NovelToon NovelToon
Ark Of Destiny

Ark Of Destiny

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Mengubah Takdir / Cinta Murni / Romansa
Popularitas:3.2k
Nilai: 5
Nama Author: Antromorphis

"Maka Jika Para Kekasih Sejati Telah Melewatinya, Cinta Tegak Berdiri sebagai Sebuah Hukum Pasti Dalam Takdir."


Sebuah novel yang mengisahkan perjalanan epik seorang pemuda dalam mengarungi samudera kehidupan, menghadirkan Hamzah sebagai tokoh utama yang akan membawa pembaca menyelami kedalaman emosional. Dengan pendalaman karakter yang cermat, alur cerita yang memikat, serta narasi yang kuat, karya ini menjanjikan pengalaman baru yang penuh makna. Rangkaian plot yang disusun bak puzzle, saling terkait dalam satu narasi, menjadikan cerita ini tak hanya menarik, tetapi juga menggugah pemikiran. Melalui setiap liku yang dilalui Hamzah, pembaca diajak untuk memahami arti sejati dari perjuangan dan harapan dalam hidup.


"Ini bukan hanya novel cinta yang menggetarkan, Ini juga sebuah novel pembangun jiwa yang akan membawa pembaca memahami apa arti cinta dan takdir yang sesungguhnya!"

More about me:
Instagram: antromorphis
Tiktok:antromorphis

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Antromorphis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Di Atas Bangku

Malam itu, suasana di Oxford terasa dingin dan sunyi, hanya dipecahkan oleh deru angin yang berhembus lembut. Hamzah duduk di tepi meja kayu, matanya terpaku pada layar ponselnya. Tiba-tiba, suara notifikasi mengalihkan perhatiannya. Ia membuka pesan dari Elizabeth.

“Mmm, nanti malam?” balas Hamzah, menyimpan rasa penasaran di dalam hati.

Dengan cepat, Elizabeth membalas chat tersebut. “Iya, nanti malam. Bisa Zah?” Pesan itu tertera dengan nada yang penuh harapan.

“Memangnya mau kemana, Elizabeth?” tanya Hamzah, rasa ingin tahunya semakin membara. Ia tahu bahwa setiap pertemuan dengan Elizabeth selalu membawa kejutan.

“Nanti kamu juga tahu Zah, bagaimana, bisa?” jawab Elizabeth memaksa, seolah ada sesuatu yang penting yang ingin ia sampaikan.

“Mmm, bagaimana ya...?” Hamzah berpikir sejenak. Rasa penasaran dan keraguan bercampur aduk dalam pikirannya.

“Ayolah, plisss,” tulis Elizabeth memohon. Nada permohonan itu membuat Hamzah merasa tak berdaya untuk menolak.

“Jam berapa Elizabeth?” lanjut Hamzah, mencoba mencari kepastian.

“Nanti jam sembilan Zah,” jawab Elizabeth dengan antusiasme yang tak bisa dipungkiri.

“Mmm, baiklah. Tapi jangan lama-lama ya,” timpal Hamzah, merasakan ketegangan yang tidak biasa.

“Yeayy, terimakasih Hamzah!” jawab Elizabeth senang. Ekspresi kebahagiaan itu seolah melompat keluar dari layar ponsel.

“Baiklah, kalau begitu, aku tunggu nanti di depan apartemen ya,” lanjut Elizabeth dengan semangat yang menggebu.

“Oke,” jawab Hamzah pendek, namun dalam hatinya terbersit pertanyaan besar.

Setelah menutup percakapan, Hamzah meletakkan ponselnya kembali ke meja. Ia menarik napas panjang dan bergumam pada dirinya sendiri, “Ada urusan apa Elizabeth ingin bertemu denganku?” Rasa ingin tahunya semakin mendalam.

“Ah sudahlah,” ia akhirnya memutuskan. “Lebih baik aku segera persiapan.” Dengan tekad baru, Hamzah berdiri dari duduknya dan melangkah menuju dispenser untuk mengambil segelas air. Setelah itu ia melipat sajadahnya dan memasukkannya ke dalam almari. Ketika melihat jam dinding di kamarnya, hatinya berdebar-debar. “Pukul setengah sembilan, sebentar lagi Elizabeth datang,” ucapnya pelan sambil tersenyum tipis.

Hamzah mengambil jaketnya; malam itu Oxford terasa sangat dingin. Setelah mengenakan jaketnya yang hangat, ia meraih tas kecil dan berkata pada dirinya sendiri, “Semua persiapan sudah, aku keluar sekarang.” Sebelum melangkah keluar dari kamar, ia membuka ponsel untuk mengabari Elizabeth. “Hai Elizabeth, aku sudah siap,” tulis Hamzah dengan cepat.

Dia melihat bahwa Elizabeth juga sedang online; pesan balasannya datang secepat kilat. “Sebentar lagi aku sampai Zah, wait.”

“Oke, hati-hati ya Elizabeth,” jawab Hamzah dengan penuh perhatian.

Saat ia melangkah keluar dari kamar menuju pintu apartemen, pikirannya melayang jauh. Apa yang akan terjadi malam ini? Pertemuan ini terasa lebih dari sekadar pertemuan biasa; ada sesuatu yang lebih dalam menanti mereka berdua di bawah sinar bulan yang temaram.

Selepas itu, Hamzah segera keluar dari kamarnya. Sebelum ia melangkah turun, ia memastikan untuk mengunci pintu dengan hati-hati, seolah mengunci semua keraguan dan ketidakpastian yang mungkin mengikutinya. Suara kunci berputar terdengar nyaring di dalam kesunyian apartemen. Saat Hamzah menuruni tangga, langkahnya terhenti sejenak ketika ia berpapasan dengan Rebecca, teman barunya. Senyum hangat Rebecca menyambutnya, seolah sinar matahari pagi yang menembus awan kelabu.

"Hai Kak Hamzah," sapa Rebecca dengan suara ceria yang menggema di lorong.

"Eh, hai," jawab Hamzah, sedikit terkejut namun merasa senang melihat senyumnya.

Rebecca terlihat berpikir sejenak, matanya berkilau penuh rasa ingin tahu. "Rapi sekali, mau ke mana Kak?" tanyanya, nada suaranya menunjukkan perhatian yang tulus.

"Oh, ini, mau keluar dulu," jawab Hamzah sambil menyentuh jaketnya yang tertutup rapi.

"Mau Rebecca temenin Kak? Mumpung Rebecca sedang luang waktunya," tawar Rebecca dengan semangat, seolah-olah hari itu adalah kesempatan emas untuk menghabiskan waktu bersama.

"Tentu saja, kenapa tidak. Mau persiapan dulu, atau langsung jalan?" tanya Hamzah, merasakan kehangatan tawaran itu.

"Aku persiapan dulu Kak, lima menit, sebentar ya," jawab Rebecca sambil berlari menaiki tangga dengan lincah, meninggalkan jejak tawa di udara.

"Aku tunggu di bangku depan apartemen ya," lanjut Hamzah sebelum Rebecca menghilang dari pandangannya.

"Oke Kak," sahut Rebecca yang sudah jauh di atas.

Hamzah kemudian melangkah ke depan apartemen. Begitu pintu terbuka, hawa dingin langsung menusuk kulitnya seperti jarum es. "MasyaAllah, dingin sekali. Walaupun sudah memakai jaket, tapi dinginnya tetap terasa," gumamnya sambil menggosok-gosok tangan untuk menghangatkan diri. Ia berjalan menuju bangku yang terletak tepat di bawah sinar lampu jalanan yang temaram.

Di luar, malam telah menjelang dan bintang-bintang mulai bermunculan satu per satu di langit. Setiap hembusan angin membawa aroma segar dari dedaunan basah dalam balutan embun. Hamzah merenung sejenak; pikirannya melayang pada berbagai hal yang mungkin akan terjadi hari ini. Sambil menunggu Rebecca, ia teringat akan impian-impian kecilnya—pergi ke tempat-tempat baru dan merasakan pengalaman baru..

Beberapa saat kemudian, Elizabeth muncul di ujung jalan setapak, siluetnya terlihat jelas di bawah sinar rembulan yang temaram. Dengan senyuman cerah, ia melambaikan tangan, "Hai Hamzah," sapanya, suaranya penuh keceriaan yang menular.

Hamzah, yang sedang terbenam dalam pikirannya sendiri, tersentak dari lamunan. Ia mengangkat tangan dan membalas lambaian Elizabeth dengan semangat, "Eh hai," jawabnya, meski ada sedikit rasa gugup yang menyelinap di antara kata-katanya.

Elizabeth mendekat, langkahnya ringan dan penuh antusiasme. "Sudah lama menunggu?" tanyanya, matanya berbinar penuh harapan.

"Baru sebentar kok, Elizabeth," timpal Hamzah sambil tersenyum, berusaha menyembunyikan detak jantungnya yang mulai tak teratur.

"Syukurlah, kalau begitu ayo kita segera berangkat," ajak Elizabeth dengan semangat yang tak terbendung.

Namun, Hamzah menahan langkahnya sejenak. "Sebentar Elizabeth, ada yang ingin ikut," ucapnya pelan, nada suaranya berubah menjadi lebih serius.

Ekspresi Elizabeth seketika berubah. Raut wajahnya menunjukkan ketidakpuasan yang mendalam. "Hah? Memangnya siapa Zah?" tanyanya dengan dahi berkerut, menandakan bahwa ia merasa ada sesuatu yang tidak beres.

"Tadi sewaktu aku menuruni tangga, kebetulan aku berpapasan dengan Rebecca. Dia bertanya kepadaku mau kemana," jawab Hamzah polos, seolah tidak menyadari dampak dari ucapannya.

"Aku bilang jika mau keluar. Lalu Rebecca menawarkan diri untuk menemani ku," lanjut Hamzah dengan nada ringan, berusaha mengabaikan ketegangan yang mulai menyelimuti suasana.

"Lalu kamu jawab bagaimana Zah?" sahut Elizabeth, suaranya kini terdengar lebih tegas, seolah mengharapkan jawaban yang bisa meredakan kecemasannya.

"Aku iyakan, hehehe. Memangnya kenapa Elizabeth? Kalau ramai kan lebih seru," jawab Hamzah dengan nada menggoda, mencoba meredakan ketegangan di antara mereka.

Elizabeth menghela napas panjang. "Ya memang benar kalau ramai lebih seru, tapi kan—" Ia terdiam sejenak, mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan perasaannya.

"Tapi apa Elizabeth?" tanya Hamzah penasaran, matanya menatap dalam ke dalam mata Elizabeth.

"Ah sudahlah, lupakan Zah," sahut Elizabeth akhirnya sambil duduk di samping Hamzah. Ada kesedihan samar di matanya yang tidak bisa disembunyikan.

"Dia masih lama?" ucap Elizabeth sedikit kesal, nada suaranya mencerminkan kekhawatiran yang mendalam.

"Kurang tahu Liz, paling sebentar lagi dia datang," timpal Hamzah dengan nada tenang. Ia berharap bisa menghibur Elizabeth meski hatinya sendiri dipenuhi keraguan.

"Oke," lanjut Elizabeth pendek, tetapi ada keraguan dalam suaranya yang tak bisa ia sembunyikan.

Keduanya terdiam sejenak, membiarkan angin sore berbisik di antara mereka. Dalam keheningan itu, masing-masing merasakan ketegangan dan harapan akan perjalanan yang baru saja dimulai—sebuah perjalanan yang mungkin akan mengubah segalanya.

Malam itu, bulan tampak bersinar terang, memancarkan cahaya lembut yang menerangi seluruh sudut kota Oxford. Hamzah, dengan jari-jarinya yang dingin terlipat di saku jaketnya, memandangi jalanan yang ramai. Meskipun hawa dingin menerpa wajahnya, semangatnya tak pudar. Di sekelilingnya, orang-orang berlalu-lalang, menambah hiruk-pikuk malam yang seolah tak pernah berhenti.

***

"Kita mau ke mana, Elizabeth?" tanya Hamzah, rasa penasaran menggelora di dalam hatinya. Suara angin malam seakan menambah ketegangan dalam pertanyaannya.

"Ada deh, nanti kamu juga tahu, Zah," jawab Elizabeth dengan senyuman misterius yang menghiasi wajahnya. Matanya berkilau penuh rahasia, seolah menyimpan cerita menarik di balik rencana malam ini.

"Pokoknya nanti aku tidak bisa lama-lama," lanjut Hamzah, sedikit cemas. Dia tahu betul waktu adalah hal yang berharga, terutama saat malam mulai larut.

"Iya, tapi memangnya kenapa kalau lama?" tanya Elizabeth sambil melangkah mantap, seolah menantang ketakutan yang menggelayuti Hamzah. Dia tidak mengerti mengapa temannya itu begitu khawatir.

"Ya pada dasarnya kamu perempuan, kurang etis jika pulang larut malam," sahut Hamzah dengan nada serius. Dalam pikirannya, norma-norma sosial seakan membayangi langkahnya.

Elizabeth tertawa lepas, "Hahaha." Suaranya melengking merdu di tengah kesunyian malam.

"Kok kamu tertawa?" timpal Hamzah dengan bingung, merasa ada yang aneh dengan reaksi Elizabeth.

"Soalnya kamu lucu, hahaha," lanjut Elizabeth sambil menepuk bahu Hamzah dengan lembut. Tawa itu membuat suasana menjadi lebih ringan, meskipun ada ketegangan di antara mereka.

"Maksudnya?" tanya Hamzah dengan alis terangkat. Dia ingin memahami apa yang membuat Elizabeth terhibur.

"Iya, kamu lucu. Di sini walaupun sudah larut pun suasana kota tetap ramai, Zah. Pasti di tempat asalmu tidak seperti ini ya," jawab Elizabeth dengan nada menggoda. Dia tahu betul bahwa Hamzah berasal dari desa kecil yang tenang.

Hamzah mengangguk perlahan. "Iya Liz, kalau di desaku, jam delapan malam sudah seperti kuburan—sepi banget. Tapi kalau di kota-kota besar, kemungkinan hampir sama dengan suasana di sini." Suaranya mulai melunak saat dia mengenang tempat asalnya.

Dia melanjutkan dengan nada serius, "Walaupun begitu, perempuan kurang baik jika sampai larut malam belum pulang ke rumah."

Elizabeth mendengarkan dengan seksama. "Lagipula," sambung Hamzah lagi, "jika kamu pulang sampai larut, apakah orang tuamu tidak cemas?"

Pertanyaan itu menggantung di udara malam yang dingin. Elizabeth terdiam sejenak sebelum menjawab dengan nada lembut dan penuh pengertian. "Mereka tahu aku bisa menjaga diri."

Dalam momen itu, Hamzah merasakan kedekatan yang lebih dalam antara mereka. Malam yang dingin dan bulan yang bersinar terang seolah menjadi saksi bisu dari percakapan mereka—sebuah perjalanan menuju pemahaman dan kepercayaan satu sama lain di tengah hiruk-pikuk kehidupan kota Oxford yang tak pernah tidur.

Sesaat setelah mendengar ucapan Hamzah yang menyinggung kedua orang tuanya, Elizabeth merasakan seolah dunia sekitarnya mendadak membeku. Senyumnya yang biasanya cerah kini sirna, digantikan oleh kerudung kesedihan yang menyelimuti wajahnya. Dalam hatinya, kenangan tentang masa lalu bergejolak, mengingatkan pada luka yang belum sepenuhnya sembuh.

"Eh, kenapa kamu sedih, Elizabeth?" tanya Hamzah dengan nada penuh kepedulian, matanya menatap dalam-dalam ke arah Elizabeth, berusaha mencari tahu apa yang mengganggu pikirannya.

"Mmm, tidak apa-apa kok, Zah," jawab Elizabeth, berusaha menyembunyikan perasaannya di balik senyuman yang dipaksakan. Namun, senyumnya tak mampu menutupi kedalaman duka yang ia rasakan.

"Apa ada ucapanku yang menyinggung perasaan kamu? Kalau iya, aku sungguh minta maaf atas kelancanganku," lanjut Hamzah dengan nada penuh penyesalan. Ia merasa bersalah, seolah setiap kata yang terucapnya adalah anak panah yang melukai hati Elizabeth.

"Tidak apa-apa, Zah. Sungguh, kamu lelaki yang baik. Sangat sulit mencari laki-laki sebaik kamu," ucap Elizabeth dengan lembut, berusaha meyakinkan Hamzah meski hatinya masih bergetar oleh rasa sakit.

"Serius tidak apa-apa, Elizabeth? Aku sungguh merasa tidak enak sama kamu," sambung Hamzah, keraguan masih menggantung di antara mereka seperti kabut tebal yang enggan menghilang.

"Hamzah... sudah, tidak apa-apa. Jangan merasa bersalah seperti itu. Justru jika kamu seperti ini, aku akan lebih sedih. Jadi sudah ya, jangan merasa bersalah lagi," lanjut Elizabeth dengan suara tenang namun penuh makna. Ia ingin Hamzah tahu bahwa ia menghargai perhatian dan kepeduliannya.

"Iya Elizabeth, terimakasih banyak ya Elizabeth," kata Hamzah dengan nada lega, meski bayang-bayang kesedihan masih menyelimuti hatinya.

Di saat mereka berbincang-bincang dengan penuh emosi yang terpendam, Rebecca tiba-tiba muncul di depan pintu utama apartemen. Malam itu, ia terlihat cantik dengan syal berwarna cream melingkar di lehernya dan jaket hitam yang serasi. Ekspresi wajahnya memancarkan kebahagiaan yang tulus.

Rebecca melihat sekeliling dengan harapan menemukan Hamzah. "Kak Hamzah di mana ya?" gumamnya pelan sambil melirik ke arah tembok.

"Mungkin kak Hamzah sedang duduk di bangku balik tembok itu," pikirnya seraya melirik ke arah bangku tersebut.

Tanpa menunggu lama, Rebecca melangkah cepat menuju bangku. Saat mendekati tembok, ia mulai mendengar suara Hamzah dan seorang wanita sedang mengobrol. Rasa penasaran membakar hatinya untuk mengetahui siapa wanita itu.

Dengan langkah pelan dan hati-hati, Rebecca mengecilkan suara langkah kakinya dan berniat untuk mengintip dari balik tembok. "Kak Hamzah sedang berbicara dengan siapa ya?" gumamnya dalam hati saat ia semakin dekat.

Ketika posisinya sudah tepat di balik Hamzah dan Elizabeth yang duduk berhadapan, ia merasakan ketegangan dalam udara. "Sepertinya aku kenal suara itu," gumam Rebecca sambil mengintip dari balik tembok.

Seketika itu juga, jantungnya berdegup kencang saat melihat sosok Elizabeth di samping Hamzah. "Haaah," ucap Rebecca tanpa suara, terkejut oleh pemandangan yang tak terduga di hadapannya. Ketiga jiwa ini terjebak dalam jalinan emosi yang rumit—cinta, kesedihan, dan harapan—yang saling bertautan dalam malam yang sunyi ini.

...****************...

1
Hana Inumaki
anjayy plot twist banget. kirain mbah dul cuma mbah² biasa, eh malah sultan dianya zzzz
Hana Inumaki
sabar ya om robi. nanti mabar sm aku 🤣🤣
Hana Inumaki
keren sajaknya. mungkin klo dibuatin lagu bakalan lebih indah wkwk
Antromorphis: Makasih banyak yha
total 1 replies
Hana Inumaki
alurnya sangat bagus. tapi masih ada beberapa kata yang kurang sesuai dengan PUEBI. kalo ada waktu di revisi ya kk
Hana Inumaki: udah sih beberapa. btw maaf aku bukan editormu jir
Antromorphis: Engga di benerin sekalian? Btw makasih ya untuk koreksinya🤩
total 2 replies
Antromorphis
Hamzah gugup itu, salting brutal🤣
Hana Inumaki
bukannya segera masuk malah curi² pandang. gimana sii Hamzah?😭
Hana Inumaki
keren banget penyusunan katanya. penulis senior emang gaada obat 👏👏
xloveycious
Tata bahasanya bagus banget.. mantep kak
eterfall studio
keburu telatt
eterfall studio
menarik
Perla_Rose384
Aku tahu pasti thor punya banyak ide kreatif lagi!
Antromorphis: Hehehe, stay tune yha kk, masih banyak misteri di depan sana yang harus kakak pecahkan🙌🏼
total 1 replies
yongobongo11:11
Ga nyangka bisa terkena hook dari karya ini. Jempol atas buat author!
Antromorphis: Hehehe, terimakasih banyak kk, nantikan Bab selanjutnya yha, masih banyak misteri yang harus kakak pecahkan🙌🏼
total 1 replies
Heulwen
Ngerti banget, bro!
Hana Inumaki: maaf mungkin cuman aku. tapi paragrafnya ada yang kepanjangan. jadi agak pusing mataku.
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!