Naura, seorang gadis desa, terjerat cinta pria kaya raya—Bimo Raharja, saat memulai pekerjaan pertama di kota.
Pada suatu hari, ia harus menahan luka karena janji palsu akan dinikahi secara resmi harus kandas di tengah jalan, padahal ke-dua belah pihak keluarga saling mengetahui mereka telah terikat secara pernikahan agama.
"Mas Bimo, tolong jangan seperti ini ...." Naura berbicara dengan tangis tertahan.
"Aku menceraikan kamu, Naura. Maaf, tapi aku telah jatuh cinta pada wanita lain."
Baru saja dinikahi secara agama, tapi tak lama berselang Naura ditinggalkan. Masalah semakin besar ketika orang tua Naura tahu jika Bimo menghamili wanita lainnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lintang Lia Taufik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28. Kehilangan Ayah
Naura duduk di tepi ranjang kayu kecil di kamar kostnya.
Kamar itu sederhana, dengan dinding bercat krem yang sudah mulai mengelupas di beberapa sudut.
Ada lemari kecil di sudut ruangan sebagai pelengkap. Serta nakas di dekat ranjangnya membuat gadis itu cukup betah di sana.
Meski terasa sempit dan jauh dari kata nyaman, tempat ini adalah pelariannya dari segala kepedihan yang baru saja ia alami.
Raka berhasil membujuknya untuk tinggal di sini sementara, sambil menunggu ia benar-benar siap untuk memulai kehidupan barunya.
"Nanti, kamu pasti aku pindahin ke rumah yang gede. Aku lagi siapin tempat tinggal kamu. Jadi, sementara di sini dulu gak apa-apa 'kan?" tanya Raka mencoba memastikan.
"Dibantu cari tempat tinggal saja saya sudah berterima kasih, Mas," sahut Naura irit kata.
Keduanya tampakmengamati situasi dan sekitar tempat kost itu.
Semua yang dilakukan Raka nyatanya memang benar membantu memulihkan kesehatan pikiran Naura.
***
"Tenang dulu di sini, Naura. Aku janji ini cuma sementara," kata Raka beberapa hari yang lalu saat mengantar Naura ke tempat ini.
"Aku nggak mau kamu langsung tenggelam dalam pekerjaan. Kamu butuh waktu untuk menenangkan diri."
Dan benar saja, sejak saat itu Raka selalu hadir, berusaha menghiburnya dengan cara-cara sederhana.
Hari ini, ia menepati janjinya lagi. Dengan senyum hangat, pria itu mengajak Naura mengunjungi kebun binatang yang tak jauh dari kota.
“Yuk, Naura. Aku tahu kamu mungkin nggak terlalu antusias, tapi percaya deh, ini bakal seru,” ujar Raka saat mereka tiba di gerbang kebun binatang.
Naura hanya tersenyum kecil. Meski hatinya masih penuh luka, ia menghargai usaha Raka untuk membuatnya tersenyum lagi.
Di dalam, Raka benar-benar menunjukkan sisi lain dari dirinya.
Ia menjadi seperti pemandu tur pribadi, menjelaskan setiap hewan yang mereka temui dengan antusias.
“Lihat itu, Naura! Harimau Sumatra. Kamu tahu nggak kalau mereka cuma tinggal beberapa ratus ekor di dunia?”
“Mas Raka, kamu tahu segalanya, ya?” Naura terkekeh kecil.
“Nggak segalanya, sih. Tapi soal bikin kamu ketawa, aku lumayan ahli,” jawab Raka sambil tersenyum lebar.
Entah sejak kapan, tapi kenyataannya Raka sudah mulai seperti seorang sahabat bagi Naura.
Mereka berjalan-jalan lebih lama, mengelilingi setiap sudut kebun binatang.
Ada momen-momen di mana Naura benar-benar lupa akan rasa sakitnya. Raka bahkan mengajaknya mencoba memberi makan rusa dan burung.
“Burung-burung ini nggak menggigit, kok. Berani?” tanya Raka sambil memegang mangkuk kecil berisi biji-bijian.
Naura menggeleng, takut-takut. “Aku nggak yakin, Mas.”
“Coba aja. Aku di sini. Kalau mereka nakal, aku yang usir,” gurau Raka.
Akhirnya Naura memberanikan diri. Ia tertawa kecil saat seekor burung hinggap di tangannya untuk mematuk biji-bijian.
Tawa itu membuat Raka merasa lega. Ia tahu, meski perlahan, Naura sedang berusaha bangkit.
Raka terus menatap senyum itu dengan tatapan sendu. Seolah ada ketakutan tersendiri baginya yang ia simpan rapi.
Namun, benar yang dipikirkan Raka, kebahagiaan kecil itu tak bertahan lama. Di tengah perjalanan pulang, ponsel Naura berdering.
Nama ibunya muncul di layar, dan tanpa berpikir panjang, ia langsung mengangkatnya.
“Halo, Bu?” tanya Naura.
Dari ujung telepon, terdengar suara ibunya yang terisak-isak.
“Naura ... Ayahmu ... Ayahmu ....”
Hati Naura mencelos. “Ada apa dengan Ayah, Bu?”
“Dia ... dia sudah nggak ada, Nak. Serangan jantung,” jawab ibunya di sela tangis.
Ponsel hampir terlepas dari genggaman Naura. Wajahnya memucat, dan ia menatap Raka dengan tatapan kosong.
“Mas Raka ... Ayahku ...,” katanya dengan suara bergetar.
Raka langsung menghentikan mobilnya di pinggir jalan.
“Apa yang terjadi, Naura?” tanya Raka dengan tatapan serius.
“Beliau meninggal. Ayahku meninggal, Mas ....” Naura menutup wajahnya dengan kedua tangan, tangisnya pecah seketika.
Raka mencoba menenangkan Naura, meski ia sendiri terkejut mendengar kabar itu.
Setelah beberapa saat, ia mengulurkan tangannya, menyentuh bahu Naura dengan lembut.
“Kita harus segera pulang ke rumahmu, Naura. Aku akan antar kamu.”
Selama perjalanan, Naura hanya menangis. Pikirannya kacau, membayangkan wajah Ayahnya yang selalu penuh kasih.
Ia teringat betapa kerasnya pria itu bekerja untuk keluarga mereka, meski kondisi kesehatannya sudah tak sebaik dulu.
“Ini semua salahku, Mas Raka,” ucap Naura tiba-tiba, suaranya penuh penyesalan.
“Salahmu? Maksudmu apa, Naura?” tanya Raka, mencoba tetap fokus pada jalan.
“Kalau aku nggak menikah dengan Bimo, kalau aku nggak membuat Ayah mendengar semua hal menyakitkan ini, mungkin Ayah masih ada ....” Naura menutupi wajahnya lagi, menahan tangis yang semakin menjadi-jadi.
Raka menggeleng. “Naura, jangan salahkan dirimu. Kamu nggak tahu apa yang akan terjadi. Ini bukan salahmu.”
Namun, Naura tetap merasa bersalah.
Ia teringat betapa kecewanya Ayahnya saat tahu bahwa pernikahan siri mereka tak berjalan seperti yang diharapkan.
Ia teringat bagaimana pria itu berusaha menenangkan hatinya meski jelas merasa sakit.
Setibanya di rumah, suasana duka langsung menyambut mereka.
Ibu Naura duduk di ruang tamu, menangis tersedu-sedu sambil dikelilingi oleh beberapa tetangga.
Wajahnya tampak sembab dan lelah. Begitu melihat Naura, wanita itu langsung memeluknya erat.
“Naura ... Ayahmu sudah pergi. Ayahmu nggak kuat dengar semua ini, Nak ...,” tangisnya pecah lagi.
Naura hanya bisa menangis dalam pelukan ibunya. Hatinya hancur berkeping-keping, merasa semua ini adalah akibat dari keputusan-keputusan buruk yang ia ambil.
Di tengah kesedihan itu, suara tetangga yang sedang berbincang terdengar samar-samar di telinga Naura.
“Katanya gara-gara berita tentang Bimo menikahi wanita lain, Ayah Naura jadi tertekan ....”
“Kasihan sekali, ya. Anak itu benar-benar diuji hidupnya.”
Naura menutup telinganya, tak ingin mendengar lagi.
Namun, rasa sakit itu terus menghantam hatinya tanpa henti.
Ia merasa seperti tenggelam dalam lautan kesedihan yang tak berujung.
Sementara itu, Raka berdiri di luar rumah, mencoba memberikan ruang bagi Naura dan keluarganya.
Namun, di dalam hatinya, ia merasa semakin yakin bahwa ia harus melakukan sesuatu untuk membantu gadis itu bangkit.
Malam itu, di tengah keheningan yang menyelimuti rumah, Naura duduk sendirian di kamarnya.
Matanya sembab, dan tubuhnya terasa lemah. Ia teringat kata-kata terakhir Ayahnya sebelum semua kekacauan ini terjadi.
“Jaga dirimu baik-baik, Naura. Ayah nggak akan selalu ada untuk kamu ....”
Naura menggenggam tangan, berusaha menahan air mata yang kembali mengalir. Dalam hati, ia bersumpah untuk tidak membiarkan semua ini berakhir tanpa jawaban.
Namun, tepat saat ia mencoba menenangkan dirinya, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk. Naura membuka layar, dan matanya membelalak saat membaca isi pesan itu.
“Naura, aku tahu ini bukan waktu yang tepat, tapi aku harus bicara. Aku akan datang menemuimu malam ini.”
Naura menggenggam ponselnya erat-erat, hatinya berdebar-debar. Si pengirim pesan adalah orang yang paling ia benci sekaligus rindukan—Bimo.
(Bersambung...)