jadi orang yang dipilih, bukan orang yang jadi pilihan kedua.

“Gue nggak tahu apa yang harus gue pilih,” kata Nathan pelan, suaranya hampir bisik. “Tapi satu hal yang gue tahu… Gue nggak mau kehilangan lo, Aruna.”

Gue langsung ngeliatin dia, ngerasa ada sesuatu yang bergerak di hati gue. Tapi sekaligus, gue juga tahu kalau ini nggak semudah itu. Dia udah ada sama Keira, dan lo nggak bisa seenaknya ninggalin orang yang udah lo janjiin.

“Lo harus pilih antara gue dan Keira,” gue bilang, dengan sedikit keberanian yang gue kumpulin. “Jangan terus-terusan jadi orang yang nggak tegas, Nathan. Gue nggak mau hidup di antara ketidakpastian.”

Nathan menunduk, seperti nggak sanggup ngeliat gue. “Gue tahu, Aruna. Tapi gue bener-bener nggak tahu harus gimana.”

Gue menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri meski hati gue lagi kacau. “Gue ngerti kalau ini susah buat lo, tapi lo harus bisa nentuin keputusan. Gue nggak bisa terus-terusan jadi bagian dari keraguan lo.”

Nathan ngerespon dengan suara pelan. “Gue nggak mau kehilangan lo, Aruna. Tapi gue juga nggak bisa ninggalin Keira begitu aja.”

Gue tahu, keputusan itu susah. Tapi gue juga harus menerima kenyataan kalau mungkin, gue bukan orang yang Nathan pilih. Mungkin saat ini, Keira adalah pilihannya. Gue cuma berharap dia bisa nemuin apa yang dia cari.

“Gue nggak akan nunggu terus, Nathan,” gue bilang dengan suara pelan. “Kalau lo akhirnya pilih Keira, gue bakal ngerti. Tapi gue juga harus pergi, dan nyari jalan hidup gue sendiri.”

Gue bisa ngeliat ekspresi Nathan berubah, ada sesuatu yang nyesek di matanya. “Aruna…”

Gue berdiri, ngeliat dia sekali lagi sebelum gue berbalik, berjalan menjauh. Ada sesuatu yang ngerem gue untuk nggak nangis, meskipun perasaan gue sekarang bener-bener sakit. Gue tahu ini adalah keputusan yang harus gue ambil, meski itu terasa berat banget.

Di belakang gue, Nathan tetap diam, nggak nyoba mencegah gue pergi. Gue tahu, kadang cinta itu nggak selalu berarti memiliki. Terkadang, membiarkan orang yang kita sayang untuk bahagia dengan orang lain adalah hal yang paling benar. Dan mungkin, ini adalah saat gue harus melepaskan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!