NovelToon NovelToon
Kisah Kita, Dunia Di Balik Layar

Kisah Kita, Dunia Di Balik Layar

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Tamat
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: Sasyaaya

Cerita ini mengikuti kehidupan Keisha, seorang remaja Gen Z yang sedang menghadapi berbagai tantangan dalam hidupnya. Ia terjebak di antara cinta, persahabatan, dan harapan keluarganya untuk masa depan yang lebih baik. Dengan karakter yang relatable dan situasi yang sering dihadapi oleh generasi muda saat ini, kisah ini menggambarkan perjalanan Keisha dalam menemukan jati diri dan pilihan hidup yang akan membentuk masa depannya. Ditemani sahabatnya, Naya, dan dua cowok yang terlibat dalam hidupnya, Bimo dan Dimas, Keisha harus berjuang untuk menemukan kebahagiaan sejati di tengah kebisingan dunia modern yang dipenuhi tekanan dari berbagai sisi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sasyaaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Langkah Kecil Harapan Besar

Malam mulai larut, tapi kehangatan di ruang tamu rumah Keisha dan Raka masih terasa. Setelah pembicaraan serius mereka sebelumnya, Raka membuatkan secangkir teh hangat untuk mereka berdua. Ia tahu bahwa ini bukan sekadar obrolan biasa, melainkan sebuah langkah awal untuk memahami bagaimana menjalani peran baru ini bersama-sama.

"Sebenarnya, ada beberapa rekomendasi pengasuh anak dari teman kantor tadi," ujar Keisha, membuka percakapan. Ia menyesap teh hangat di tangannya, membiarkan aroma chamomile yang menenangkan meresap perlahan. "Mereka bilang, beberapa dari mereka cukup fleksibel dengan jadwal, dan aku pikir itu bisa jadi solusi yang baik."

"Serius? Kok kamu nggak cerita dari tadi?" Raka menatapnya dengan ekspresi antusias. "Kita bisa coba ngobrol dengan mereka. Tapi... kamu yakin nggak keberatan, Kei? Kamu terlihat sangat cemas soal ini."

Keisha menghela napas. "Aku... nggak tahu, Rak. Rasanya aneh. Aku pengin jadi ibu yang selalu ada buat Aira. Tapi di sisi lain, aku juga nggak mau kehilangan diriku sendiri... atau bahkan kesempatan buat bantu keluarga kita."

Raka menggenggam tangan Keisha erat, memberi tekanan lembut yang membuat Keisha merasa aman. "Dengar, Kei. Kamu bukan ibu yang buruk hanya karena kamu butuh bantuan. Kamu ibu yang luar biasa justru karena kamu berani mengambil keputusan yang sulit demi kebaikan kita semua. Aira tahu kamu sayang padanya, dan itu nggak akan berubah hanya karena ada orang lain yang bantu jaga dia saat kamu kerja."

Keisha tersenyum tipis, meskipun matanya sedikit berkaca-kaca. "Kamu selalu tahu apa yang harus dikatakan, ya? Kadang aku pikir kamu ini punya superpower buat nenangin aku."

"Hah! Kalau aku punya superpower, aku pilih buat bisa bikin Aira nggak nangis tiap sore," balas Raka sambil tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana. "Tapi serius, aku senang kamu mau mempertimbangkan opsi ini. Nggak apa-apa kalau kita butuh waktu untuk terbiasa, kita lakukan perlahan-lahan."

Keisha mengangguk pelan. "Oke, kita coba satu langkah dulu. Mungkin minggu depan kita bisa buat janji dengan salah satu rekomendasi dari temanku. Kita lihat dulu apakah mereka cocok sama kita dan Aira."

"Setuju! Aku juga pengen kenalan dulu sama mereka, biar bisa yakin kalau Aira bakal aman," sahut Raka. "Dan kalau nanti ternyata ada yang kurang cocok, kita cari lagi yang lain. Nggak perlu buru-buru."

Mereka duduk dalam keheningan sejenak, menikmati momen tenang itu. Meski diskusi ini adalah tentang perubahan besar dalam hidup mereka, terasa ada kelegaan setelah keputusan awal dibuat.

Keesokan harinya, saat Raka tengah sibuk menyiapkan sarapan, Keisha mengangkat teleponnya dan mulai menghubungi beberapa kontak yang dia dapatkan. Ia mencatat informasi penting dan membuat janji untuk bertemu dengan seorang pengasuh anak pada akhir pekan.

"Bagaimana, dapat jadwalnya?" tanya Raka sambil menggoreng telur. "Aku harap mereka bisa datang di akhir pekan biar kita bisa ngobrol sama-sama."

"Ya, aku sudah buat janji untuk Sabtu pagi. Katanya dia sudah punya pengalaman mengasuh anak balita, jadi kita bisa tanya lebih banyak nanti," jawab Keisha. "Aku cuma berharap aku nggak terlalu canggung saat ketemu."

Raka tertawa. "Kalau kamu canggung, aku yang bakal bawel nanya ini-itu. Biar dia tahu kita serius soal ini."

Sabtu pagi tiba lebih cepat dari yang mereka kira. Seorang wanita berusia sekitar tiga puluhan datang tepat waktu, tersenyum hangat saat Raka membukakan pintu. "Pagi, saya Raka. Ini istri saya, Keisha," ucap Raka memperkenalkan diri.

"Senang bertemu dengan kalian. Nama saya Dinda," balas wanita itu dengan sopan. "Saya dengar kalian sedang mencari pengasuh untuk putri kecil kalian?"

"Betul, namanya Aira. Umurnya baru 2 tahun, dan dia cukup aktif," jawab Keisha dengan senyum yang sedikit tegang. "Kami cuma butuh bantuan di beberapa hari tertentu, karena aku baru mulai bekerja lagi."

"Oh, aku paham kok. Banyak orang tua yang merasa seperti kalian ketika harus kembali bekerja," kata Dinda sambil duduk. "Aku sendiri sudah beberapa tahun bekerja sebagai pengasuh, jadi sudah terbiasa menghadapi anak-anak yang beradaptasi dengan hal-hal baru."

Mereka menghabiskan beberapa waktu berbicara tentang pengalaman Dinda, kebiasaannya dalam merawat anak-anak, serta bagaimana ia berinteraksi dengan keluarga yang dia bantu. Keisha merasa sedikit lebih tenang melihat cara Dinda menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka dengan tenang dan penuh percaya diri.

"Kamu terlihat cukup berpengalaman, Dinda," ujar Raka setelah mendengar penjelasan Dinda. "Tapi, jujur saja, kami cukup protektif soal Aira. Kami ingin memastikan kalau dia tetap merasa nyaman meskipun kami nggak selalu di rumah."

"Dan itu sangat bisa dimengerti," kata Dinda sambil mengangguk. "Aku selalu mencoba menjalin hubungan yang baik dengan anak-anak, supaya mereka nggak merasa asing sama aku. Kalau kalian mau, kita bisa coba beberapa hari dulu, biar Aira terbiasa."

Keisha melirik Raka, mencari tanda-tanda bahwa suaminya setuju dengan ide itu. Ketika ia melihat Raka mengangguk, Keisha akhirnya merasa yakin. "Oke, kita coba minggu depan. Tapi kalau Aira tampaknya nggak nyaman, mungkin kita harus bicarakan lagi."

"Deal," kata Dinda sambil tersenyum. "Aku akan berusaha sebaik mungkin untuk membuat Aira merasa aman dan nyaman."

Setelah Dinda pergi, Keisha duduk di sofa dengan perasaan campur aduk. Ia memikirkan betapa banyak hal yang telah berubah dalam hidupnya, dan bagaimana ia tidak pernah menduga akan sampai di titik ini—mempertimbangkan membiarkan orang asing membantu merawat putrinya. "Gila, ya, Rak. Kalau dipikir-pikir, semua ini berubah begitu cepat."

"Ya, memang cepat, Kei. Tapi bukan berarti buruk," jawab Raka sambil mengelus punggungnya. "Ini cuma fase baru yang harus kita lewati. Kita tetap orang tua Aira, kita tetap yang akan membimbing dia. Tapi nggak apa-apa kalau ada yang bantu kita sedikit."

Keisha menatap Raka, lalu tersenyum lebar. "Aku suka caramu melihat segalanya. Bikin semuanya terasa lebih ringan."

Raka menatapnya balik, lalu menggoda. "Tentu, dong. Karena kalau aku nggak bikin ringan, kamu nanti jadi mikir terlalu berat. Dan aku harus lebih sibuk lagi, bener nggak?"

Mereka berdua tertawa, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, Keisha merasa beban di pundaknya sedikit terangkat. Ia tahu bahwa masih banyak yang harus mereka hadapi, tapi setidaknya, ia tidak sendirian. Bersama Raka, ia akan mencoba menghadapi semua tantangan itu dengan hati terbuka dan kekuatan baru yang datang dari saling percaya.

Minggu pertama dengan Dinda sebagai pengasuh Aira telah berlalu. Keisha dan Raka memutuskan untuk mengevaluasi pengalaman mereka di akhir pekan. Mereka duduk di ruang tamu setelah Aira tertidur, menyeduh kopi sambil berbincang.

"Kamu lihat tadi? Aira malah ketawa pas Dinda nyanyi lagu anak-anak itu. Padahal biasanya dia cemberut kalau aku yang nyanyi," kata Raka sambil tertawa kecil.

Keisha mengangguk. "Aku juga kaget, sih. Awalnya aku pikir dia bakal lebih banyak nangis karena belum terbiasa. Tapi sepertinya, Dinda lumayan paham gimana cara menghibur dia."

Raka tersenyum, menyesap kopinya. "Sepertinya kita dapat jackpot, nih. Dinda kayaknya nggak cuma bisa jaga anak, tapi juga tahu cara bikin suasana jadi santai."

"Ya, tapi aku masih ada kekhawatiran, Rak," ujar Keisha, suaranya terdengar agak ragu. "Kita cuma baru seminggu coba, kan? Bagaimana kalau nanti ada masalah yang baru kelihatan setelah beberapa minggu?"

"Kei, tenang aja," Raka meletakkan cangkirnya, lalu menatap Keisha dengan serius. "Kalau ada apa-apa, kita bisa atur ulang. Kita selalu punya pilihan buat menghentikan atau mencari orang lain. Tapi yang terpenting sekarang, coba deh nikmati waktu yang kita punya. Ini langkah besar buat kita."

Keisha terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. "Kamu bener. Mungkin aku cuma terlalu cemas. Aku harus belajar buat santai sedikit."

Keesokan harinya, Dinda tiba di rumah Keisha dan Raka tepat pukul delapan pagi. Seperti biasa, ia menyapa dengan senyum ramah, membawa energi positif yang membuat suasana pagi lebih cerah.

"Pagi, Dinda," sambut Keisha sambil membuka pintu. "Aira lagi main di ruang tamu. Tadi dia baru selesai sarapan."

"Pagi, Mbak Keisha. Pagi juga, Mas Raka," balas Dinda dengan suara riang. "Hari ini aku mau coba ajak Aira main puzzle. Kalau nggak salah, aku lihat ada puzzle binatang di rak mainannya."

"Oh, bagus juga idenya. Dia lagi suka binatang-binatang kecil itu," kata Raka, berdiri dari sofa untuk menyapa Dinda. "Biar dia nggak bosan."

Dinda tertawa. "Iya, anak-anak seumuran dia biasanya senang kalau bisa memegang sesuatu dan mencoba menyusunnya. Aku juga mau coba nyanyi beberapa lagu yang dia suka, biar makin nyaman."

Keisha memperhatikan interaksi Dinda dengan Raka dan tersenyum lega. Ia merasa sedikit lebih yakin kalau Aira berada di tangan yang tepat saat ia dan Raka tidak ada di rumah. "Dinda, terima kasih ya udah bikin Aira kelihatan nyaman. Aku perhatikan dia cepat sekali akrab sama kamu."

"Senang sekali dengar itu, Mbak. Anak-anak biasanya hanya butuh waktu buat menyesuaikan diri. Selama kita sabar dan terus ajak mereka bicara, mereka akan merasa lebih aman," kata Dinda sambil tersenyum. "Oh, dan kalau ada yang Mbak atau Mas harapkan dari aku, jangan sungkan ya buat bilang."

Raka melihat jam tangannya dan menatap Keisha. "Wah, kita harus segera berangkat, Kei. Nanti bisa macet."

Keisha tersentak sedikit. "Iya, hampir lupa! Dinda, nanti kalau ada apa-apa, langsung telepon aja ya."

"Siap, Mbak! Tenang aja, aku akan jaga Aira baik-baik," sahut Dinda dengan percaya diri. "Selamat bekerja, semoga harinya menyenangkan."

Setelah pamit, Keisha dan Raka pun berangkat ke kantor. Di perjalanan, mereka masih membahas perkembangan Aira bersama Dinda.

"Kamu lihat, kan? Aku lega banget sekarang," kata Keisha sambil menyetir. "Rasanya beban di kepala ini sedikit terangkat."

"Memang, dia kelihatan profesional," kata Raka. "Tapi kita harus tetap awasi juga, Kei. Jangan sampai kita terlalu bergantung dan akhirnya malah nggak tahu kalau ada masalah."

"Aku setuju. Tapi untuk sekarang, rasanya kita bisa mulai bernapas lebih lega," jawab Keisha, kali ini dengan senyum yang lebih tenang.

Saat siang tiba, Keisha memutuskan untuk menelepon Dinda untuk mengecek keadaan Aira. Telepon itu diangkat setelah beberapa dering, dan terdengar suara riang Dinda di seberang sana.

"Halo, Mbak Keisha! Ada apa?" tanya Dinda.

"Halo, Dinda. Aku cuma mau cek, gimana Aira? Dia baik-baik aja?"

"Oh, dia baik-baik saja, Mbak! Sekarang lagi tidur siang setelah main puzzle dan nyanyi-nyanyi tadi. Tadi dia ketawa terus waktu aku bacain cerita tentang kucing. Kayaknya dia suka banget sama cerita binatang."

Keisha menghela napas lega. "Syukurlah. Aku cuma kepikiran aja, takut kalau dia rewel."

"Nggak usah khawatir, Mbak. Aku di sini untuk jaga dia, kok. Kalau ada apa-apa, aku pasti kasih kabar," jawab Dinda dengan meyakinkan.

"Terima kasih, Dinda. Aku benar-benar menghargai usaha kamu buat bikin Aira nyaman," kata Keisha sebelum menutup telepon. "Nanti kalau ada yang kamu butuhkan, kabari aja, ya."

Setelah menutup telepon, Keisha merasa jauh lebih tenang. Di kantor, ia bahkan bisa fokus menyelesaikan pekerjaannya tanpa terlalu banyak memikirkan hal lain.

Di rumah pada sore hari, ketika Keisha dan Raka baru saja pulang, mereka disambut oleh Dinda yang sedang bermain dengan Aira di lantai. "Selamat sore! Aira tadi udah sempat tidur siang, dan sekarang lagi main boneka," kata Dinda dengan ceria.

Keisha langsung menghampiri Aira, memeluknya dengan erat. "Halo, Sayang. Mama kangen sekali," katanya, tersenyum pada anaknya yang tertawa melihat wajah ibunya.

"Aira tadi nyanyi lagu ‘Balonku’ sama Tante Dinda. Lucu banget, dia bisa bilang ‘meletus’ sambil tepuk tangan," kata Dinda, menceritakan momen kecil yang membuat harinya lebih berwarna.

Raka tertawa. "Wah, berarti kamu udah mulai ajarin dia nyanyi, ya? Hebat!"

"Aku cuma ikut senang lihat anak kecil ceria, Mas," jawab Dinda sambil tertawa juga. "Ngomong-ngomong, besok aku ada ide buat ajak Aira main lukis dengan jari. Aku pikir itu bisa bantu dia berekspresi."

"Bagus banget ide itu! Aira pasti suka, dia senang main cat air waktu di daycare dulu," sahut Keisha dengan antusias.

Setelah memastikan semua berjalan baik, Raka dan Keisha merasa semakin yakin dengan keputusan mereka untuk melibatkan Dinda dalam keseharian Aira. Hari demi hari, mereka belajar membagi peran, menyeimbangkan karier dan keluarga, dan tetap saling mendukung satu sama lain. Meski perjalanan ini baru dimulai, mereka merasa lebih siap menghadapi tantangan apapun yang akan datang.

1
Cesar Cesar
Jalan cerita hebat.
OsamasGhost
Ini novel asyik banget thor, keep going!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!