Gelapnya Jakarta
Kereta dari Sumatera memasuki Stasiun Gambir dengan suara gemuruh roda besi yang menyentuh rel. Raka, pemuda 24 tahun dengan tas ransel lusuh di punggungnya, turun bersama puluhan penumpang lain. Wajahnya berseri-seri meski lelah. Ini adalah pertama kalinya ia menginjakkan kaki di Jakarta, kota yang selama ini hanya ia kenal dari cerita orang-orang di kampung.
Raka berdiri di peron, menatap langit Jakarta yang abu-abu karena kabut asap. Gedung-gedung tinggi terlihat dari kejauhan, berdiri megah seperti menantang dirinya. Ia menggenggam erat tiket kereta yang kini sudah tak berguna lagi, seperti memegang seutas tali penghubung dengan kampung halamannya.
Ia datang ke Jakarta membawa harapan besar. Ibunya, seorang penjual sayur di pasar kecil, menjual cincin kawin peninggalan almarhum ayahnya agar Raka bisa pergi mencari pekerjaan. “Jangan pulang kalau belum sukses, Nak,” pesan ibunya sebelum ia pergi. Kata-kata itu terus terngiang di kepalanya.
Di luar stasiun, Jakarta langsung menyambutnya dengan kekacauan. Suara klakson kendaraan bersahut-sahutan, pedagang kaki lima menawarkan dagangannya dengan berteriak, dan orang-orang berjalan terburu-buru seperti mengejar sesuatu yang tak pernah selesai. Raka merasa terintimidasi, tapi ia juga bersemangat.
“Bang taksi?, Mau ke mana, Mas?” seru seorang calo yang mendekat dengan senyum palsu.
“Enggak, Pak. Terima kasih,” jawab Raka gugup sambil melindungi ranselnya. Ia tahu banyak cerita tentang penipuan di Jakarta.
Ia merogoh sakunya, mengeluarkan secarik kertas yang berisi alamat kos murah di Tanah Abang. Alamat itu ia dapat dari seorang teman kampung yang pernah tinggal di Jakarta. Setelah bertanya sana-sini, ia akhirnya menemukan angkot yang menuju Tanah Abang.
Di dalam angkot, ia duduk di pojok dengan wajah tegang. Penumpang lain tampak tidak peduli padanya, sibuk dengan ponsel masing-masing. Raka memperhatikan jalanan Jakarta yang penuh dengan gedung-gedung besar, papan reklame raksasa, dan kendaraan yang seperti tak pernah berhenti.
Ketika angkot berhenti di pinggir jalan, Raka turun sambil melihat-lihat sekitar. Alamat yang ia cari berada di sebuah gang sempit di balik deretan toko. Ia berjalan masuk, menghindari genangan air di jalan berlubang, dan akhirnya menemukan rumah kos kecil dengan plang bertuliskan "Kos Murah – Harian/Bulanan".
Pemilik kos, seorang wanita tua dengan wajah keras, menyambutnya di depan pintu.
“Mau sewa kamar Nak? Harian lima puluh ribu, bulanan tujuh ratus.”
Raka mengangguk. “Bulanan Bu. Tapi bisa bayar separuh dulu?”
Wanita itu menatapnya curiga, tetapi akhirnya mengangguk. “Kamar di atas, nomor tiga. Jangan ribut, ya. Tetangga-tetangga di sini enggak suka anak muda yang banyak tingkah.”
Kamar itu kecil, hanya muat satu kasur tipis, meja kecil, dan kipas angin tua yang berdebu. Bau lembab langsung menyerbu hidungnya ketika pintu dibuka. Tapi bagi Raka, ini adalah awal dari sesuatu yang besar. Ia menjatuhkan ranselnya di lantai dan duduk di kasur sambil menarik napas panjang.
Jakarta memang tidak seperti yang ia bayangkan—tak seindah cerita orang-orang. Namun, ia percaya bahwa kerja kerasnya akan membuahkan hasil. Ia membuka tas, mengeluarkan beberapa baju dan sepasang sepatu formal yang ia bawa dari kampung. Setelah itu, ia mengeluarkan sebuah amplop berisi dokumen seperti, Ijazah SMA, surat lamaran, dan fotokopi KTP.
Malam itu, Raka keluar mencari makan di warung pinggir jalan dekat gang kosnya. Ia duduk sendiri di bangku kayu panjang, memesan nasi goreng sederhana. Di sebelahnya, seorang pria muda dengan pakaian lusuh duduk sambil merokok.
“Baru di sini?” tanya pria itu sambil melirik Raka.
“Iya Bang,” jawab Raka singkat.
Pria itu tertawa kecil. “Hati-hati di Jakarta, Bro. Kota ini keras. Kalau lu enggak kuat, lu bakal hancur. Banyak orang yang datang dengan mimpi besar, tapi pulang tinggal nama.”
Kata-kata itu seperti tamparan bagi Raka. Ia hanya tersenyum kecil, tapi di dalam hatinya ia berjanji bahwa ia tidak akan menjadi salah satu dari mereka yang gagal.
Malam itu, ia kembali ke kos dengan tekad yang bulat. Esok pagi, ia akan memulai langkah pertamanya mencari pekerjaan. Bagi Raka, Jakarta adalah ladang pertempuran, dan ia siap berjuang, apapun yang terjadi.
Malam semakin larut, tapi suara klakson dan keramaian Jakarta tidak mereda. Lampu-lampu neon dari toko-toko di sepanjang jalan gang sempit masih menyala terang. Raka kembali ke kamar kosnya setelah makan malam, melangkah dengan hati-hati di jalan berlubang yang penuh genangan air. Bau selokan yang menyengat membuatnya mual, tapi ia mencoba menahan diri.
Saat sampai di depan pintu kamar kosnya, ia mendapati seorang pria sedang duduk di tangga kayu sambil merokok. Pria itu mengenakan kaos oblong kusam dan celana pendek, wajahnya terlihat lelah.
“Lu yang baru ngekos di sini, ya?” tanya pria itu tanpa basa-basi.
“Iya, Bang. Nama saya Raka,” jawabnya sambil sedikit menunduk, berusaha sopan.
“Gue Bayu. Kamar gue di bawah, yang deket dapur. Kalau ada apa-apa, panggil aja,” ucap Bayu sambil tersenyum kecil. Ia mengembuskan asap rokoknya ke udara, lalu berdiri. “Selamat datang di Jakarta. Hati-hati, kota ini suka bikin orang lupa diri.”
Kata-kata Bayu menggantung di kepala Raka saat ia masuk ke kamarnya. Ia menutup pintu rapat, lalu duduk di atas kasur tipis yang mulai terasa tidak nyaman. Kamar kecil itu hanya diterangi oleh lampu bohlam redup yang menggantung di langit-langit. Dindingnya terbuat dari papan kayu yang sudah banyak berlubang, memungkinkan suara dari kamar sebelah masuk dengan jelas.
Dari dinding sebelah, ia bisa mendengar seorang ibu memarahi anaknya karena belum mengerjakan PR. Suara itu bercampur dengan suara televisi yang menyala dari kamar lain, dan suara langkah kaki di tangga kayu yang berderit.
Meski lelah, Raka tidak bisa langsung tidur. Ia mengeluarkan amplop cokelat dari ranselnya, lalu membuka isinya. Di dalamnya ada fotokopi ijazah SMA, daftar riwayat hidup yang ia tulis tangan, dan beberapa surat lamaran kerja. Ia membacanya satu per satu, memastikan semuanya sudah siap untuk besok.
“Ini awal yang baru,” gumamnya pada diri sendiri. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan kegelisahan yang tiba-tiba muncul.
"Keesokan pagi".
Pagi di Jakarta datang dengan suara yang lebih ramai. Suara klakson kendaraan, teriakan pedagang sayur, dan obrolan warga gang membuat Raka terbangun lebih awal dari biasanya. Matahari belum sepenuhnya terbit, tapi gang sempit tempat kosnya sudah penuh aktivitas.
Ia segera mandi di kamar mandi bersama yang terletak di ujung gang. Airnya dingin, dan kondisi kamar mandi jauh dari layak. Dindingnya penuh dengan lumut, dan pintunya hanya terbuat dari triplek yang sudah hampir roboh. Meski begitu, Raka tidak mengeluh. Ia membersihkan dirinya sebaik mungkin, lalu kembali ke kamar untuk bersiap-siap.
Pagi itu, ia mengenakan kemeja putih yang sudah agak kusam dan celana panjang hitam yang sedikit kebesaran. Sepatu hitam yang ia bawa dari kampung ia bersihkan dengan kain basah agar terlihat lebih rapi.
Dengan ransel di punggungnya, ia keluar dari kos dan mulai berjalan menuju halte bus terdekat. Ia tidak tahu pasti harus ke mana, tapi ia sudah mencatat beberapa alamat perusahaan dari internet di warung kopi dekat kosnya semalam.
Di halte, Raka bertemu dengan seorang bapak tua penjual koran. Pria itu sedang mengatur tumpukan koran di meja kecilnya.
“Cari kerja, Mas?” tanya si bapak saat melihat Raka berdiri kebingungan.
“Iya, Pak. Baru di Jakarta. Saya mau coba lamar kerja di beberapa tempat,” jawab Raka sambil tersenyum.
Bapak itu mengangguk sambil menyerahkan satu eksemplar koran padanya. “Ini, lihat lowongan di bagian belakang. Banyak anak muda kayak kamu yang datang ke sini cari kerja. Tapi hati-hati, Mas. Jakarta itu enggak cuma soal kerja keras, tapi juga cerdik. Jangan sampai ketipu.”
Raka mengucapkan terima kasih dan langsung membaca bagian lowongan kerja di koran tersebut. Beberapa iklan mencantumkan posisi sebagai pelayan restoran, kurir, dan staf gudang. Ia mencatat alamat-alamat tersebut di buku kecilnya.
Dengan menumpang bus, Raka memulai perjalanan panjang hari itu. Ia mendatangi satu per satu alamat yang ia temukan, tetapi sebagian besar tempat kerja meminta pengalaman yang ia tidak miliki. Di beberapa tempat, ia bahkan diminta membayar uang pelatihan, yang ia tahu adalah penipuan.
Siang itu, Raka duduk di pinggir jalan di depan sebuah kantor setelah gagal melamar pekerjaan sebagai staf gudang. Keringat mengalir di wajahnya, dan ia merasa mulai putus asa. Uang di dompetnya semakin menipis, dan ia belum mendapatkan satu pun panggilan kerja.
Saat ia sedang termenung, seseorang menepuk bahunya dari belakang. “Bro, lu ngapain duduk di sini?”
Raka menoleh dan melihat seorang pria muda dengan kaos oblong dan celana jeans berdiri di depannya. Wajahnya tampak familiar, dan setelah beberapa detik, Raka menyadari bahwa pria itu adalah Bayu, tetangga kosnya.
“Bayu? Ngapain lu di sini?” tanya Raka heran.
“Aku kerja di sini, di toko sebelah. Lu lagi nyari kerja, ya?”
Raka mengangguk. “Iya. Udah muter-muter dari pagi, tapi enggak ada yang nerima.”
Bayu tertawa kecil. “Gue ngerti banget rasanya. Gue dulu juga kayak lu. Baru pertama kali ke Jakarta, ngira bakal gampang dapet kerja. Tapi di sini, semua itu perang, Bro. Lu mesti punya kenalan, atau lu bakal habis.”
Raka hanya tersenyum pahit, tidak tahu harus menjawab apa.
“Gini aja, kalau lu mau, gue bisa kasih lu kerjaan sementara. Enggak gede gajinya, tapi cukup buat makan,” ujar Bayu sambil mengeluarkan rokok dari sakunya.
“Kerjaan apa?”
“Di pasar malam. Jadi kuli angkut. Gampang kok, cuma ngangkat-ngangkat barang dagangan. Gimana?”
Raka terdiam sejenak. Tawaran itu jauh dari harapannya, tapi ia tahu bahwa ia tidak punya banyak pilihan.
“Ya udah, Bang. Gue mau coba,” jawabnya akhirnya.
“Bagus! Malam ini, datang ke pasar malam di depan stasiun. Gue tunggu di sana,” kata Bayu sambil tersenyum lebar.
Malam itu, Raka merasa langkah kecilnya menuju mimpi di Jakarta sudah dimulai. Meski pekerjaan yang ia dapat jauh dari ideal, ia meyakinkan dirinya bahwa ini adalah titik awal. Jakarta mungkin kota yang keras, tapi ia tidak akan membiarkan dirinya kalah begitu saja.
Di atas kasur tipisnya, ia menatap langit-langit kamar sambil memikirkan ibunya di kampung. “Bu, tunggu aku. Aku pasti berhasil,” gumamnya pelan sebelum akhirnya tertidur.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
Putri Yais
Ceritanya ringan dengan bahasa yang mudah dipahami.
2024-12-01
0
ig : mcg_me
semangat Arka
2024-12-04
0