"Kamu harus menikah dengan Seno!"
Alea tetap diam dengan wajah datarnya, ia tidak merespon ucapan pria paruh baya di depannya.
"Kenapa kamu hanya diam Alea Adeeva?"
hardiknya keras.
Alea mendongak. "Lalu aku harus apa selain diam, apa aku punya hak untuk menolak?"
***
Terlahir akibat kesalahan, membuat Alea Adeeva tersisihkan di tengah-tengah keluarga ayah kandungnya, keberadaannya seperti makhluk tak kasat mata dan hanya tampak ketika ia dibutuhkan!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Favreaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 27
"Dasar bodoh, manusia tidak berguna! Tidak becus, rugi aku membayar jasa kalian mahal. Aku hanya minta kalian membuntuti mereka tapi kenapa kalian malah kehilangan jejak!" Nafas Zea terengah-engah setelah meluapkan amarahnya dengan memaki dua pria yang sedang berlutut di lantai.
Kakek Ian yang sedang duduk di sofa pun ekspresinya tak kalah muram. Berbeda dengan Zea yang mengeluarkan emosinya menggebu-gebu Kakek Ian terlihat lebih tenang.
"Kalian berdua pergilah!" titahnya tegas.
"Tidak bisa!" sergah Zea tak terima.
Sedangkan kedua pria itu saling pandang lalu beralih menatap Kakek Ian takut juga ragu. Namun, Kakek Ian memberi kode agar mereka lekas pergi menggunakan kibasan tangannya yang membuat kedua pria itu berdiri dan keluar dengan tergesa-gesa.
"Kakek, mereka tidak boleh pergi sebelum mendapat hukuman!" Zea memandang Kakek Ian tidak setuju.
"Tenang Zea, amarahmu tidak akan bisa menghasilkan apa-apa. Kita harus tenang dan berpikir dengan kepala dingin!"
Zea membuang pandangannya ke arah lain, menghembuskan nafas kasar seraya menyugar rambut panjangnya dengan raut geram serta muram.
"Padahal sedikit lagi, sedikit lagi kita bisa menemukan tempat persembunyian Eyang dan Seno. Jika sudah tahu kita bisa menggagalkan pernikahan Seno dengan gadis itu, sayang sekali mereka tidak becus bekerja dan ceroboh yang membuat mereka kehilangan jejak!" Zea menghempaskan tubuhnya dengan kasar ke sofa sembari terus mengerutu.
"Tidak masalah jika pernikahan mereka tidak gagal. Kita masih bisa menggunakan cara yang lain!" Tatapan Kakek Ian sangat tenang menatap lurus ke depan pada hamparan rumput hijau di pinggiran kolam renang.
"Apa maksud Kakek?"
Kakek Ian mulai menjelaskan sepenggal dari rencananya. "Biarkan mereka menikah, lagi pula mereka menikah secara privat dan kamu tahu apa artinya?" Zea menggeleng bingung.
"Artinya mereka memang tidak ingin publik tahu kalau Seno sudah menikah dan siapa istri pria itu. Selanjutnya tergantung bagaimana kamu bertindak dan memainkan peranmu!"
"Tapi, Kek. Mereka menyebar undangan yang artinya mereka tidak benar-benar menyembunyikan pernikahan Seno!"
"Hanya undangan untuk relasi bisnis yang sangat dekat dengan keluarga Ravindra. Mereka pasti tutup mulut!"
Zea bergeming dan tampak sedang berpikir. Tiba-tiba senyum sangat lebar menghiasi bibirnya, entah apa yang akan gadis itu lakukan karena dirinya juga telah punya rencana sendiri, tapi sepertinya ia juga setuju dengan rencana kakek Ian.
"Kakek benar, aku masih bisa melakukan apapun!" Perasaannya sudah sedikit lega dan berangsur membaik, keinginannya yang menggebu-gebu untuk membatalkan pernikahan Seno sudah mereda.
Malam itu Zea pasrah, tidak lagi mencari tahu dimana keberadaan keluarga Ravindra. Dalam undangan yang tersebar pun tidak tertulis tempat diadakannya acara jadi ia akan bersabar dengan pernikahan yang hanya tersisa enam hari lagi. Ia juga yakin, setelah menikah tidak mungkin mereka terus bersembunyi.
***
Mentari pagi mulai menyingsing mengambil alih tugasnya, menggantikan cahaya bulan yang telah berpindah sinarnya. Matahari mulai meninggi dan cahayanya menerangi sebagian belahan bumi, menjadi penerang untuk orang-orang melakukan aktivitasnya.
Jalanan kota mulai padat dengan berbagai jenis dan model kendaraan yang berlalu lalang juga para pejalan kaki yang memenuhi trotoar jalan tak kalah banyak jumlahnya.
Para pegawai, karyawan, anak sekolah, pekerja serabutan dan para pekerja lain dengan profesi yang berbeda, memenuhi jalanan yang lenggang hingga berubah padat sesak dan berakhir terjadi kemacetan.
Alea masih bergelung dalam selimut ketika suara ketukan pintu mengusik telinganya. Matanya menyipit terbuka secara perlahan menyesuaikan cahaya yang masuk.
Ketukan pintu terdengar lagi beberapa kali lalu hening berganti dengan suara kasak kusuk seperti orang yang tengah berbicara. Alea turun dari ranjang menuju kamar mandi, membasuh wajahnya dan menggosok gigi lalu keluar menuju nakas meraih ponselnya yang berdering.
"Sudah bangun, Sayang?" Suara Eyang Elaine terdengar dari seberang telepon.
"Iya, Eyang!"
"Boleh tolong buka pintunya, Eyang ada di luar."
Alea mengangguk meskipun Eyang tidak melihat, ia lalu berjalan menuju pintu dan membukanya.
Semalam setelah kedatangannya, mereka bercengkrama sebentar lalu Eyang Elaine menyuruhnya beristirahat. Alea hendak menolak tapi Eyang berkata dirinya harus tinggal dan menginap di sini menjelang hari pernikahan, dengan alasan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Alea akhirnya setuju, ia menempati kamar mewah yang cukup luas dengan desain dan furniture yang sangat indah. Fasilitas yang ada di dalam pun membuat Alea terkagum, untuk pertama kalinya selama hidup ia mendatangi tempat seperti ini.
"Eyang mengganggumu?" Eyang tampak merasa bersalah.
Alea menggeleng lalu menelisik dua wanita yang berdiri di belakang Eyang sembari membawa dua buah koper besar di tangannya.
Mengerti arah pandang Alea, Eyang segera menjelaskan. "Oh ini kenalkan, Ana dan Lala pegawai salon langganan Eyang, mereka yang akan melakukan treatment untuk kita mulai hari ini!" jelas Eyang antusias.
Alea sedikit terkejut, tapi ia mengangguk dan mempersilahkan mereka masuk.
"Kamu belum sarapan 'kan?" Eyang menggandeng Alea masuk.
Alea mengangguk. Berinteraksi dengan Eyang, Alea masih sangat irit bicara, padahal Eyang sudah berusaha mendekat.
"Kalau begitu Eyang akan menghubungi layanan kamar dan meminta mereka membawa sarapan ke sini!" Eyang berjalan menuju nakas, meraih gagang telepon lalu menekan beberapa tombol angka dan ketika panggilan tersambung Eyang segera mengatakan kebutuhannya.
Alea mendudukan dirinya di atas ranjang sembari menunggu Eyang selesai dengan teleponnya.
Sedangkan Ana dan Lala terus mengamati penampilan Alea. Dalam benak mereka berdua juga terus bertanya-tanya, siapa sebenarnya wanita yang tengah duduk di atas ranjang, mengapa wanita yang memiliki kelas sosial tinggi seperti Eyang Elaine memperlakukannya dengan sangat baik. Padahal jika ditelisik lagi, penampilan wanita itu sangat biasa bahkan pakaian yang mereka berdua kenakan sehari-hari sepertinya jauh lebih baik.
Namun, mereka berdua tidak berani bertanya dan hanya menyimpan segudang pertanyaan itu dalam hati.
Alea tetap duduk dengan tenang, ia tahu dirinya terus diperhatikan oleh dua wanita yang Eyang perkenalkan sebagai pegawai salon, tapi ia acuh dan tak peduli. Ia tahu, kedua wanita itu pasti sedang menilai penampilan juga siapa dirinya.
"Kalian berdua, ingin sarapan dengan menu apa?" tanya Eyang Elaine tiba-tiba pada Ana dan Lala yang membuat keduanya tersentak gugup dari lamunan.
"Ti-tidak perlu, Eyang. Kami sudah sarapan di salon sebelum pergi!"
"Kalau begitu cemilan saja, ya." Eyang kembali menghubungi layanan kamar dan meminta diantarkan beberapa jenis cemilan dan juga minuman.
Sembari menunggu Alea dan Eyang Elaine menghabiskan sarapan paginya, Ana dan Lala mulai membongkar koper, mengeluarkan produk dan peralatan salon yang akan mereka gunakan hari ini.
"Hari ini kita akan melakukan spa badan!" ungkap Eyang pada Alea saat keduanya selesai menikmati sarapan pagi.
Hanya sarapan ringan, Muffin yang ditemani segelas teh hangat juga buah segar.
"Spa badan?" Alea sedikit terkejut mendengarnya.
"Iya, Eyang mau kamu tampil maksimal di hari pernikahan. Meskipun tamu yang Eyang undang hanya sedikit, tapi tetap saja kamu harus tampil memukau di hadapan para tamu undangan!" jelas Eyang dengan antusias.
Alea ingin sekali menolak karena dirinya tidak nyaman dan tidak terbiasa ada orang lain yang melihat anggota tubuhnya, tapi melihat wajah antusias dan sumringah milik Eyang Elaine, Alea menjadi tidak tega. Penolakan yang hendak ia lontarkan tersangkut di kerongkongan, lidahnya kelu tidak sampai hati meredupkan binar bahagia yang tampak di wajah tua milik Eyang. Pada akhirnya, Alea mengangguk pasrah, menerima pemberian juga menuruti semua permintaan Eyang Elaine.
Ana dan Lala yang tengah duduk sembari menunduk memainkan ponsel, mengangkat wajahnya dengan raut terkejut.
"Dia calon istri cucu satu-satunya keluarga Ravindra?" bisik Ana pada Lala.
Lala mengangguk. "Sepertinya iya, Eyang sendiri yang mengatakan, tidak mungkin kita salah dengar!"
Raut wajah Ana yang sejak tadi ramah berubah sinis, berbisik lagi di telinga Lala dengan suara lirih. "Dari penampilannya aku yakin dia dari keluarga biasa-biasa saja. Tapi kenapa dia bisa menjadi calon menantu keluarga Ravindra, kebetulan yang sangat tidak masuk akal. Pasti dia menjebak Tuan Seno!"
"Huss!" Lala menaruh jari telunjuknya ke atas bibir meminta Ana berhenti berbicara.
"Jangan bicara sembarangan, nanti mereka denger!"
Raut wajah Ana terlihat mencemooh, menatap punggung Alea yang duduk membelakanginya dan sedang bercengkrama dengan Eyang.
"Ana, kamu tangani Alea, ya. Biar Lala sama saya!"
Ana mengangguk terpaksa walau sejujurnya ia malas. Kalau bukan karena Eyang Elaine ia yakin wanita di depannya tidak akan mungkin mampu memesan perawatan mahal seharga puluhan juta di salon kecantikan milik bosnya.
Eyang mengelus rambut Alea. "Selamat bersenang-senang, nikmati dulu kesukaan wanita selain berbelanja. Eyang pergi dulu!"
"Iya, Eyang!"
Eyang mengulum senyum melangkahkan kakinya menghampiri Lala. "Ayo, Lala kita pergi. Kamu harus semangat dan cekatan, Eyang akan memberi rating pekerjaan siapa yang paling memuaskan!"
Lala mengangguk dengan senyum lebar di bibirnya, tetapi tak lama kemudian senyum itu berubah menjadi kebingungan. Eyang tampak sehat dan berjalan menuju ruangan di balik rak.
"Loh, kemana Eyang?" Lala terbengong dan bertanya bingung.
"Kamar sebelah." Eyang membuka pintu penghubung lalu masuk ke kamar sebelah menggunakan pintu itu.
"Aah, ternyata kamar ini jenis kamar yang memiliki connecting room." Lala tercengang sebentar lalu dengan sigap membereskan beberapa perlengkapan yang sudah sempat ia keluarkan dan memasukkannya kembali ke dalam koper.
"Aku kira akan sama-sama di kamar ini."
Lala bergumam pada dirinya sendiri lalu menyusul Eyang dengan menyeret kopernya.
Alea sendiri sedikit terkejut, pasalnya walaupun ia sudah tidur semalaman di sini, ia belum menjelajah isi kamar dan dia tidak tahu jika di sana ada pintu penghubung karena terhalang rak menjulang tinggi yang dijadikan sekat.
Ana tiba-tiba melempar handuk kepada Alea dan mengenai dada gadis itu. Alea yang tidak siap terperanjat kaget dan refleks menangkap dan mendekap handuk itu agar tidak jatuh.
"Sana pakai!" Ana bersidekap menatap Alea sinis.
Alea menghela nafas berusaha bicara baik-baik dengan Ana karena tidak ingin menciptakan permusuhan. "Aku tidak merasa pernah berbuat salah atau punya masalah denganmu karena ini kali. pertama kita bertemu. Jadi tolong bersikaplah yang baik dan menghargai satu sama lain!"
Setelah mengatakan itu Alea memasuki kamar mandi dengan membawa handuk yang sebelumnya di lempar Ana padanya.
Ana mendelik. "Apa katanya tadi, bersikap baik? ... Cih!"
Meski kesal dan cemberut, ia tetap melaksanakan pekerjaannya walau hanya setengah hati ia kerjakan. Menyusul Alea masuk ke kamar mandi, menyiapkan air hangat yang sudah di beri wewangian lalu meminta Alea berendam.
Selagi Alea berendam, Ana keluar lalu berjalan mendekati ranjang, menata bantal dan menggelar kain di atas sprei yang akan digunakan nanti dalam tahap pemijatan.
Tak lama kemudian Alea keluar dari kamar mandi dengan hanya mengenakan handuk yang tadi dilempar oleh Ana.
"Duduk!" Saat Alea sudah duduk, Ana mulai melakukan tahapan berikutnya yakni peeling pada lengan dan kaki Alea menggunakan scrub.
'Baru tahap ini saja kulitnya sudah terlihat lebih cerah. Menjengkelkan!' Ana menggerutu dalam hati. Jika biasanya ia senang atas perubahan pelanggan dan tak segan memuji mereka, berbeda dengan Alea ia merasa panas di hatinya.
Selesai peeling mereka akan melakukan tahap selanjutnya.
"Berbaring di sini!" Ana menunjuk tempat yang sudah tertata.
Alea menurut tanpa protes ada banyak bicara, ia mulai naik ke atas tempat tidur dan membaringkan tubuhnya telentang.
Ana yang melihat apa yang dilakukan Alea, menutup mulutnya menahan tawa lalu berbicara dengan kalimat menyindir.
"Aahh, ternyata hari ini aku mendapat pelanggan kampungan. Telungkup, Nona, bukan terlentang!"
Alea menghela nafas panjang, menyetok banyak kesabaran karena tidak ingin terjadi perdebatan. Tanpa bicara, Alea membalik tubuhnya menjadi telungkup.
Ana mulai bekerja, memijat punggung Alea tapi gerakan tangannya sangat kasar dan bahkan meninggalkan bekas kemerahan.
Alea meringis menahan sakit, tapi dia tidak mengatakan apa-apa membiarkan Ana bertindak semaunya atas tubuhnya.
Dua jam lamanya Alea menjalani perawatan tubuh, dimulai dari tahap pembersihan tubuh dengan mandi air hangat, peeling lalu pijat, kemudian penggunaan masker dan lulur.
Alea sedang berada di dalam kamar mandi hendak mengenakan pakaian pemberian Eyang Elaine, menghela nafas menatap punggung tubuhnya di pantulan cermin.
Saat keluar dari kamar mandi, Eyang Elaine sudah menyambutnya dengan pujian lalu di lanjutkan dengan memberondongnya dengan pertanyaan.
"Waahh, sangat cantik. Eyang tidak menyangka gaun itu pas di tubuh kamu padahal Eyang cuma mengira-ngira."
Alea mengulum senyum seolah dipaksakan, wajahnya beberapa kali meringis.
"Terima kasih, Eyang?"
"Nggak perlu berterima kasih, sudah tugas Eyang menyenangkan calon mantu. Sekarang gimana badan kamu?"
"Pegal-pegal tentu saja banyak berkurang, Eyang. Tapi--."
"Tapi kenapa, Nak?"
"Di sini, Eyang!" Alea berbalik memunggungi Eyang Elaine sembari meraba punggungnya dengan gerakan memeluk tubuhnya sendiri menggunakan sebelah tangan. Raut wajahnya kentara tak nyaman.
"Rasanya nyeri dan perih. Boleh tolong Eyang lihat?"
Eyang tampak khawatir, ia segera mendekat dan melihat kondisi punggung Alea. Sedangkan Ana, sudah meremat kedua tangannya gugup karena di serang rasa takut.
Ia tiba-tiba menyela. "Eyang biar aku saja, biar aku saja yang melihatnya!"
Gerakan tangan Eyang yang hendak membuka baju Alea terhenti. "Biar Eyang saja!"
Ana membuka mulutnya hendak mengatakan sesuatu, tapi kata-kata itu kembali tertelan di tenggorokan.
Kebetulan gaun yang Alea kenakan menggunakan kerah serut, hanya perlu di tarik turun dari kerah ke bawah tanpa harus melepas pakaian sudah bisa melihat keseluruhan punggung Alea.
Eyang tercengang, punggung Alea lecet beberapa tempat tampak memar dan kemerahan.
Bruk!!