Akademi Debocyle adalah akademi yang paling luas, bahkan luasnya hampir menyamai kota metropolitan. Akademi asrama yang sangat mewah bagaikan surga.
Tahun ini, berita-berita pembunuhan bertebaran dimana-mana. Korban-korban berjatuhan dan ketakutan di masyarakat pun menyebar dan membuat chaos di setiap sudut.
Dan di tahun ini, akademi Debocyle tempatnya anak berbakat kekuatan super disatukan, untuk pertama kalinya terjadi pembunuhan sadis.
Peringatan : Novel ini mengandung adegan kekerasan dan kebrutalan. Kebijakan pembaca diharapkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Garl4doR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14 : Keluar dari Hutan Hitam
"Dia mirip kakakmu, iya kan?" Ujar Gale dari tempat duduknya sambil menggoyang-goyangkan gelas kayu berisi ramuan. "Bukan dari segi wajah, tapi dari sisi lain yang kau sendiri pasti mengerti."
Alvaro hanya membuat dengusan kecil, meski begitu ia mengakui ungkapan Gale tidak sepenuhnya salah. Reyna, kakaknya yang belum kembali dari ekspedisi yang di program akademi. Memang Heather mempunyai beberapa aspek yang mirip dengan Reyna terutama keahliannya sebagai Tamer, penjinak.
Dipertengahan kabin kecil yang terbuat dari kayu, Alvaro berdiri di dekat jendela kecil yang membiarkan secercah udara masuk. Di luar, hutan hitam itu tampak begitu sunyi, tapi Alvaro tahu keheningan itu menyimpan ancaman.
Gale, duduk di kursi tua di sudut ruangan, masih memutar-mutar gelas kayu di tangannya, menyesap sisa ramuan yang disediakan Heather. Ia menatap Alvaro yang tampak termenung.
"Hei," Gale memecah keheningan. "Heather masih di luar sana, kan? Kau tahu, aku benar-benar berharap dia tidak mati di luar sana."
"Dia tidak akan mati," jawab Alvaro singkat, tapi ada kekhawatiran tersirat di balik nada datarnya. "Dia tahu apa yang dia lakukan."
Sore hari di Hutan Hitam terasa ganjil. Matahari hanya tampak sebagai pijar redup yang nyaris tak menembus kanopi pohon-pohon raksasa. Kabut tipis menyelimuti tanah, bercampur dengan bau lembap dedaunan yang membusuk. Di kejauhan, langkah-langkah berat terdengar, bercampur dengan suara geraman pelan anjing-anjing besar yang mengiringi Heather.
Heather muncul dari antara pepohonan dengan wajah dingin dan penuh debu. Tangan kanannya memegang pedang tulang yang masih berlumuran darah hitam pekat, sementara tangan kirinya membawa seekor buruan—makhluk berbulu gelap dengan taring mencuat dari rahangnya. Dua ekor anjing bermata merah mengikutinya dengan langkah tenang, namun penuh kewaspadaan.
Saat memasuki kabinnya, matanya langsung menangkap Alvaro yang berdiri di dekat jendela kabin. Pemuda itu menengok saat mendengar Heather masuk, sikapnya menunjukkan kombinasi antara kepercayaan diri dan kecanggungan. Gale tetap duduk, memandangi Heather dengan ekspresi senang, meskipun matanya menyiratkan kegelisahan.
“Senang melihat kalian,” Heather meletakkan buruan di dekat pintu, lalu mengusap keringat di dahinya. “Aku kira kalian cukup nekat untuk keluar dari hutan ini.”
“Kami butuh kau, Heather,” ujar Alvaro tanpa basa-basi.
Heather mendengus, meletakkan pedangnya di sudut kabin. “Itu jelas. Kalian tidak akan bertahan lebih lama di sini tanpa perlindungan.”
“Kami membutuhkan mantra pelindung dari efek magis hutan,” tambah Gale, suaranya tenang tetapi tegas. “Dan kami butuh kau untuk mengantar kami ke pinggiran hutan. Kami tidak tahu arahnya.”
Heather memutar matanya. “Tentu saja kalian tidak tahu. Hutan ini bukan sekadar kumpulan pohon. Ia hidup. Ia berubah, dan ia tidak menyukai orang asing.”
“Kau tahu kami tidak punya pilihan,” kata Alvaro. “Kami harus keluar dari sini sebelum malam tiba. Apa pun harga yang harus kami bayar, kami siap.”
Heather menatap mereka lama, menganalisis setiap gerakan kecil, setiap ekspresi di wajah mereka. Akhirnya, dia menghela napas. “Kalian tidak akan mampu membayar harga sebenarnya dari bantuan ini, tapi aku akan membimbing kalian."
Untuk alasan yang hanya aku sendiri yang tahu. Batin Heather.
Dia meraih liontin ungu bercahaya dari lehernya dan mulai melafalkan mantra dalam bahasa asing. Suaranya rendah dan ritmis, seperti nyanyian angin yang menggema di antara pepohonan. Cahaya keemasan mulai melingkupi Alvaro dan Gale, hangat tetapi juga menekan, seperti pelukan yang mengingatkan mereka bahwa perlindungan ini memiliki batas.
“Selesai,” katanya, melepaskan liontinnya dan menatap mereka dengan tajam. “Kalian sekarang terlindungi, tetapi hanya jika kalian tetap berada di jalanku. Jika kalian menyimpang—bahkan sedikit saja—hutan ini akan menghancurkan kalian.”
Heather menyimpan buruan yang tadi ia bawa dan menatap Alvaro dan Gale. “Ayo, kita pergi sekarang sebelum hutan berubah pikiran. Jangan bicara, jangan bertanya, dan jangan menatap terlalu lama apa pun yang bergerak.”
Tanpa menunggu jawaban, Heather melangkah masuk ke dalam hutan, diikuti oleh kedua anjingnya. Alvaro dan Gale saling berpandangan sejenak, sebelum akhirnya mengikuti langkahnya dengan hati-hati, sadar bahwa hidup mereka kini sepenuhnya berada di tangan wanita yang belum bisa mereka percayai sepenuhnya.
Langkah-langkah mereka terdengar nyaris tak bergaung, seolah hutan itu sendiri menelan suara. Kabut semakin tebal, dan bayangan-bayangan aneh mulai bermunculan di sudut mata mereka—sesuatu yang tampak seperti tangan, wajah, atau bahkan makhluk kecil yang bergerak cepat. Namun, Heather tidak memperlambat langkahnya. Anjing-anjing di sisinya sesekali menggeram rendah, gigi mereka memperlihatkan bahwa mereka siap menyerang kapan saja.
“Berapa jauh lagi?” Gale bertanya dengan suara yang nyaris berbisik.
Heather menolehkan kepalanya sedikit, cukup untuk menunjukkan ekspresi jengkel. “Aku bilang jangan bicara.”
“Kalau begitu, kenapa kau menjawab?” Gale bergumam pelan, tetapi cukup untuk membuat Alvaro mendengus kecil, setengah kesal, setengah terhibur.
Namun, Heather berhenti mendadak, mengangkat tangannya sebagai isyarat untuk diam. Anjing-anjingnya juga membeku, telinga mereka tegak, mata merah mereka memandangi sesuatu di kejauhan. Alvaro dan Gale berdiri mematung, mengikuti pandangan Heather.
Sebuah suara rendah dan bergetar mulai terdengar dari dalam kabut. Itu bukan suara makhluk biasa—lebih seperti jeritan teredam yang berulang-ulang, menggema dari segala arah. Suara itu semakin mendekat, menekan dada mereka dengan rasa takut yang tidak dapat dijelaskan.
Heather mencabut pedang tulangnya dengan gerakan cepat, dan anjing-anjingnya mulai menggeram keras. “Tetap di belakangku,” katanya pelan tetapi tegas. “Apa pun yang terjadi, jangan lari. Jika kalian lari, kalian tidak akan keluar dari sini hidup-hidup.”
Alvaro merasakan keringat dingin mengalir di pelipisnya, tetapi ia mengangguk. Gale, meskipun wajahnya sedikit pucat, berusaha memasang ekspresi berani.
Dari dalam kabut, sosok itu akhirnya muncul. Makhluk itu tidak sepenuhnya terlihat, tetapi bentuknya cukup untuk membuat bulu kuduk berdiri. Tubuhnya tinggi, kurus, dan bergerak dengan cara yang tidak alami—seolah sendi-sendi tubuhnya tidak bekerja sebagaimana mestinya. Kulitnya berwarna abu-abu pucat, dan matanya... atau lebih tepatnya lubang gelap di tempat matanya seharusnya berada, tampak menatap langsung ke arah mereka.
“Walking Root,” bisik Heather tanpa menoleh. “Mereka bukan makhluk hidup, tetapi hutan itu sendiri. Jika kita bertarung, mereka akan memanggil lebih banyak. Kita harus tetap tenang dan—”
Makhluk itu mengeluarkan suara melengking yang memekakkan telinga, membuat Gale secara refleks mundur satu langkah. Itu cukup untuk memancing perhatian makhluk lain. Dari balik pepohonan, lebih banyak sosok mulai bermunculan, bergerak lambat tetapi pasti mengelilingi mereka.
Heather mendesah dalam hati, mencengkeram pedangnya lebih erat. “Aku bilang jangan lari, tapi sepertinya kalian ingin membuat hal ini lebih menarik.”
Sebelum siapa pun bisa bereaksi, Heather melompat maju, mengayunkan pedangnya dengan kekuatan yang luar biasa. Pedang tulang itu menembus salah satu makhluk, membuatnya meledak menjadi debu hitam. Anjing-anjing Heather melompat bersamaan, menggigit dan mencabik makhluk-makhluk yang mendekat.
“Lari!” teriak Heather tiba-tiba.
“Tadi kau bilang jangan lari!” balas Gale dengan panik, tetapi Heather tidak mendengarkan.
“Sekarang aku bilang lari, jadi lari!”
Alvaro tidak perlu mendengar dua kali. Dia menarik Gale dan mulai berlari mengikuti jalan yang Heather tunjukkan sebelumnya. Mereka berlari menembus kabut, suara langkah kaki mereka bercampur dengan jeritan makhluk-makhluk itu dan geraman anjing Heather.
“Aku tidak suka ini!” Gale berseru di antara napasnya yang terengah-engah.
“Kau pikir aku suka?” balas Alvaro dengan marah, sambil terus memimpin di depan.
Namun, saat mereka berpikir telah cukup jauh, sebuah bayangan besar tiba-tiba muncul di depan mereka. Makhluk itu jauh lebih besar daripada Walking Root lainnya, dengan tubuh yang tampak meleleh dan suara geram yang dalam.
Gale terdiam, wajahnya penuh ketakutan. “Apa... itu?”
Alvaro menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. “Itu berarti kita sangat, sangat salah jalan.”
Makhluk itu melangkah maju, menundukkan kepalanya seolah mengukur mereka. Namun sebelum ia bisa menyerang, sebuah kilatan cahaya melintas dari belakang mereka. Heather melompat dari bayang-bayang, pedangnya berkilau dengan energi asing, dan ia menebas makhluk itu dengan satu serangan kuat.
“Berhenti membuat masalah dan ikuti aku!” katanya sambil mengarahkan pedangnya ke arah lain. “Kita belum selesai.”
Heather melangkah maju, memimpin mereka lebih dalam ke hutan yang terasa semakin hidup dan semakin mematikan. Alvaro dan Gale, meskipun kelelahan, tidak punya pilihan selain mengikutinya, berharap mereka bisa keluar dari mimpi buruk ini sebelum terlambat.