Raka, seorang pemuda 24 tahun dari kota kecil di Sumatera, datang ke Jakarta dengan satu tujuan, mengubah nasib keluarganya yang terlilit utang. Dengan bekal ijazah SMA dan mimpi besar, ia yakin Jakarta adalah jawabannya. Namun, Jakarta bukan hanya kota penuh peluang, tapi juga ladang jebakan yang bisa menghancurkan siapa saja yang lengah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32 Api Dalam Gelap
Malam Jakarta terasa dingin, tetapi ketegangan yang menyelimuti fasilitas Viktor seperti bara yang tak kunjung padam. Di dalam ruangan gelap tempat Raka ditahan, rencana pelarian mulai terbentuk. Ia tahu bahwa waktu terus berjalan, dan setiap detik yang berlalu memperbesar risiko kegagalan. Namun, ia tidak sendirian dalam pertempuran ini—ia hanya perlu menunggu tanda dari luar.
Nadia merapat ke pagar pembatas fasilitas itu. Peta yang ia dapatkan dari Pak Hasan terbukti berguna, meskipun penjagaan lebih ketat dari yang ia bayangkan. Kamera pengawas memindai setiap sudut, dan patroli bersenjata berjalan bergantian. Nadia menarik napas panjang, menguatkan diri. Jika ada waktu untuk bertindak, itu adalah sekarang.
Menggunakan alat sederhana yang ia bawa, Nadia mulai memotong pagar. Dentingan kecil logam bergesekan hampir tak terdengar di tengah malam yang sunyi. Setelah beberapa menit, ia berhasil membuka celah untuk masuk. Ia bergerak perlahan, seperti bayangan yang menyelinap di antara semak-semak, mendekati bangunan utama.
Sementara itu, Raka memanfaatkan setiap interaksi dengan penjaga untuk mengumpulkan informasi. Salah satu penjaga, pria bertubuh kekar yang membawakannya makanan sehari-hari, menjadi sasaran utama. Dengan pertanyaan kecil dan percakapan ringan, Raka berhasil mengetahui rutinitas penjaga dan kelemahan dalam sistem keamanan.
"Besok, ada pengiriman besar," ujar penjaga itu tanpa sadar. "Semua orang sibuk di gudang. Ruangan ini mungkin akan kosong sebentar."
Raka mencatat informasi itu dalam pikirannya. Ia tahu itu mungkin satu-satunya kesempatan untuk bergerak.
Di luar, Nadia sudah berhasil masuk ke area dalam fasilitas. Ia menemukan sebuah lorong gelap yang tampaknya jarang digunakan. Langkahnya berhenti ketika ia mendengar suara langkah kaki mendekat. Nadia menempelkan tubuhnya ke dinding, menahan napas. Dua pria berjalan melewatinya, berbicara tentang "pengiriman" yang sama yang didengar Raka.
"Viktor ingin semuanya lancar. Tidak ada ruang untuk kesalahan. Kalau ada yang mencoba macam-macam, tembak di tempat," kata salah satu pria dengan nada tegas.
Nadia mencatat kata-kata itu. Pengiriman besar berarti Viktor akan memusatkan perhatian ke satu lokasi. Jika itu benar, maka mungkin penjagaan di sekitar tahanan akan berkurang. Ia harus memanfaatkan peluang ini.
Kembali ke ruang tahanan, Raka terus mencoba mengendurkan simpul di tangannya. Usahanya membuahkan hasil, dan ia berhasil membebaskan satu tangannya. Namun, ia tidak bergerak gegabah. Ia tahu bahwa penjaga bisa kembali kapan saja.
Saat itu, pintu ruangan terbuka dengan keras. Viktor muncul, dengan senyum penuh kemenangan di wajahnya.
"Raka, aku harus mengaku, aku kagum dengan ketabahanmu," kata Viktor sambil berjalan mendekat. "Tapi kau harus tahu, ketabahan saja tidak akan menyelamatkanmu."
Raka menatap Viktor tanpa rasa takut. "Kamu salah, Viktor. Ketabahan adalah awal dari perubahan. Dan perubahan itu dimulai malam ini."
Viktor tertawa kecil. "Kau masih bermimpi. Dunia ini milikku, Raka. Dan kau hanyalah bidak kecil dalam permainan ini."
Namun, sebelum Viktor bisa melanjutkan, suara alarm terdengar dari luar. Nadia, yang menyusup semakin dalam, tanpa sengaja memicu sensor gerak di salah satu lorong.
Viktor langsung berbalik, mengeluarkan perintah kepada anak buahnya. "Cari tahu apa yang terjadi! Jangan biarkan siapa pun masuk!"
Di tengah kekacauan itu, Raka memanfaatkan momen untuk bergerak. Dengan tangan bebasnya, ia mengambil pecahan kaca kecil yang ia simpan dari lantai. Ia menggunakannya untuk memutus tali di tangannya, lalu berdiri perlahan.
Nadia, yang berada di lorong, berlari ke arah lain untuk mengalihkan perhatian para penjaga. Ia berhasil menemukan ruangan kontrol, tempat ia bisa mematikan beberapa kamera keamanan.
Di dalam ruang tahanan, Raka akhirnya bebas sepenuhnya. Ia mengambil besi panjang yang tergeletak di sudut ruangan sebagai senjata sementara. Saat salah satu penjaga masuk untuk memeriksa, Raka menyerang dengan cepat, membuatnya pingsan dalam satu pukulan.
Raka melangkah keluar dengan hati-hati, mencoba menghindari penjaga lainnya. Ia tahu Nadia ada di dalam fasilitas, tetapi ia tidak tahu di mana. Dengan segala yang terjadi, mereka harus menemukan satu sama lain sebelum Viktor menyadari apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Sementara itu, Viktor mengamati layar monitor di ruang kontrol lain. Ia tahu ada penyusup, dan dalam hatinya, ia menduga itu adalah Nadia. Dengan senyum licik, ia memberikan perintah terakhir.
"Tutup semua pintu keluar. Mereka tidak akan ke mana-mana malam ini," katanya dingin.
Raka dan Nadia kini terjebak di dalam labirin fasilitas Viktor, tetapi mereka tidak menyerah. Dengan keberanian dan kecerdikan mereka, mereka bersiap menghadapi segala risiko.
Malam itu, di bawah langit Jakarta yang gelap, pertarungan mulai memanas. Namun, di balik ancaman yang mengintai, ada secercah harapan yang terus memandu mereka. Di tempat yang paling tidak diharapkan, cahaya itu tetap menyala—dan mereka akan berjuang hingga akhir.
Raka bergerak cepat melalui lorong fasilitas yang berliku-liku, menyelinap dari satu bayangan ke bayangan lain. Napasnya tertahan setiap kali ia mendengar langkah kaki penjaga mendekat. Ia menggenggam besi di tangannya dengan erat, siap menggunakannya jika situasi memaksa. Ketakutan mencoba merayap masuk ke pikirannya, tetapi ia menolaknya mentah-mentah. Sekarang bukan waktunya untuk ragu.
Di ruangan lain, Nadia berhasil mematikan sebagian kamera keamanan melalui panel kontrol yang ia temukan. Namun, sistemnya lebih kompleks dari yang ia perkirakan. Hanya beberapa kamera yang berhasil ia nonaktifkan sebelum sistem mengunci dirinya. Suara alarm semakin nyaring, menggema di seluruh fasilitas. Ia tahu bahwa waktunya tidak banyak.
Nadia menyusuri lorong yang lebih gelap, mengikuti intuisi dan peta kasar yang ia gambar dalam ingatannya.
Ia berulang kali mendengar langkah kaki para penjaga, tetapi ia berhasil menghindar setiap kali. Namun, ada sesuatu yang mengusik pikirannya: di mana Raka?
Di sisi lain, Raka akhirnya menemukan ruangan penyimpanan senjata kecil. Ia masuk dengan hati-hati, memastikan tidak ada penjaga di dalamnya. Di atas meja, ia menemukan pisau lipat dan senter kecil—dua alat yang mungkin menjadi kunci pelariannya. Dengan cepat, ia mengambil keduanya dan melanjutkan perjalanan.
Saat ia menyusuri lorong, Raka mendengar suara gaduh dari arah yang berlawanan. Ia mendekat perlahan, hingga akhirnya ia melihat sosok yang sangat dikenalnya: Nadia.
"Nadia!" bisiknya keras, cukup untuk menarik perhatian wanita itu.
Nadia berbalik, wajahnya dipenuhi kelegaan ketika melihat Raka. Mereka segera berlari menuju satu sama lain, tanpa banyak bicara.
"Kamu baik-baik saja?" tanya Nadia, matanya memeriksa Raka dari ujung kepala hingga kaki.
"Untuk saat ini, ya. Tapi kita tidak punya waktu. Viktor tahu ada penyusup, dan dia sudah memerintahkan untuk menutup semua pintu keluar," jawab Raka cepat.
"Kita harus keluar dari sini sebelum dia menemukan kita," Nadia menyetujui.
Namun, sebelum mereka bisa melangkah lebih jauh, suara langkah kaki mendekat dari belakang.
Mereka berdua menempel ke dinding, mencoba menyembunyikan diri. Dua penjaga muncul, berbicara tentang situasi saat ini.
"Kita harus memastikan area ini bersih. Viktor tidak mau ada kejutan," kata salah satu penjaga.
Tanpa ragu, Raka menyerang terlebih dahulu. Dengan pukulan keras menggunakan besi yang ia bawa, salah satu penjaga jatuh seketika. Nadia menangkap momen itu untuk melumpuhkan penjaga kedua dengan tendangan yang tepat ke leher.
"Latihan bela diri ternyata tidak sia-sia," Nadia berbisik sambil tersenyum kecil.
Namun, momen kemenangan itu hanya berlangsung singkat. Suara langkah kaki lainnya terdengar dari ujung lorong. Pasangan itu menyadari bahwa mereka harus bergerak lebih cepat.
Mereka terus menyusuri lorong-lorong sempit, melewati pintu-pintu yang terkunci, hingga akhirnya tiba di sebuah ruangan besar yang penuh dengan peralatan elektronik. Di tengah ruangan, layar besar menampilkan wajah Viktor, yang tampaknya mengawasi mereka dari ruangan lain.
"Ah, kalian akhirnya bertemu," kata Viktor dengan nada mencemooh. "Aku sudah menduga kalian akan mencoba sesuatu yang nekat. Tapi sayangnya, malam ini akan menjadi malam terakhir bagi kalian berdua."
"Kita lihat saja siapa yang tertawa terakhir," jawab Raka, menatap layar dengan penuh kebencian.
"Silakan coba. Tapi ketahuilah, setiap langkah kalian hanya akan membawamu lebih dekat pada kehancuran," Viktor tertawa kecil sebelum layar mati.
Mereka tahu bahwa waktu mereka semakin sempit. Nadia menunjuk ke arah pintu di sisi ruangan. "Pintu itu menuju ke luar, jika peta yang aku lihat benar."
Mereka bergerak menuju pintu, tetapi penjaga bersenjata muncul, menghalangi jalan mereka. Pertarungan pun tidak bisa dihindari. Dengan keberanian yang tak kenal takut, Raka dan Nadia melawan dengan segala kemampuan yang mereka miliki. Raka menggunakan besi dan pisau yang ia temukan, sementara Nadia mengandalkan kelincahannya untuk menghindari serangan dan melumpuhkan musuh.
Pertarungan berlangsung sengit, dengan suara pukulan, teriakan, dan benda jatuh menggema di ruangan. Darah mengalir dari luka kecil di pelipis Raka, tetapi ia tidak peduli. Yang ada di pikirannya hanyalah keluar dari tempat ini bersama Nadia.
Akhirnya, setelah pertarungan yang melelahkan, mereka berhasil melumpuhkan semua penjaga. Dengan napas terengah-engah, mereka membuka pintu dan melihat jalan keluar di depan mata mereka. Namun, sebelum mereka bisa melangkah lebih jauh, suara langkah kaki berat terdengar di belakang mereka.
Saat mereka berbalik, Viktor muncul, dengan pistol di tangannya.
"Aku bilang, tidak ada yang keluar dari sini hidup-hidup," kata Viktor dingin.
Namun, sebelum Viktor bisa menarik pelatuk, suara ledakan keras mengguncang fasilitas. Nadia dan Raka terjatuh ke tanah, mencoba melindungi diri mereka dari puing-puing yang berjatuhan.
Ledakan itu membuka celah di dinding sebelah kanan, memberikan mereka kesempatan untuk kabur. Tanpa berpikir dua kali, mereka berlari melewati celah itu, meninggalkan Viktor yang terjebak di dalam.
Mereka terus berlari hingga akhirnya mereka mencapai hutan kecil di belakang fasilitas. Napas mereka terengah-engah, tubuh mereka penuh luka, tetapi mereka tahu bahwa mereka selamat untuk malam ini.
Di bawah langit Jakarta yang penuh bintang, mereka duduk sejenak, mengatur napas.
"Kita belum selesai, Raka," kata Nadia, menatapnya dengan mata yang penuh tekad.
"Aku tahu," jawab Raka sambil mengangguk. "Tapi malam ini, kita menang. Dan itu cukup untuk sekarang."
Namun, mereka juga tahu bahwa Viktor tidak akan tinggal diam. Malam itu adalah awal dari perang yang lebih besar—perang yang akan menentukan nasib mereka, dan mungkin, nasib Jakarta.
hadeh hadeh, kesal banget klo inget peristiwa pd wktu itu :)