Balas Dendam Istri Gendut
Brak!
Belum sempat Mayang menyeka keringat dan mengambil napas, dentaman daun pintu mobil berwarna putih itu kembali mengoyak perasaan, sehingga membuat Mayang meringis dan memejamkan mata. Sudah biasa dia mendapatkan perlakuan kasar, tetapi rasanya akhir-akhir ini, hatinya tak lagi mampu menolerir setiap perbuatan kejam ibu mertuanya.
Sekelip kesadaran mulai menghinggapi dirinya. Mayang merasa tidak pantas mendapat perlakuan hina dan direndahkan terus-terusan seperti ini.
"Mau sampai kapan kamu berdiri kaya patung semar kekenyangan seperti itu, ha?" Bentakan Marini—ibu mertua Mayang dari depan pintu rumah, membuat Mayang membuka mata cepat-cepat. Lalu tanpa memandang Marini yang sudah bisa ia tebak bagaimana ekspresinya, Mayang berjalan dengan cepat untuk membuka pintu rumah untuk sang Ibu mertua.
"Semar aja masih sedikit percaya diri ... meski perutnya besar, setidaknya dia berguna. Ngga kaya—"
"Jangan dibentak, Mayangnya, Buk ... kasihan. Dia sudah cukup sakit mendengar omongan sodara-sodara kita tadi," ucap Ferdi yang juga ikut turun demi menyelamatkan istrinya dari kemarahan sang ibu.
Ferdi membantu Mayang membuka kunci rumah, Mayang tampak kesusahan mungkin karena dia terlalu gugup. Ketika Ferdi—sang suami, selalu membelanya, Mayang merasa terlindungi. Hanya itu yang mampu menghibur hati Mayang, hanya kata-kata lembut penuh kasih sayang dari Ferdi yang mampu membuatnya bertahan. Sampai detik ini.
"Bersyukur aku punya kamu, Mas," batin Mayang.
Marini terdengar berdecak, "Sodara Ibuk itu ngomongnya bener, bukan menyakiti siapa-siapa! lagian bener kan? kalau istri kamu ini mandul, rahimnya kebalut lemak. Buntet! makanya susah hamil!" kata wanita enam puluh tahunan yang masih enerjik itu ketus dan keji. Setidaknya, soal mandul itulah yang menjadi topik bahasan adik-adik Marini di acara tadi.
Ferdi sejenak menatap tajam ibunya, mungkin ia merasa kalau perkataan ibunya tidaklah layak diucapkan oleh seseorang yang bergender sama dengan sang istri.
"Kalau enggak, sudah setahun menikah kenapa masih belum hamil juga?" lanjut Marini, mengabaikan tatapan tajam sarat keberatan dari anak lelaki satu-satunya.
"Badan segede gajah gini pasti susah hamil!" Marini melanjutkan, ekor matanya melirik sinis Mayang yang tertunduk. "Duh gusti, dosaku ini opo toh?"
Mayang menghela napas, dadanya sesak. "Bu—"
"Apa?" sahut Marini begitu ketus. Tidak biasanya memang Marini bersikap diluar kendali seperti ini, biasanya ia sangat elegan sekalipun marah. "Mau mbela diri, kamu? Mau bilang apa? Minta ibuk doakan kamu lagi? Doaku ndak nembus di lapisan lemak kamu yang super tebal itu!" sembur Marini dengan tangan mendorong tubuh menantunya itu dari depan pintu yang sudah berhasil di buka.
Marini menatap menantunya yang menunduk dengan napas naik turun. Wanita tua itu terlalu marah dan malu, setelah dijatuhkan sedemikian hebat di acara keluarga besar mereka. Di depan semua orang yang selama ini segan padanya. Harkat dan martabatnya seakan diinjak-injak, hanya karena Mayang.
"Nangis saja terus kamu! Dasar lemah!" sambungnya saat melihat tetes-tetes air mata yang di seka Mayang.
"Ibuk ...," pinta Ferdi dalam nada rendah. "Aku mohon, Bu, jangan begini sama Mayang."
Ferdi berusaha membujuk Ibunya, namun Marini dengan gesit mengelak dan menghadiahi Ferdi dengan tatapan tajam.
"Bela aja terus istri kamu itu, Fer ... bela terus! Biar dia makin ndak tahu diri dan semaunya sama Ibuk!" Mata Marini berpindah dari Ferdi ke Mayang. "Jangan pedulikan perasaan ibu yang melahirkanmu ini, meski baru saja ibu dihujat habis-habisan hanya karena hal sepele dan mudah seperti hamil dan punya anak!"
"Coba saja, istrimu ini ndak egois. Mau rehat sejenak dari usahanya yang tak seberapa itu. Lagian ada Lea yang ngurusin rumah makan, ndak harus tiap hari istrimu itu datang, agar bisa fokus untuk punya momongan. Kaya kerja kantoran aja masuk pagi pulang sore!"
"Malu ibuk sama bulik-bulikmu yang udah punya cucu lebih dari satu, padahal usia ibuk jauh lebih tua dan ibuk ini saudara tertua, harusnya ibuk yang punya cucu paling awal."
Omelan Marini panjang lebar memenuhi telinga Mayang. Sementara Mayang hanya mampu menunduk dengan air mata yang masih berderai-derai.
"Buk, cucu itu bukan soal siapa yang duluan punya, tapi karena kehendak Tuhan. Lagian aku sama Mayang masih mau pacaran. Yang penting adalah lahir batin kami siap jika nanti punya anak. Iya kan, Yang?" Ferdi mencoba menjelaskan. Ia berusaha meredakan ketegangan ini.
Mayang mengangguk ragu, suaranya parau. "Iya, Mas."
"Halah, kamu ini iya-iya aja. Pokoknya ibu ndak peduli, besok kamu ke rumah sakit, periksakan kesuburan kalian berdua—"
"Ibu, udah deh ... jangan maksa Mayang melakukan apa yang dia tid—"
"Baik, Bu ... Mayang akan melakukan apa yang ibuk minta besok." Mayang memungkasi perdebatan sengit ini dengan mengalah. Meski ia cukup risi jika harus melakukan tes kesuburan lagi. Ia merasa sungkan pada sang Dokter yang memeriksanya, karena Mayang dinyatakan subur dan ketika sang Dokter memberikan tips dan saran agar cepat di berikan momongan, Mayang malu sendiri.
Memang salah satu faktor agar mereka segera punya momongan adalah hubungan suami istri harus rutin dan teratur, akan tetapi, Ferdi yang kerap pulang malam dan kelelahan, membuat Mayang tidak sampai hati meminta haknya. Toh, meski jarang, mereka tetap melakukannya. Mungkin benar, mereka hanya belum diberi kepercayaan.
"Bagus!" sahut Marini terlihat puas. "Bagaimanapun kamu itu mantuku, jadi kamu harus nurut apa kata dari ibu suamimu, Yang!"
Mayang membuang napas terlukanya perlahan. Ia tak mau jika sampai ibunya kembali marah karena helaan napas penuh ketidak ikhlasan ini, sampai ke telinga mertuanya.
Mayang mengalihkan perhatiannya keluar, dimana suasana malam yang cukup sejuk ini diharapkan mampu mengusir bayangan kejadian di rumah salah satu adik Marini. Acara pertemuan keluarga besar Marini tadi harus ternoda oleh tindakan kurang menyenangkan dari tuan rumah maupun adik-adik ipar Marini yang lain.
"Mbakyu ini ndak beruntung, punya menantu ndak dianugrahi rahim yang subur."
"Yang subur cuma timbunan lemaknya."
"Hanya karena sedikit memiliki harta, Mbakyu ini mau-mau saja pas diajak besanan."
"Buat dia sih, berkah ... buat Ferdi ya, musibah lah."
"Ferdi ini cakep-cakep matanya kelilipan, makanya mau aja pas dinikahkan sama induk kuda nil."
"Kalau sapi makin bongsor makin mahal harganya, lah kalau wanita, makin bongsor, makin menjijikkan."
Begitulah hinaan yang Mayang dengar di acara tadi. Perkataan dari adik-adik Marini selalu saja sukses membuat Mayang sakit hati. Sangat sakit. Salahnyakah jika ia selalu gagal saat berusaha menurunkan berat badan? Bukan mau Mayang juga ditakdirkan memiliki berat badan berlebihan sejak kecil.
"Yang ...."
Mayang mendongak, tatapannya langsung bersirobok dengan Ferdi. Ia bergegas mengusap air matanya.
"Maaf, Mas ... tadi aku melamun," kata Mayang penuh sesal. Ia melamun sampai tak sadar kalau Marini sudah meninggalkan mereka.
Ferdi tersenyum, "Nggak apa-apa. Mas tau kamu pasti terluka karena ucapan Ibuk dan bulik-bulik tadi."
Mayang tiba-tiba panas dingin karena Ferdi menggenggam tangannya dengan erat. Mata hitam Ferdi menatap Mayang hangat, dan senyum pria itu sungguh menghipnotis seorang Mayang.
"Mas ingin memeluk istri Mas yang sangat pengertian dan baik hati ini." Ferdi memeluk Mayang dengan hangat dan erat.
"Maafkan Mas yang belum bisa bahagiain kamu, membuat kamu selalu kesulitan karena sikap Ibu, dan Mas belum bisa memberikan rumah yang layak buat kamu. Mas mohon maafkan kekurangan suamimu ini, Yang," ucap Ferdi lirih.
Mayang tersenyum di bahu Ferdi, ia cukup merasa tenang dengan elusan di rambutnya. "Iya, Mas. Bagiku memiliki suami sebaik Mas Ferdi sudah lebih dari cukup untuk menghalau kekejamam dunia. Mas ngga perlu merasa bersalah. Aku bahagia selama Mas Ferdi di sisiku."
Ferdi melepas pelukannya, lalu mengusap pipi Mayang. "Ngga usah tes apa-apa, kalau kamu enggan dan risih, Yang. Kita udah tes berkali-kali, mungkin hanya belum rezekinya aja."
"Tapi, bagaimana dengan Ibuk, Mas?" tanya Mayang dengan tatapan ragu.
"Mungkin Ibuk sedang lelah dan sensi, jadi dia marah-marah kaya gitu. Padahal biasanya omongan Bulik-bulik lebih parah dari tadi, kan? Dan Ibuk ngga pernah bereaksi berlebihan, kan?"
Mayang menggeleng.
"Makanya, Yang ... kali ini, kamu juga ngga usah terbebani. Pokoknya kita ndableg aja sama omelan ibuk. Paling besok juga udah lupa kalau kamu beliin Ibuk kain batik baru."
Mayang tersenyum dan mengangguk. Meski hatinya masih belum bisa sepakat dengan Ferdi. Baginya, tadi sudah sangat keterlaluan. Baik Ibu mertuanya, maupun bulik-buliknya.
"Masuk, yuk!" ajak Ferdi yang diangguki Mayang.
Ferdi tersenyum dan hendak mengecup kening Mayang, tetapi urung sebab ada panggilan masuk di handphone Ferdi.
"Eh, kamu masuk duluan, Mas mau angkat telepon dulu."
Mayang tersenyum, lalu mengangguk dan meninggalkan Ferdi yang mulai berbicara dengan lawan bicaranya di seberang sana.
"Bahagiaku cukup kamu, Mas," batin Mayang.
*
*
*
Sodarah, eike ikut even mengubah takdir, ye ... dukung! harus dukung😄 maksa ini mah🤭 dukung aku gratis kok, dapat pahala malah😄
Like, Komen, dan Fave olwes first🤭 besok2 kalau rajin bakal malak gift dan vote🤣
Jangan lupa follow akun ku, ya ... biar dapat notif kalau aku up novel terbaru😍
Cintah banyak-banyak dari Author kelas kemriyik😄
Baca juga ini tetasan emak otor yg lain, yang demen bengek, silakan mampir😁 dijamin bengek sampe ngik-ngik
Dearly
Misshel
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 202 Episodes
Comments
Anonymous
keren
2024-10-26
0
SUTINAH SUTINAH
ceritanya keren.
2024-09-25
0
SUTINAH SUTINAH
ceritanya keren....
2024-09-25
0