Langit yang sangat mencintai Monica merasa tidak bisa melupakannya begitu saja saat Monica dinyatakan meninggal dunia dikarenakan kecelakaan yang tiba-tiba. Diluar dugaan, arwah Monica yang masih penasaran dan tidak menerima takdirnya, ingin bertemu dengan Langit. Dilain tempat, terdapat Harra yang terbaring koma dikarenakan penyakit dalam yang dideritanya, hingga Monica yang terus meratapi nasibnya memohon kepada Tuhan untuk diberi satu kali kesempatan. Tuhan mengizinkannya dan memberinya waktu 100 hari untuk menyelesaikan tujuannya dan harus berada di badan seorang gadis yang benar-benar tidak dikenal oleh orang-orang dalam hidupnya. Hingga dia menemukan raga Harra. Apakah Monica berhasil menjalankan misinya? apakah Langit dapat mengenali Monica dalam tubuh Harra?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S.Prayogie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 8 : SAKIT
..."Hidup bukan tentang memenuhi sisi ego manusia lain"...
...----------------...
Langit terdiam didalam kamarnya, sudah 2 hari sejak dia memberikan kunci kepada Papanya. Namun hingga saat ini Langit belum mendapat kepastian dari Pak Hendra.
Langit membuka almarinya dan melihat deretan jaket balapnya, dia menghela nafas lalu menutupnya kembali dan membuka almari sisi yang lain untuk mengambil jaketnya yang lain.
Tiba-tiba pintu kamarnya diketuk dan saat dia menoleh, terlihat Viona yang bersandar di pintunya.
"Hai anak bandel" sapa Viona sambil bercanda kepada adiknya.
Langit tidak menjawab dan melanjutkan menggunakan jaketnya dan merapikan rambutnya.
"Mau kemana?" tanya Viona dengan masih bersandar di pintu.
"Beresin barang di Pit" kata Langit singkat.
Viona hanya terdiam dan menghela nafas melihat adiknya itu.
"Seriusan mau berhenti balap? Cuma karna Monica?" tanya Viona lagi.
"-- Papa belum ngasih keputusan soalnya mungkin kamu berubah pikiran. Kamu nggak gampang loh sampai di titik ini menjadi pembalap profesional" kata Viona berusaha meyakinkan adiknya.
"Seseorang pernah bilang ke aku kalau ngurusin urusan orang lain itu namanya nggak sopan" jawab Langit sambil memasukkan barang-barangnya kedalam tas kecil miliknya.
Viona tertawa kecil mendengar jawaban Langit.
"Disuruh Mama turun, sarapan dulu. Ada Papa juga" kata Viona sambil mengajak Langit turun.
"Nggak. Makasih" kata Langit lalu berjalan melewati Viona setelah mengambil kunci mobil yang ada dimeja kamar tidurnya.
Viona mengangkat bahunya dan mengikuti Langit berjalan dibelakangnya.
"Monica pasti sedih denger kamu berhenti balap hanya karena dia" kata Viona dibelakang Langit yang masih tampak terdiam tidak menjawab apapun perkataan Viona.
"Kalau pun kamu bisa jalan sama Monica, apa kamu tetap bahagia setelah berhenti dari dunia balap yang adalah sebagian dari hidup kamu?" tanya Viona kembali yang berhasil membuat Langit menghentikan langkahnya menuruni tangga rumahnya.
Langit lalu menoleh menatap Viona.
"Bahkan jika Papa minta aku untuk keluar dari rumah ini, aku akan keluar. Memang tidak ada garansi bagaimana aku dengan Monica kedepannya, tapi aku hanya ingin memperjuangkan apa yang aku yakini. Daripada aku harus hidup dengan penyesalan" kata Langit menatap Viona dengan lekat.
Viona melipat tangannya didada sambil menatap Langit dan tersenyum kecil. Lalu dia mengangguk memahami apa yang dikatakan oleh Langit.
"Good Luck" kata Viona lalu menepuk pundak Langit dan melewatinya berjalan menuju ruang makan.
Langit hanya terdiam melihat Kakaknya pergi dan mengatur nafasnya kembali. Dia berjalan keluar rumah namun tiba-tiba Bu Shella mengejarnya hingga pintu keluar.
"Makan dulu nak" kata Mamanya kepada Langit.
"Nggak Ma" kata Langit dengan tegas.
"Kalau kamu sakit gimana?" kata Bu Shella merasa khawatir dengan Langit.
"Sekarang aku sudah sakit Ma dan Mama cuma diam aja selama ini. Aku turuti semua mau Papa. Hidupku dengan Papa selalu penuh dengan negosiasi dan Mama diem aja. Aku harus kuliah online, walau aku ingin kuliah umum seperti yang lain. Untuk menjalaninya Papa mengizinkan aku menjadi pembalap. Sekarang, dia menariknya lagi dan Mama cuma diem" kata Langit berkata kepada Bu Shella.
"Nakk-- Maafkan Mama" kata Bu Shella sambil berusaha menggenggam tangan Langit.
Langit menepisnya dan memutar kepalanya. Dadanya terasa panas dengan semua hal yang dia alami.
"Bahkan-- Bahkan Mama yang mengatur perjodohan Langit dengan Mareta. Apa Mama pernah benar-benar peduli dengan apa yang aku rasakan dan aku pikirkan?" tanya Langit lagi yang membuat Bu Shella terkejut tentang yang dikatakan Langit.
Selama ini Bu Shella berpikir jika Langit tidak mengetahui rencananya menjodohkan Langit dan Mareta. Dia mengatur semuanya untuk kerjasama perusahaan dengan 2 keluarga besar di Kota ini. Bu Shella merasa sesak dan tidak bisa berkata apapun.
Langit yang melihat Mamanya hanya terdiam membuat dia tersenyum pahit melihat kenyataan didepan matanya.
"Aku pergi" kata Langit lalu pergi meninggalkan rumahnya dengan membawa mobil miliknya sendiri. Dari penghasilannya menjadi pembalap, Langit sudah bisa membeli mobil sendiri.
Bu Shella tampak melihat Langit dari kejauhan sambil merasa khawatir. Dia lalu masuk kedalam rumah dan kembali ke Ruang Makan.
"Dia jadi pergi Ma?" tanya Viona kepada Bu Shella.
Bu Shella hanya mengangguk lalu kembali duduk disamping Pak Hendra yang tampak sibuk membaca artikel di tablet miliknya.
Viona melirik Pak Hendra sekilas yang tampak tidak memberi reaksi kepada apa yang terjadi.
"Papa mau kehilangan anak lelaki Papa satu-satunya?" tanya Viona tiba-tiba.
"APA YANG KAMU KATAKAN VIONA?" Bentak Bu Shella kepada Viona karena terkejut dengan perkataan Viona yang tiba-tiba.
Pak Hendra meletakkan tablet miliknya dan menatap putri sulungnya itu. Sementara Viona tertawa kecil melihat respon Bu Shella.
"Sekarang aku tanya. Tujuan kalian apa lagi? Keluarga kita sudah kaya raya. Sekolah, Rumah Sakit, Perumahan, Perusahaan Tambang, dsb. Kalian mau cari apa lagi?" kata Viona sambil melihat kedua orang tuanya.
"-- Kapan sih kalian benar-benar memikirkan kebahagiaan anak kalian, kebahagiaan keluarga-- Nggak-- Kapan kalian mikir kebahagiaan kalian sendiri?" tanya Viona kembali sambil menatap mata Pak Hendra.
"Pernikahan Aku dengan Dion sudah gagal. Walau pernikahan itu hanya untuk mempermulus jalan Papa untuk eksport barang. Trus sekarang apa lagi? Mareta? Keluarga dia memang kuat dibidang kesehatan, tapi bukan berarti anak Papa yang harus jadi barang pertukaran kelancaran bisnis Papa" kata Viona sambil menatap Papanya.
"DIAM KAMU" kata Pak Hendra tiba-tiba sambil berdiri dan memukul meja dengan keras.
Bu Shella dan Viona terkejut hingga terdiam dan mematung.
"Kamu nggak tahu apa-apa. Ini semua Papa lakukan demi keluarga, demi kalian" kata Pak Hendra sambil menunjuk Viona.
"NGGAK-- PAPA LAKUIN BUAT KEPENTINGAN PAPA SENDIRI, BUKAN UNTUK KAMI" kata Viona berteriak tak kalah keras sambil berdiri dan menatap mata Papanya.
PLAKKKK--
Tamparan keras mendarat di pipi Viona. Membuat suasana menjadi hening sejenak. Lalu Viona tampak tersenyum sinis sambil memegang pipinya yang terasa panas karena tamparan Papanya. Sementara Bu Shella tampak panik berusaha menenangkan Pak Hendra.
"Terbukti kan-- Kalian tuh sebenarnya sayang banget sama Langit. Tapi kalian masih terlalu angkuh buat mengakuinya, kalian terlalu egois menjadi orang tua hingga tidak pernah sekalipun mendengarkan pendapat anaknya sendiri. Papa semarah apapun dengan Langit, Papa nggak pernah mukul dia kan. Sekarang dengan keegoisan Papa, dengan perlahan Papa akan ditinggal sama anak kesayangan Papa itu" kata Viona sambil melempar gelas ke lantai hingga pecah dan pergi dari Ruang Makan dan mengambil kunci mobil miliknya.
Tak lama kemudian terdengar deru kencang mobil sport milik Viona pergi meninggalkan halaman rumah besar itu.
Pak Hendra hanya berdiri terdiam sambil mengepalkan tangannya. Nafasnya tampak berderu dengan emosi yang masih melingkupi dirinya. Bu Shella tampak panik mendengar mobil Viona pergi dan berdiri didepan suaminya. Menatap wajah Pak Hendra yang masih merah padam. Bu Shella berpikir bahwa membuka pembicaraan saat ini akan memperburuk suasana.
ART mereka masuk keruangan setelah mereka tidak mendengar lagi kegaduhan dan membereskan pecahan gelas dibawah meja.
Bu Shella yang melihatnya berusaha ikut membantu namun tanpa sengaja jarinya tergores pecahan gelas dan darah mengalir dari jarinya.
"Nyonya, aduh-- jadi berdarah" kata ART yang panik dan segera mencari kain untuk menghentikan pendarahan.
Pak Hendra yang terkejut langsung mendatangi Bu Shella dan melihat jari Bu Shella yang tampak berdarah dan segera mengambil kotak obat untuk mengobatinya.
"Sakit?" tanya Pak Hendra kepada istrinya itu.
Bu Shella hanya menggeleng dengan masih tidak berani menatap wajah suaminya.
Pak Hendra menempelkan plester luka dan mengusap lembut jari Bu Shella.
"--- masih lebih sakit melihat keluarga kita menjadi seperti ini" kata Bu Shella sambil menatap lembut suaminya.
Pak Hendra mendongakkan kepala menatap Bu Shella tak bisa mengatakan apapun setelah mendengar perkataan istrinya.