Kisah Aghnia Azizah, putri seorang ustadz yang merasa tertekan dengan aturan abahnya. Ia memilih berpacaran secara backstreet.
Akibat pergaulannya, Aghnia hampir kehilangan kehormatannya, membuat ia menganggap semua lelaki itu bejat hingga bertemu dosen killer yang mengubah perspektif hatinya.
Sanggup kah ia menaklukkan hati dosen itu? Ikuti kisah Nia mempelajari jati diri dan meraih cintanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Renyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32. Perpustakaan
Aghnia benar benar suntuk hingga ia tak bisa tidur siang. Selepas sholat ashar gadis itu pergi ke perpustakaan kampus, menenangkan pikirannya dan mencari referensi buku bacaan untuk menjawab pertanyaannya seputar tujuan hidup.
Ia berangkat bersama Risti menggunakan mobil Aghnia, kebetulan Risti akan ke galeri kampus berdiskusi dengan teman satu fakultasnya.
"Kenapa nggak kamu jual aja mobil ini?", celetuk Risti sembari fokus menyetir.
"Ha? Kenapa dijual?", kaget Aghnia.
"Nggak pernah kamu pake juga semenjak sakit. Hanya aku dan Monica yang memakainya, sedangkan kamu memilih naik ojek online", jelas Risti seraya memandang Aghnia.
"Ih kan nggak apa apa, mobil ini bisa kita pakai bersama", ujar Aghnia.
Aghnia memang lebih suka memakai ojek online, mengurangi resiko terkejut saat dijalan dan membuat perutnya nyeri. Mungkin ia akan mulai menyetir lagi jika perutnya sudah pulih sepenuhnya.
"Lagipula Abah membelikan mobil untuk dimanfaatkan dalam hal kebaikan. Ya sudah, siapa pun yang memakai asal tidak dibuat maksiat, pahala mengalir padaku", pungkas Aghnia.
Risti tertegun dengan ucapan Aghnia. Temannya ini benar benar merubah sikapnya.
Sejujurnya Risti segan memakai mobil temannya itu sedangkan Aghnia sangat jarang menghubungi dirinya ataupun Monica jika butuh tumpangan.
Aghnia turun ketika Risti menghentikan mobilnya di depan perpustakaan kampus. Gadis itu berjalan pelan memasuki perpustakaan.
Setelah memilih dua buku yang ia anggap bagus, ia mencari tempat duduk dekat dengan jendela, menunjukkan langsung pemandangan kota Tanon. Aghnia mulai disibukkan dengan salah satu buku yang ia ambil.
Alfi juga berada di perpustakaan, entah disebut sebuah kebetulan atau kah memang berjodoh. Ia sedang mencari buku sejarah etika bisnis untuk tambahan referensi yang akan ia sampaikan pada mahasiswa esok. Setelah menemukannya ia mencari tempat duduk.
Pria itu melihat Aghnia sedang membaca buku dan sesekali melihat ke arah jendela. Ia menghela nafas panjang.
"Apakah ini sebuah kebetulan bertemu dengannya lagi?", gumam Alfi seraya memilih duduk di samping Aghnia.
Alfi menarik kursi perlahan agar tidak mengagetkan Aghnia. Pria itu menghempaskan badannya pelan, meletakkan bukunya di meja seraya memandang Aghnia dari samping.
Ia tersenyum melihat Aghnia yang tak sadar jika dirinya berada di samping gadis itu. Puas memandangi Aghnia, pria itu membuka buku dan mulai mencatat hal hal penting yang bisa ia gunakan sebagai tambahan referensi esok.
"Sudah ta'aruf, nikah tanpa pacaran, juga berasal dari didikan pondok pesantren. Tapi kenapa mereka berpisah secepat itu? Apa Tuhan tidak merestui cara mereka?", gumam Aghnia, ia membolak-balikkan halaman buku, mencari jawaban dari pertanyaannya namun belum ia dapat.
"Karena Tuhan pasti menguji iman", celetuk Alfi pelan. Sukses membuat Aghnia menoleh padanya.
"Dia lagi dia lagi, kenapa harus ada dosen gila ini dimana-mana", batin Aghnia. Gadis itu menghela nafas panjang.
"Di sini diceritakan mereka menikah secara syar'i namun mereka memilih berpisah bahkan belum berusia setahun pernikahan", ujar Aghnia menunjuk buku yang ia baca. Alfi melihat sekilas buku yang ada di hadapan Aghnia.
"Motif dan tujuan menikah itu tentu Tuhan berhak menguji mereka. Jika kuat, mereka akan bertahan bahkan kepaduan hubungan mereka akan terpicu semakin kuat", terang Alfi seraya menatap Aghnia sekilas, membuat Aghnia terpaku memandang pria di sampingnya.
"Juga, Tuhan maha pencemburu. Semakin tinggi level keimanannya, Tuhan akan semakin mencintainya, beriring dengan tingkat kecemburuannya", tambah Alfi.
Gadis itu segera mengalihkan pandangannya sebelum Alfi menyadari dirinya terlalu lama memandang Alfi.
"Apa itu berarti manusia tidak boleh saling mencintai?", Aghnia penasaran.
"Singkatnya, tidak secara langsung", jawab Alfi.
"Maksudnya?", Aghnia tidak paham jawaban Alfi.
"Alam dan seluruh isinya adalah wujud rahmat Tuhan. Singkatnya, rasa cinta dan kebaikan dalam diri maupun orang yang dicintai, semua adalah kreasi Tuhan yang melibatkan mahluk itu untuk memicunya.
Wajar jika Tuhan merasa cemburu jika tidak dijadikan aktor utama dalam hubungan mereka, meski syar'i sekalipun", jelas Alfi.
"Jadi jika aku mencintai dosen killer ini aku harus meminta pada sang pemilik rahmat, bukan mengandalkan diri dan usaha yang tak seberapa ini", pikir Aghnia.
"Ck..", Aghnia berdecak seraya mengusap wajahnya merasakan rumitnya tentang perasaan.
"Apa kamu sudah menyelesaikan materi presentasi untuk besok?", tanya Alfi pelan agar tidak mengganggu pengunjung lain.
"Sudah sedari tadi siang, cek saja email pak Alfi", ketus Aghnia tanpa mengalihkan pandangannya dari buku.
"Jika dia disini bagaimana aku bisa menghilangkan rasa suntukku. Sial! Kejadian di mobil membuatku terus terbayang. Dasar Alfi bangsat!", umpat Aghnia dalam hati.
Alfi mengambil ponselnya yang berada di saku, mengecek surel dan melihat hasil materi presentasi yang dikirim Aghnia . Pria itu mengangguk puas dengan hasil kerja asistennya ini.
Aghnia mengambil earphone dalam totebagnya, menyumpal telinganya mengantisipasi berbagai pertanyaan yang akan dilontarkan Alfi padanya. Gadis itu ingin tenang, ia ingin mempelajari lebih dalam makna kehidupan lebih dalam tanpa gangguan.
Alfi mengernyit melihat Aghnia, heran dengan sikap gadis itu yang seakan enggan berbicara dengan siapapun. Ia mengendikkan bahu seraya melanjutkan membolak balik buku dan mencatatnya.
Dua jam berlalu, keduanya masih betah dalam kegiatan masing masing, meskipun Aghnia kini duduk dengan memeluk perutnya yang sedikit terasa nyeri. Bodohnya Aghnia lupa membawa obat.
Alfi berulang kali melihat Aghnia, ia khawatir dengan keadaan gadis itu. Namun ia hanya akan bertindak jika keadaan sudah sangat darurat.
Setelah perbincangannya dengan Elviana tadi siang, Alfi mencoba mengenal kedua wanita yang ia suka itu lebih dalam. Berusaha mengartikan perasannya kepada Aghnia dan Elviana. Apapun hasilnya ia serahkan pada Tuhan. Karena hanya Tuhan yang mampu mengatur kecondongan hati manusia.
"Duh, nyeri lagi", keluh Aghnia dalam hati.
Aghnia melepas earphone seraya meletakkannya di meja, lantas melihat jam di dinding menunjukkan pukul lima sore, masih satu jam lagi Risti akan menjemputnya. Namun gadis itu sudah tak tahan dengan rasa nyeri di perutnya dan sangat butuh berbaring.
"Di sana saja", batin Aghnia, meninggalkan semua barang bawaannya di meja lantas berjalan perlahan menuju tempat baca lesehan yang sepi untuk berbaring.
Kegelisahan Aghnia tak luput dari pandangan Alfi. Pria itu sempat melihat wajah pucat asistennya.
"Kemana dia? Kenapa barang barangnya tidak dibawa", monolog pria itu.
"Bahkan ponsel juga ia tinggalkan, dasar gadis ceroboh", gumam Alfi memperhatikan barang barang Aghnia di meja.
Pria itu mengendikkan bahu, kembali melanjutkan kegiatannya.
Setelah tiga puluh menit, Aghnia tak kunjung kembali membuat Alfi khawatir. Pria itu menimbang haruskah mencari gadis itu atau membiarkannya.
"Apa dia dalam masalah?", gumam Alfi.
Ponsel Aghnia yang berada di meja bergetar, membuyarkan pikiran Alfi. Penasaran, ia melirik id si penelepon.
"Ristiana", gumam Alfi. Ia membiarkan panggilan itu tak berniat mengangkatnya.
Tak lama ponsel Aghnia kembali bergetar dengan id penelepon yang sama. Alfi menoleh ke belakang mencari keberadaan Aghnia, namun nihil. Alfi kembali mengabaikan panggilan itu.
Hingga ke tiga kalinya ponsel Aghnia bergetar dengan id yang sama. Alfi menghela nafas panjang, memberanikan diri menerima panggilan di ponsel Aghnia.
"Kemana aja sih? kamu masih di perpustakaan kan? Sepuluh menit lagi aku akan menjemputmu. Jangan pesan ojek online!", cecar Risti setelah panggilan tersambung.
Alfi tak menyahut, ia hanya mendengarkan ocehan teman Aghnia.
"Aghnia? Nggak ada masalah kan?", heran Risti, temannya tak berbicara sama sekali.
Alfi segera mematikan panggilan di ponsel Aghnia tanpa menjawab sedikit pun pertanyaan Risti.
Pria itu memasukkan barang barang Aghnia ke dalam totebag gadis itu. Ia juga merapikan barang miliknya sendiri. Menggendong tasnya dan membawa totebag Aghnia. Menyusuri perpustakaan mencari keberadaan Aghnia.