Hidup tak selalu sesuai apa yang kita inginkan.Saat uang dijadikan tolak ukur,saudara pun terasa orang lain.Saat kita berada dibawah tak ada yang mau mengakui saudara tapi saat kita punya segalanya semua sanak saudara datang mendekat. "Kau harus sukses nak,biar bisa membeli mulut-mulut yang sudah menghina kita"kata-kata dari ibu masih terngiang sampai sekarang.
Sandra terlahir dari keluarga miskin dan selalu di hina oleh adik ipar sendiri. Mereka selalu menganggap bahwa orang miskin itu tidak pantas bersanding dengan keluarga mereka.
Nasib siapa yang tau,sekarang boleh di hina karna miskin tapi kita tidak akan pernah tau kedepannya seperti apa. Lalu bagaimana nasib Sandra apakah ia bisa membeli mulut - mulut orang yang menghina keluarganya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ima susanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5
"Alhamdulillah penglaris." Lirih sandra menatap uang pemberian bu jaya dengan terharu.
"San,ibu mau nasinya satu dong,pake gorengan ya." Ujar bu yanti mengangetkan sandra yang masih terharu memegang uang penglaris barusan.
"Baik bu."Sandra langsung menyiapkan pesanan bu yanti.
"Jadi berapa san." tanya bu Yanti.
"Rp.6000, bu." sahut Sandra.
"Makasih bu,kalau ada rasa yang kurang tolong dikoreksi ya bu,biar nanti kami bisa memperbaikinya." Cicitku sambil tersenyum.
"Ok."
Setelah bu yanti pergi ,ibu datang menghampiriku dan bertanya." Udah ada yang beli san?"
"Alhamdulillah sudah bu,moga makin banyak yang beli ya bu." Ujarku bahagia.
"Ya sudah sekarang kamu sarapan dulu bareng Rima,biar ibu yang gantiin ."
Aku melangkah kedalam rumah untuk sarapan bareng Rima yang sudah duduk manis di tikar lusuh satu-satunya kepunyaan kami.
"Gimana dek rasanya nasi uduk buatan ibu?" Tanyaku.
"Enak mbak." Jawabnya sambil terus menyuapi nasinya dengan lahap.
Masakan ibuku memang enak rasanya. Dulu sewaktu ayah masih ada bersama kami,ayah selalu memuji masakan ibu.
FLASH BACK
"Masakan ibu bener-bener the best pokoknya,restoran aja kalah." Kekeh ayah memuji masakan ibu.
"Ayah bisa aja." Ujar ibu tersipu malu .
"Lah emang bener kok,ayah aja ampe nambah dua kali." Kekeh ayah.
"Udah ga usah ngomong trus yah,kasian nasinya nangis dianggurin."
"Sandra makan yang banyak biar cepet gede." Ujar ayah.
Sandra mengangguk karna mulutnya penuh berisi makanan. Suapan demi suapan tak terasa nasi di piring pun tandas tak bersisa.
"Mau nambah nak." Tanya ibu lembut.
"Sandra udah kenyang bu." Ujar ku menyudahi sambil mengelus-ngelus perut yang keliatan agak sedikit membengkak karna habis diisi.
"Anak gadis ayah emang pintar,nasinya habis." Ayah berkata sambil mengacungkan kedua jempol nya kepada sandra. Senyum Sandra terbit memperlihatkan lesung pipi yang manis.
Begitulah kehangatan yang tercipta dikala kami makan bersama. Walau makan dengan lauk sederhana kami tak pernah mengeluh,senyum syukur selalu terukir di bibir kami.
Saat usia 15 tahun ayah pergi meninggalkan kami untuk selamanya,kepergian ayah menyisakan duka mendalam bagi kami. Kulihat ibu sering menangis sembunyi-sembunyi,seakan tak mau terlihat oleh anak-anaknya.
Aku merasa terpuruk kehilangan sosok seorang ayah yang begitu menyayangi keluarga. Ayah adalah sosok laki-laki yang bertanggung jawab,selalu melindungi kami dan menyayangi kami dengan tulus.
Ayah hampir tak pernah berkata kasar apalagi main kekerasan dikala kami melakukan sebuah kesalahan. Ia dengan tenang akan menasehati dengan kata-kata yang lembut,tapi cukup membuat kami mengerti dan merasa takut untuk mengulangi kesalahan yang sama.
Ku pandang gundukan tanah merah sesaat setelah ayah dimasukan keliang lahat,tetes air mata luruh dengan deras. Rasa tak rela kehilangan begitu menyesakkan dada. Kulihat ibu tiba-tiba jatuh pingsan dan langsung ditolong beberapa tetangga yang ikut mengantar ayah keperistirahatan terakhir.
Ibu digotong menuju rumah dan aku bersama Rima mengiring dibelakang. Kasian ibu pasti merasa sangat terpukul kehilangan tempat bersandar.
Seiring berjalan waktu sedikit demi sedikit kami mulai bisa menerima kepergian sang ayah. Ibu terlihat kuat,walau sebenarnya rapuh.
Hari demi hari kami lalui dengan semangat,tak ada sanak saudara yang merasa prihatin dengan kehidupan kami. Cuma suami bibi Ita yang diam-diam sering membantu kami tanpa sepengetahuan istrinya.
Sebenarnya ibu mempunyai satu orang kakak,tapi karna kehidupan mereka juga tidak jauh berbeda dengan kami. Mereka juga susah jadi kami cukup maklum.
Sedangkan adik almarhum ayah kehidupan mereka serba berkecukupan,seakan mata hati mereka tertutup melihat kehidupan kami. Tak ada rasa simpati melihat kondisi kami. Satu kata ayah yang masih terngiang-ngilang yang masih ku ingat sampai sekarang.
"Ga perlu dipandang tinggi dimata manusia nak,tapi dipandang tinggi dimata Allah. Roda itu berputar,adakalanya sesaat diatas dan ada masanya dibawah. Tak perlu merasa minder karna miskin,karna Allah sudah mengaturnya. Rezeki ada yang mengatur serahkan semuanya pada sang pemberi." Ujar ayah memberi wejangan kepadaku.
Terbersit di hati kecilku,aku harus jadi orang yang sukses biar bisa membeli mulut orang-orang yang selalu menghina kami.
Matahari sudah terbenam,menyisakan sebagian cahaya temaran yang terlihat diatas langit. Warna kemerah-merahan terlihat terbentang di atas sana.
Cahaya yang perlahan mulai pudar meninggalkan
tempat yang seharian ia terangi dengan cahayanya.
Aku terpaku menatap langit yang semakin gelap,berganti cahaya bulan yang tampak sangat indah,dimana keindahan itu tempat agung tanpa ada yang menandingi.
...****************...
Terimaksih buat pembaca setia karya - karya aku. Terimaksih like dan komennya,tanpa kakak2 semua aku bukanlah siapa2 dan tidak akan mungkin sampai di titik ini. 😊😘😍🙏
Tinggalkan jejak dengan memencet tombol like dan komen yang banyak agar Author semangat menulis bab selanjutnya😊😘😍🙏
Sekarang dada Yb Bener mama Nya siapa/Hey//Facepalm/
Semangat pagi jg Thor👍