Anson adalah putra tunggal dari pemilik rumah sakit tempat Aerin bekerja. Mereka bertemu kembali setelah tiga belas tahun. Namun Anson masih membenci Aerin karena dendam masa lalu.
Tapi... Akankah hati lelaki itu tersentuh ketika mengetahui Aerin tidak bahagia? Dan kenapa hatinya ikut terluka saat tanpa sengaja melihat Aerin menangis diam-diam di atap rumah sakit?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mae_jer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
"Bagaimana caramu pulang?"
Anson bertanya. Aerin menatapnya sekilas lalu kembali menghadap depan. Tatapan lelaki itu menusuk langsung ke dalam matanya, membuatnya tidak bisa bernafas dengan baik. Ia akui perasaan yang dulu ia rasakan pada pria itu masih ada, namun ia berusaha menepisnya.
Bagaimanapun lelaki ini membencinya. Tidak ada kemungkinan bagi mereka untuk bersama. Dari dulu Anson selalu memusuhinya, karena menganggap perempuan jahat. Aerin mengatur nafasnya sebentar baru mengangkat suara.
"Aku akan memesan tak ..." sebelum ia meneruskan kata-katanya, tangannya tiba-tiba ditarik begitu saja oleh Anson, jelaslah dia kaget bukan main.
"H ... Hei, kenapa kau menarikku?"
Tak ada jawaban. Anson hanya diam dan terus membawanya entah kemana. Perasaan Aerin tak karuan antara gugup, takut dan bingung.
"Anson, tolong lepaskan aku. Aku harus memesan taksi sekarang." kali ini nada bicara Aerin lebih tegas. Ia sudah sangat lelah seharian dan butuh istirahat supaya bisa ada kekuatan penuh untuk bekerja besok.
Saat pria itu berhenti mendadak, Aerin ikut terhenti dan malah menubruk punggung kokohnya. Tangannya dilepas perlahan oleh pemilik tangan kekar itu. Aerin memberengut dalam hati, bisa kan cara melepas tangannya lebih lembut sedikit. Dasar pria kasar.
Aerin tidak mengerti kenapa ia menyukai lelaki mengesalkan ini. Ia mengusap-usap bagian kepalanya yang masih sakit akibat menabrak badan kekar tadi.
"Masuk." hanya satu kata yang keluar dari mulut pemilik pria berwajah dingin itu. Dan itu bukanlah permintaan, itu terdengar seperti perintah yang harus segera dilakukan.
Aerin belum bergerak dari tempatnya. Ia masih bingung. Matanya memandang berkeliling. Ah, mereka berada di parkiran rupanya. Dan sekarang, Anson sedang menunggu dirinya masuk ke dalam mobil sport milik pria itu yang sudah terbuka pintunya dan ditahan oleh sang pemilik mobil tersebut. Aerin memicingkan mata curiga.
"Kau mau apa?" tanyanya. Karena pikirannya dipenuhi dengan kebencian lelaki itu padanya, ia jadi curiga ketika Anson tiba-tiba melakukan hal seperti ini. Lelaki ini akan mengantarnya pulang? Tidak, sepertinya itu tidak mungkin. Tapi ... Kenapa ia disuruh masuk ke mobil pria tampan ini?
Apa jangan-jangan Anson mau membawanya ke hotel dan memperkosanya? Atau lebih buruknya lagi, laki-laki tampan itu mau melenyapkan dia dari dunia ini? Aerin makin parno.
Di depannya Anson menyeringai karena melihat ekspresinya yang penuh dengan kecurigaan. Tampang gadis itu sangat lucu karena terlihat sangat bodoh dimata Anson. Anson tertawa dalam hati. Baiklah, kalau begitu ia akan bermain-main sebentar dengan gadis ini.
"Kau tahu, maksudku datang ke club tadi untuk mencari seseorang yang bisa melakukan one night stand denganku, sebagai laki-laki normal, aku butuh kepuasan."
Aerin mulai risih dengan arah pembicaraan Anson. Kenapa laki-laki yang pernah sangat dia sukai dulu ini berubah drastis dengan yang dulu? Sekarang dia jadi suka main perempuan?
Lelaki ini mau apa sih, Aerin jadi deg-degan. Apalagi sekarang Anson malah mendekat dan mencondongkan badannya ke wajahnya. Secara refleks gadis itu mundur namun tangan Anson langsung menahan tengkuknya, menatapnya lekat.
"Rencanaku rusak akibat masalah tadi, tapi aku tidak mau rugi, kau saja yang melakukannya denganku." bisiknya serak, lalu menyeringai. Ia melihat Aerin melotot dan cepat-cepat mendorong tubuhnya kuat-kuat.
"Kau gila!" maki gadis itu dan berbalik pergi namun sebelum berhasil Anson sudah menggendong tubuhnya dan memaksanya masuk ke mobil.
Aerin meronta-ronta dan berteriak padanya, memaksa untuk keluar. Sayangnya ia tidak bisa menang dari Anson yang begitu kuat.
Aerin heran karena begitu cepat lelaki itu sudah berada di bangku kemudi dan menahannya yang ingin keluar dengan sebelah tangannya. Ia masih berusaha membuka pintu mobil namun sepertinya Anson sudah mengunci mobil itu secara otomatis hingga ia tidak bisa kabur lagi.
Aerin mendelik tajam ke pria itu, tapi yang ditatap malah terlihat begitu santai mengemudi. Aerin meniup nafas kesal. Astaga, apa yang akan terjadi dengannya? Benarkah Anson serius dengan ucapannya tadi? Apa pria itu akan membawanya ke hotel? Mereka berdua akan melakukan itu? Tidak, tidak. Ia memang masih menyukai pria itu tapi ini tidak benar. Ia selalu menjaga kesuciannya buat seseorang yang sungguh-sungguh mencintainya dengan tulus dan mau menikahinya.
"Kau masih berpikir aku akan membawamu ke hotel dan menyentuhmu?" pertanyaan itu membuyarkan lamunan Aerin. Ia menoleh ke Anson yang fokus menyetir.
"Tidak?"
Lelaki itu menoleh menatapnya sekilas dan mendengus keras.
Anson mendengus keras.
"Kenapa, kau sungguh ingin aku menyentuhmu? Ingin tidur denganku?" pria itu tersenyum remeh.
Aerin terbatuk-batuk. Ia merasa malu, tapi tetap berusaha terlihat biasa saja. Ia tahu sekarang kalau lelaki itu sedang memancingnya. Kau tidak boleh kalah Aerin. Gadis itu lalu tertawa keras.
"Hah, mana mungkin. Aku cukup tahu diri. Mana mungkin aku mau terlibat dengan laki-laki yang membenciku. Lagipula aku sudah bosan berhubungan dengan banyak pria. Mereka semua hanya menginginkan tubuhku. Semua pria sama saja, kan juga begitu kan?" tutur Aerin enteng. Ia tidak melihat buku-buku jari Anson sudah memutih akibat cengkeraman kuat di kemudi setelah mendengar perkataan gadis itu. Lelaki itu tertawa keras.
"Jadi itu alasannya kau mencampakkan pria-pria itu? Karena sudah bosan meniduri mereka?"
Aerin meremas jas Anson yang masih menempel dibadannya dan menunjukkan senyuman lebarnya. Ia tidak boleh lemah dan tidak peduli lagi bagaimana lelaki itu memandangnya, toh dari dulu citranya sudah jelek dihati pria itu.
"Yah, bisa dibilang begitu." balasnya santai. Tiba-tiba mobil itu berhenti mendadak membuat Aerin terhuyung kedepan.
Untung dia memakai seatbelt, kalau tidak ia yakin kepalanya sudah terbentur di dashboard mobil. Matanya melebar menatap Anson yang terlihat biasa saja dan menatapnya datar. Tak ada rasa bersalah sedikitpun.
"Turun." ucap pria itu terkesan dingin. Memang selalu begitu gaya bicaranya dengan Aerin, gadis itu sudah terbiasa. Tapi ...
Turun? Pria ini ingin menurunkannya ditengah jalan begini?
"Kau lupa? Rumahku masih satu blok lagi di depan sana." katanya mengingatkan.
"Aku memang berniat menurunkanmu di sini. Jangan terlalu manja, satu blok itu tidak jauh." balas Anson santai. Aerin membelalakkan mata.
Lelaki itu yang memaksanya naik mobilnya. Seharusnya ia tahu kalau Anson hanya berniat membuatnya emosi. Tanpa mau bicara lagi Aerin bersiap-siap membuka pintu mobil.
"Tunggu!"
Aerin menutup matanya dalam-dalam dan berbalik. Anson betul-betul menguji kesabarannya.
"Apa lagi?" tukasnya menatap pria itu.
"Kembalikan jasku. Aku tidak mau ada gosip baru kalau kau mengembalikannya di rumah sakit."
Mendengar itu, Aerin cepat-cepat membuka jas milik pria itu di badannya lalu keluar sambil menutup pintu mobil dengan kasar. Anson pun langsung pergi meninggalkannya.
Aerin tertawa hambar. Matanya terasa panas. Ia berusaha untuk tidak menangis namun butiran air itu meluncur begitu saja dari matanya. Ia merasa sakit hati. Merasa sangat tidak berdaya. Harusnya ia tidak berharap lebih pada Anson. Laki-laki itu memang sengaja mau mempermainkannya.
Dengan langkah cepat ia berjalan meninggalkan tempat itu. Untung jalanan ini selalu sepi di malam hari. Karena ini kawasan elit, ia juga tidak perlu takut bertemu dengan orang jahat. Segala sudut jalan terdapat CCTV dan didepan tadi sebelum masuk kawasan ini ada empat satpam yang berjaga. Harusnya susah buat pencuri dan orang jahat untuk masuk, mereka harus berpikir dua kali. Karena orang baru dan supir taksi online pun selalu diperiksa dengan ketat kalau mau masuk kawasan itu.
***
Begitu sampai rumah, Anson melempar jas dan kunci mobilnya begitu saja dan membanting dirinya di kasur. Pandangannya menerawang ke langit-langit kamarnya. Padahal ia berniat mengantar Aerin sampai didepan rumah gadis itu tadi, juga berpikir untuk menemui Kyle, kakak kandung Aerin yang merupakan sahabat lamanya.
Tapi pembicaraannya dengan Aerin di mobil tadi membuat mood-nya berubah. Entah kenapa ia merasa sangat marah setelah mendengar kata-kata Aerin tadi. Lupakan gadis itu.
Pikiran Anson berputar ke Kyle. Dulu ia dan pria itu masih saling menghubungi walau dirinya sudah pindah sekolah. Namun semenjak dirinya ke luar negeri, pria itu tidak pernah menghubunginya lagi. Ia cukup penasaran bagaimana kabar Kyle sekarang.
Apakah dia bertanya nomor pria itu pada Aerin saja? tidak, tidak. Tapi hanya gadis itu yang memiliki akses kuat untuk membuatnya bertemu dengan Kyle. Anson mengacak-acak rambutnya kesal. Kenapa sih dia harus terhubung lagi dengan gadis itu?