Kaivan, anak konglomerat, pria dingin yang tak pernah mengenal cinta, mengalami kecelakaan yang membuatnya hanyut ke sungai dan kehilangan penglihatannya. Ia diselamatkan oleh Airin, bunga desa yang mandiri dan pemberani. Namun, kehidupan Airin tak lepas dari ancaman Wongso, juragan kaya yang terobsesi pada kecantikannya meski telah memiliki tiga istri. Demi melindungi dirinya dari kejaran Wongso, Airin nekat menikahi Kaivan tanpa tahu identitas aslinya.
Kehidupan pasangan itu tak berjalan mulus. Wongso, yang tak terima, berusaha mencelakai Kaivan dan membuangnya ke sungai, memisahkan mereka.
Waktu berlalu, Airin dan Kaivan bertemu kembali. Namun, penampilan Kaivan telah berubah drastis, hingga Airin tak yakin bahwa pria di hadapannya adalah suaminya. Kaivan ingin tahu kesetiaan Airin, memutuskan mengujinya berpura-pura belum mengenal Airin.
Akankah Airin tetap setia pada Kaivan meski banyak pria mendekatinya? Apakah Kaivan akan mengakui Airin sebagai istrinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30. Membela
Jantung Airin berdegup kencang, matanya seketika mencari ke arah kamar di belakang toko, takut kalau Kaivan mendengar pembicaraan itu. Tidak ingin memberi kesempatan pada kata-kata tersebut untuk terus bergulir, Airin segera berdiri lebih tegap dan memandang ibu itu dengan sorot tegas.
"Saya tidak pernah menyesal menikah dengan Kak Ivan," katanya, suaranya tenang namun terdengar mantap. "Saya malah bersyukur. Kak Ivan adalah suami yang baik, bertanggung jawab, dan selalu melindungi saya, termasuk dari orang seperti Wongso." Airin berhenti sejenak, menatap ibu itu dengan sorot mata penuh keyakinan.
"Tidak ada pria yang mendekati saya bisa lolos dari Juragan Wongso. Itu artinya mereka bahkan tidak bisa melindungi diri mereka sendiri. Tapi Kak Ivan berbeda. Dia tidak hanya bisa melindungi dirinya sendiri, tapi juga melindungi saya," tambahnya dengan suara yang sedikit bergetar namun penuh kebanggaan.
Airin menarik napas sejenak, lalu melanjutkan dengan nada bangga, "Toko ini pun bisa saya buka karena Kak Ivan. Semua modalnya dari hasil kerja keras dia." Ia tersenyum tipis, tatapan matanya mempertegas rasa hormatnya pada suaminya. "Jadi kalau ada yang berpikir saya menikah dengan Kak Ivan karena terpaksa, itu salah besar."
Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan dengan suara yang lebih lembut namun penuh keyakinan, "Saya bahagia bisa menikah dengan Kak Ivan. Dan keputusan terbaik yang pernah saya buat adalah menikah dengannya." Wajahnya berbinar, memancarkan ketulusan yang tidak bisa disangkal.
Ucapan Airin membuat suasana di toko mendadak hening. Beberapa pelanggan yang mendengar percakapan itu melirik sekilas ke arah mereka, meski berpura-pura sibuk memilih barang belanjaan. Namun jelas, telinga mereka menyimak dengan seksama.
Selama ini, mereka memang bertanya-tanya dari mana Airin mendapatkan modal untuk membuka toko. Semua orang di desa tahu, Airin dan neneknya hanya mengandalkan kebun kecil di belakang rumah, yang hasilnya nyaris cukup hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bahkan jika ada tabungan pun, pasti jumlahnya tak seberapa.
Sementara itu, toko yang Airin buka, meskipun kecil, terlihat cukup lengkap dan rapi—tentu membutuhkan modal yang tidak sedikit. Kini, teka-teki itu terjawab sudah.
Ibu-ibu yang sebelumnya sempat meremehkan Kaivan karena keterbatasannya tampak salah tingkah. Wajahnya memerah, dan senyumnya terlihat canggung. “Ah... iya, iya... ya bagus kalau begitu. Ivan memang suami yang luar biasa," ucapnya terbata, sambil merapikan tas belanjanya. "Saya hanya... ya, hanya heran saja dengan ulah Wongso itu. Memang orang seperti dia sering bikin orang geleng-geleng kepala, 'kan?" ujarnya tergagap, berusaha menutupi rasa kikuknya.
Ia tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana, meski jelas terlihat ia ingin segera menyudahi pembicaraan itu.
Namun, tatapan beberapa pelanggan yang mencuri pandang ke arah ibu itu jelas menunjukkan bahwa mereka pun menyadari kesalahannya. Airin, di sisi lain, tetap berdiri dengan tenang, seolah tidak terpengaruh sama sekali.
Airin tersenyum sopan, lalu berbalik untuk melayani pelanggan lain, seolah mengabaikan kehadiran ibu itu. Meski dadanya masih terasa sedikit sesak karena ucapan sebelumnya, ia merasa lega karena berhasil membela Kaivan dengan tegas, sekaligus memastikan tidak ada yang meremehkan suaminya lagi.
Kaivan masih diam di tempatnya berdiri. Pernyataan ibu itu tentang dirinya—"pria buta"—menyengat seperti luka lama yang dibuka kembali. Namun, lebih dari itu, hatinya terasa hangat mendengar bagaimana Airin membelanya. Setiap kata yang keluar dari mulut istrinya mengandung rasa bangga dan penghargaan yang selama ini ia kira tidak pernah ada.
Kaivan merasa dadanya dipenuhi campuran perasaan lega, bersyukur, sekaligus getir. Ia tahu pernikahannya dengan Airin tidak dimulai dengan cara yang ideal, apalagi dengan kondisinya yang belum pulih. Tapi mendengar Airin berkata bahwa ia bersyukur menikah dengannya, Kaivan merasa seperti diberi kesempatan baru untuk membuktikan bahwa dirinya layak mendapatkan kepercayaan itu.
Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan gejolak yang memenuhi hatinya. Ia kembali melangkah pelan menuju depan toko, tapi berhenti sejenak, memilih untuk tidak muncul langsung. Ia tidak ingin Airin merasa terpojok jika tahu ia mendengar semuanya. Namun, di dalam hatinya, ia berjanji bahwa mulai hari ini, ia akan melakukan segalanya untuk membuat istrinya benar-benar bahagia.
“Airin…” gumamnya pelan, hampir seperti bisikan pada dirinya sendiri. Ia mengepalkan tangan, seolah menguatkan tekad, sebelum kembali melangkah ke depan dengan senyum tipis, mencoba menyembunyikan apa yang ia dengar, meskipun di dalam hati ia berjanji untuk tidak pernah mengecewakan kepercayaan istrinya.
***
Airin duduk di ruang tamu bersama nenek Asih, memegang catatan harga barang dari pemasok yang baru saja ia temui. Wajahnya terlihat kusut, penuh kebingungan.
"Kenapa mereka memberikan harga setinggi ini, Nek? Kalau aku jual dengan keuntungan kecil, masih terlalu mahal untuk warga desa. Tapi kalau aku naikkan harga, siapa yang mau beli?" keluhnya, menatap daftar di tangannya.
Nenek Asih menghela napas. "Itulah tantangan berjualan, Airin. Pemasok di kota memang sering begitu kalau tahu pembelinya dari desa."
"Lalu aku harus bagaimana, Nek? Baru juga toko ini beroperasi, tapi malah bermasalah seperti ini. Sudah banyak uang yang aku pakai untuk membuka toko ini."
Nenek Asih menatap Airin dengan raut penuh pertimbangan, namun kata-kata yang keluar justru membuat Airin semakin gelisah. "Mungkin ada hal lain yang perlu kau pertimbangkan, Airin. Tapi... apakah kau siap untuk mendengar kemungkinan terburuk?"
Airin mengernyit, menatap Nenek Asih dengan raut tak percaya. "Kemungkinan terburuk? Apa maksud Nek Asih?"
Nenek Asih menghela napas panjang, seolah-olah menimbang kata-katanya dengan hati-hati. "Airin, kau tahu sendiri... usaha baru itu memang penuh tantangan. Kadang-kadang, kalau pemasok terlalu menekan, mungkin kau harus berpikir ulang. Apakah toko ini bisa bertahan atau justru malah membuatmu kehilangan lebih banyak?"
Airin tertegun. "Maksud Nenek... aku harus tutup toko ini?" suaranya bergetar, antara bingung dan marah.
"Bukan itu maksudku, cucuku. Tapi, kau harus siap menghadapi segala kemungkinan. Apakah kau benar-benar yakin bisa menghadapi masalah ini? Bukan hanya soal uang, tapi juga waktu, tenaga, dan stres yang akan datang," Nenek Asih berkata lembut, mencoba meredakan kegelisahan Airin.
Airin menundukkan kepala, menggenggam catatan itu lebih erat. Pikirannya berkecamuk, mencoba menolak skenario terburuk yang disebutkan Nenek Asih. Toko ini bukan hanya tentang mencari uang; toko ini adalah simbol usahanya untuk membantu ekonomi keluarganya, terutama Kaivan, yang selama ini begitu mendukungnya meski dalam keterbatasan.
"Aku tidak bisa menyerah begitu saja, Nek," ucap Airin akhirnya, suaranya tegas meski matanya masih menyiratkan kebimbangan. "Aku membuka toko ini untuk sesuatu yang lebih besar dari sekadar keuntungan. Ini untuk kita, untuk keluarga."
Nenek Asih tersenyum tipis, bangga sekaligus prihatin. "Baiklah, Airin. Kalau itu yang kau yakini, Nenek hanya bisa mendukungmu. Tapi ingat, jangan memikul semuanya sendiri. Kau punya Ivan, punya keluarga. Kau harus tahu kapan meminta bantuan."
Airin mengangguk perlahan. Kata-kata Nenek Asih itu menancap dalam di hatinya, memberi dorongan baru meski keraguan masih ada. Kini, ia tahu apa yang harus ia lakukan: ia tidak boleh membiarkan masalah ini menghancurkan mimpinya.
Dari arah kamar, terdengar langkah Kaivan mendekat. Gerakannya pelan dan hati-hati, tangannya sesekali meraba dinding untuk memastikan arah. Pandangannya masih samar, belum sepenuhnya pulih, tapi cukup untuk menangkap siluet Airin dan Nenek Asih di meja ruang tamu.
Ia berhenti beberapa langkah dari meja, menegakkan tubuhnya meski sorot matanya tampak lelah. "Ada masalah?" tanyanya, suaranya datar, namun jelas menyiratkan kepedulian.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Semangat Thour.
awas lho Airin.... diam-diam tingkahmu bikin Ivan lama-lama tegang berdiri loh . Kaivan tentu laki-laki normal lama-lama pasti akan merasakan yang anu-anu 🤭🤭😂😂😂
mungkinkah Ivan akan segera mengungkapkan perasaannya , dan mungkinkah Airin akan segera di unboxing oleh Ivan .
ditunggu selalu up selanjutnya kak Nana ...
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
aduuh sakit perut ku ngebayangin harus tetap tenang disaat hati sedang kacau balau 😆😆😆
pagi pagi di suguhkan pemandangan yang indah ya Kaivan...
hati hati ada yang bangun 😆😆😆😆
maaf ya Airin.... Ivan masih ingin di manja kamu makanya dia masih berpura-pura buta .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
Sebaiknya kaivan lg lama2 memberitahukan kabar baik istrimu dan nenekmu krn airin dan nenek asih sangat tulus dan ikhlas jgn ragukan lg mereka...
Kaivan sangat terpesona kecantikan airin yg alami,,,baik hati sangat tulus dan ikhlas dan dgn telaten merawat kaivan...
Bagus airin minta pendapat suamimu dulu pasti suami akan memberikan solusinya dan keluarnya dan kaivan merasa dihargai sm istrinya....
Lanjut thor........
jgn lm lm..ksh kjutannya .takutny airin jd slh phm pas tau yg sbnrny.
semoga kejutan nya gak keduluan juragan Wongso