(Siapkan kanebo kering untuk menyeka air mata juga mental yang kuat untuk marah-marah!)
Sheila, seorang gadis culun harus rela dinikahi secara diam-diam oleh seorang dokter yang merupakan tunangan mendiang kakaknya.
Penampilannya yang culun dan kampungan membuatnya mendapat pembullyan dari orang-orang di sekitarnya, sehingga menimbulkan kebencian di hatinya.
Hingga suatu hari, Sheila si gadis culun kembali untuk membalas orang-orang yang telah menyakitinya di masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kolom langit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menunjukkan Perhatian
Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, dimana sebagian penghuni rumah sudah terlelap. Marchel berada di dalam sebuah ruangan tempat monitor CCTV di rumah itu berada. Malam itu, ia ingin membuktikan ucapan ibu yang menuduh Sheila sengaja menumpahkan minyak di dapur hingga akhirnya ibu terjatuh.
Ia memeriksa rekaman CCTV dari berbagai sudut. Tangannya terkepal geram melihat satu persatu rekaman yang memperlihatkan dimana Sheila membersihkan kolam ikan dan juga taman belakang rumah. Marchel benar-benar tidak menyangka ibunya bisa melakukan semua itu pada Sheila. Ia menyalahkan dirinya sendiri yang selama ini seolah mengabaikan sang istri, sehingga memberikan celah bagi ibu dan Audry untuk menyakiti Sheila.
Marchel pun memeriksa rekaman CCTV yang mengarah ke dapur. Dan akhirnya, setelah beberapa menit memeriksa, tampaklah rekaman dimana Audry sengaja menumpahkan minyak di dapur. Marchel benar-benar geram dengan kelakuan gadis itu yang dengan sengaja memfitnah Sheila agar ibu semakin membencinya. Laki-laki itu kemudian meraih ponselnya dan meng-copy rekaman CCTV itu.
****
Ibu dan Audry saling melirik dengan penuh tanda tanya, mengapa Marchel meminta Bibi Yum membangunkan mereka di larut malam seperti itu. Mereka berjalan dengan saling mendorong pelan, memperhatikan Marchel yang sedang duduk di sofa ruang keluarga.
"Ada apa, Marchel?" tanya ibu.
Marchel melirik tajam pada dua wanita di depannya. "Duduklah, Bu! Bibi Yum juga duduk!" ucap Marchel. Ibu, Audry dan Bibi Yum pun duduk di sofa, berhadapan dengan Marchel. Laki-laki itu meletakkan ponselnya di meja dengan kasar, membuat ibu dan Audry kembali saling melirik. "Lihat itu, Bu!"
Wanita paruh baya itu meraih ponsel milik Marchel dan melihat tayangan video yang ada di sana. Matanya seketika terbelalak melihat rekaman CCTV itu. Ia sama sekali tidak menyangka jika Audry tega melakukan semua itu. Melihat rekaman itu, Audry hanya dapat menunduk malu. Takut jika Marchel akan mengusirnya dari rumah itu.
"Sekarang ibu tahu siapa yang menjadi racun di rumah ini, kan?" Marchel melirik tajam Audry.
"Tapi Marchel ini..."
"Jangan berusaha membelanya, Bu!" Marchel memotong pembicaraan ibu, lalu berdiri dari duduknya, "Audry, berani sekali kau lakukan semua ini pada istriku. Sekarang juga aku minta kemasi barang-barangmu dan pergi dari rumah ini!" bentak Marchel. Suara teriakannya menggema di ruangan itu.
Audry tidak dapat berkata-kata lagi. Ia hanya dapat menatap wanita paruh baya di sampingnya dengan wajah memelas. Seolah meminta bantuan. Ibu pun berdiri dari duduknya, mencoba meredam kemarahan putranya itu.
"Em ... Marchel ... Audry memang salah, tapi kita tidak perlu sampai mengusirnya kan? Ibu akan memintanya memohon maaf pada Sheila."
"Apa? Minta maaf?" Marchel menghela napas dengan kasar, "Saat Ibu mengira Sheila yang melakukannya Ibu sangat marah sampai mengurungnya di gudang. Dan sekarang Ibu tahu kebenarannya tapi malah membelanya? Apa maksud Ibu?" Marchel kembali berteriak.
Bagaikan makan buah simalakama, ibu terjebak dalam ucapannya sendiri. Membela Audry salah, namun ia masih tetap menolak Sheila.
"Bibi Yum, bantu dia mengemasi barang-barangnya sekarang juga."
Raut wajah Audry tiba-tiba memucat, sendi-sendinya terasa lemas mendengar ucapan Marchel. "Marchel aku mohon maafkan aku. Aku janji tidak akan mengulangi nya. Tapi aku mohon jangan usir aku. Bu, tolong jangan usir aku. Aku tidak punya siapa-siapa di sini." Audry merengek pada wanita paruh baya itu. Namun, Marchel terlihat semakin menggeram.
"Aku tidak mau tahu! Sekarang juga kau pergi dari rumah ini. Aku tidak mau istriku selalu menjadi korban kejahatan mu."
Ibu menghela napas, berusaha mengumpulkan keberaniannya. "Baik! Kalau kau bersikeras mau mengusir Audry dari rumah ini, maka ibu juga akan pergi bersama Audry," ancam ibu membuat Marchel semakin frustrasi.
"Hentikan, Bu!"
"Kau yang memilih Marchel, Audry tetap di rumah ini, atau ibu juga akan pergi bersamanya."
Marchel tidak tahu lagi cara menghadapi wanita yang telah melahirkannya ke dunia itu. Beberapa kali, ia menghela napas, pertanda sedang berusaha meredam amarahnya. Ia melirik Bibi Yum yang sejak tadi terdiam mendengar perdebatan itu.
"Baik!" Marchel mengangguk dengan geram. Tidak mungkin dirinya membiarkan ibu pergi dari rumah. "Kalau begitu beri dia hukuman yang sama dengan Sheila!"
"Apa?" Seakan ibu tidak percaya dengan ucapan anaknya itu. Sedangkan Audry sudah gemetar, keringat dingin mulai membasahi tubuhnya.
"Bu...." Audry kembali merengek dengan mata berkaca-kaca.
"Marchel, tapi gudang itu penuh debu dan..."
"Ibu tahu gudang itu penuh debu dan kotor, lalu kenapa ibu mengurung Sheila di sana?" Lagi-lagi Marchel menaikkan suaranya, membuat ibu dan Audry menunduk.
Bibi Yum pun tersenyum tipis, seolah mendukung Marchel. Wanita itu sangat geram dengan tindakan Audry dan ibu yang mengurung Sheila di sana.
Marchel meraih ponselnya yang berada di atas meja dan menghubungi beberapa penjaga rumah yang berada di pos. Hingga beberapa saat kemudian, dua orang pria akhirnya datang.
"Bawa dia ke gudang dan kunci rapat-rapat! Tidak seorang pun boleh membukakan pintu sampai pagi. Biarkan dia merenungi kesalahannya di sana!" ucap Marchel.
Dua orang pria itu menarik lengan Audry, walaupun gadis itu berusaha memberontak. Sedangkan ibu masih terus berusaha membela Audry.
"Marchel, setidaknya jangan lakukan ini. Kau bisa menghukumnya dengan cara lain."
"Cukup, Bu!" teriaknya. "Aku sudah menuruti keinginan ibu untuk tidak mengusirnya. Jadi biarkan dia menerima hukuman karena perbuatannya. Aku tidak mau dengar ibu membelanya lagi. Selamat malam, Bu!" Setelah mengucapkan itu, Marchel beranjak pergi meninggalkan ibu, menapaki satu-persatu anak tangga menuju kamarnya.
Setibanya di kamar, Marchel mendekat ke tempat tidur dimana Sheila masih terlelap. Ia membaringkan tubuhnya di sana dan menatap dalam-dalam wajah polos gadis kecil itu. Ada rasa bersalah yang teramat dalam setelah melihat seluruh rekaman CCTV itu. Ia mengecup kening sang istri dan memeluknya.
Maafkan aku, Sheila. Semua ini salahku. Mulai sekarang aku tidak akan membiarkan mereka menyakitimu seperti itu lagi.
*****************************
Pagi harinya...
Sheila terbangun dengan posisi masih di pelukan Marchel. Semalaman Marchel tak sedikit pun melepaskan pelukannya sehingga ia tidak dapat bergerak. Gadis itu menggeliat pelan, membuat Marchel terbangun dari tidurnya. Dinginnya udara yang berhembus dari AC ruangan itu membuat kedua orang itu betah bergelung di bawah selimut. Marchel pun enggan melepaskan Sheila yang sejak tadi bergerak-gerak mencoba melepaskan tangannya yang seakan membelenggu tubuhnya.
"Kak Marchel... Aku mau bangun," bisik Sheila sambil mencoba melepas tangan Marchel. Namun, Marchel seolah sengaja mengeratkan pelukannya.
Laki-laki itu membuka matanya perlahan, kemudian melirik jam yang menempel di dinding. "Ini masih jam lima pagi, Sheila... Kau mau apa bangun sepagi ini?"
"Sekolah," jawab Sheila sekenanya, membuat Marchel tersendak udara.
"Memang ada sekolah yang buka sepagi ini? Ayo tidur lagi!" Marchel membenamkan wajah Sheila di dadanya, sehingga gadis kecil itu dapat menghirup aroma tubuh sang suami yang baginya sangat wangi.
"Tapi..."
"Tidur, atau aku akan menciummu lagi seperti semalam," Ucapan Marchel yang seperti mengancam itu membuat Sheila membelalakkan matanya. Wajahnya seketika menjadi merah. Dan, walaupun pencahayaan ruangan itu temaram, Marchel masih dapat melihat merahnya wajah Sheila karena malu.
Laki-laki itu pun menyembunyikan seringainya. Dalam hati menertawakan kepolosan Sheila. Bahkan Marchel dapat merasakan debaran jantung gadis itu yang terasa lebih cepat dari biasanya, karena tubuh Sheila benar-benar menempel padanya.
Dengan terpaksa, Sheila memejamkan kembali kedua matanya rapat-rapat, walaupun rasa kantuknya sudah hilang. Hingga aroma mint yang begitu segar terasa bertiup di wajahnya.
Marchel yang sebelumnya sangat dingin, tiba-tiba berubah menjadi sangat usil. Sang dokter sedang meniup-niup wajah Sheila, sehingga tiupannya membuat bulu mata Sheila yang lentik bergerak-gerak dengan lucu. Sheila pun membuka matanya ketika mendengar kekehan kecil dari Marchel yang sengaja menjahilinya.
Sheila mengerucutkan bibirnya, menyadari kelakuan iseng dari suaminya itu. Dan entah mengapa hal itu terlihat begitu seksi bagi Marchel, ditambah rambut panjang Sheila yang acak-acakan. Benar kata pepatah yang mengatakan, kucing mana yang akan menolak jika di depannya ada makanan. Seperti itulah Marchel pada Sheila. Ia lelaki normal yang sedang berdua dengan istrinya.
Marchel kembali mengecup bibir Sheila dengan gemasnya, dan sesekali memberi gigitan. Sheila yang terkejut hanya mematung, tanpa respon ataupun balasan. Dan, ketika Marchel melepasnya, wajah gadis kecil itu kembali merona, lebih dari saat Marchel menggodanya tadi.
"A-aku... Mau kembali ke kamarku! Ma-mau mandi..." ucap Sheila terputus-putus saking gugupnya.
Marchel mengecupi kening Sheila dengan sayang, kemudian melepas tangannya yang sejak tadi membelenggu tubuh sang istri.
"Ambil pakaianmu di kamarmu, lalu mandi di sini saja. Mulai sekarang kau akan tinggal di kamar ini bersamaku," ucap Marchel sebelum akhirnya Sheila terbangun dan kembali ke kamarnya dengan wajah yang memerah.
"Kenapa dia menjadi sangat menggemaskan?" gumam Marchel.
****
Sheila sudah rapi dengan seragam sekolahnya, ketika keluar dari kamar Marchel. Di depan ada ibu yang sudah berdiri sejak tadi di sana. Seketika, Sheila menundukkan kepalanya menyadari tatapan tajam wanita yang seperti akan membelah tubuhnya menjadi dua bagian.
"Se-selamat pagi, Bu!" ucap Sheila menahan rasa takutnya.
Sesaat kemudian, Marchel muncul dari balik pintu, dan langsung melingkarkan tangannya di pinggang Sheila. "Selamat pagi, Bu!"
Ibu begitu terkejut melihat perlakuan Marchel pada Sheila yang berubah 180derajad. Jika hari kemarin Marchel sangat dingin, kini ia menunjukkan perhatian pada istrinya itu.
"Marchel, ini sudah pagi. Berikan kunci gudangnya. Kau sudah cukup menghukum Audry."
Marchel pun masuk kembali ke dalam kamar, mengambil kunci gudang dan memberikannya pada ibu.
"Ayo, kita turun!" ucap Marchel pada Sheila. Lalu dengan segera menuruni tangga menuju ruang makan.
Sementara ibu yang belum percaya pada penglihatannya, masih membeku di depan pintu. Wanita paruh baya itu pun tersadar dari lamunannya, lalu bergegas menuju gudang untuk mengeluarkan Audry.
******
Sarapan berlangsung dengan saling diam antara ibu dan juda Audry. Wanita itu baru saja menjalani hukuman dikurung di gudang. Sepanjang malam ia ketakutan karena di gudang itu sangat gelap.
Tidak ada obrolan apapun dari Audry dan ibu selama sarapan berlangsung. Kedua orang itu masih begitu takut mengingat kemarahan Marchel semalam ketika mereka mengurung Sheila di gudang. Yang ada hanya ucapan Marchel yang sesekali menunjukkan perhatiannya pada Sheila, ia menyuapkan sepotong roti pada Sheila dan kemudian memasukkan sisa potongannya ke mulutnya. Membuat Audry seakan terbakar oleh rasa cemburu.
Marchel memang sengaja menunjukkan pada ibu dan Audry status Sheila sebagai istrinya. Sementara Sheila hanya dapat menundukkan kepalanya, merasa tidak enak pada Audry dan ibu yang sejak tadi menatap geram padanya.
****
"Kau jangan pulang naik bus! Nanti aku akan meminta sopir menjemputmu dan membawamu ke rumah sakit." Marchel membenarkan kacamata Sheila, lalu memberi kecupan di kening.
"Iya," jawab Sheila singkat.
Marchel kemudian mengeluarkan dompet dari saku celananya dan memberikan sebuah kartu kepada Sheila. "Ambil ini!" ucapnya sambil menyodorkan sebuah kartu.
"Tidak usah, Kak. Aku juga tidak butuh apa-apa. Aku tidak jajan di sekolah."
"Ambil atau aku akan menciummu lagi!"
Sheila menganga tak percaya mendengar ucapan Marchel yang sekarang sangat suka mengancam dan cenderung mesum. Susah payah Sheila menelan salivanya, dengan wajah kembali merona untuk kesekian kalinya. Gadis itu meraih kartu yang diberikan Marchel padanya, dan memasukkan ke saku kemejanya.
"Te-terima kasih!"
"Pin-nya akan aku kirim ke nomormu."
"Iya, Kak!" Buru-buru, Sheila turun dari mobil dan mempercepat langkahnya memasuki gerbang sekolah. Sementara Marchel masih betah menatap punggung sang istri yang sudah menjauh.
Matanya membulat sempurna ketika melihat di kejauhan sana ada Rayhan yang langsung menghampiri Sheila. Tiba-tiba, udara dingin dalam mobil terasa begitu panas bagi lelaki itu.
"Dia lagi. Kenapa dia begitu senang mendekati istri orang?!" gumam Marchel menahan rasa kesalnya.
Sheila dan Rayhan sudah menghilang dari pandangan Marchel, membuat laki-laki itu segera menyalakan mesin mobil dan meninggalkan tempat itu, menuju rumah sakit tempatnya bekerja. Sepanjang jalan, tak henti-hentinya Marchel menggerutu kesal, mengumpati Rayhan yang selalu mendekati Sheila.
****
Dasar audry jahat misahin anak dari orang tuanya 😡
Mending sheila di rumahnya sama bi yum, lebih aman..
Biar marchel menyesal sama semua ucapannya