Cintanya pada almarhumah ibu membuat dendam tersendiri pada ayah kandungnya membuatnya samam sekali tidak percaya akan adanya cinta. Baginya wanita adalah sosok makhluk yang begitu merepotkan dan patut untuk di singkirkan jauh dalam kehidupannya.
Suatu ketika dirinya bertemu dengan seorang gadis namun sayangnya gadis tersebut adalah kekasih kakaknya. Kakak yang selalu serius dalam segala hal dan kesalah pahaman terjadi hingga akhirnya.........
KONFLIK, Harap SKIP jika tidak biasa dengan KONFLIK.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NaraY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32. Galau.
Malam hari Om Juan datang ke rumah Bang Rama. Seperti biasa Bang Rama seperti malas menanggapinya.
"Saya kesini untuk menyerahkan seluruh aset saya untuk Letnan kecil." Kata Om Juan menyerahkan seluruh berkas 'kekayaan' yang di milikinya.
"Saya mampu menghidupi Dilan dan Rudha." Jawab Bang Rama.
"Iya, Om yakin kamu mampu. Ini hanya sekedar hadiah atas lahirnya Letnan kecil juga bentuk tanggung jawab Om sebagai ayahnya."
Dalam hati kecil Bang Rama tidak menerimanya tapi kenyataan bahwa memang Rudha adalah darah daging Om Juan.
"Bagaimana? Bisa di terima, kan??" Tanya Om Juan.
"Saya tidak berhak menjawabnya meskipun saya ingin sekali menjawabnya. Harus saya akui jika benar adanya Om Juan adalah ayah biologis dari Rudha. Jadi silakan Om dan Dilan untuk membahasnya berdua." Jawab Bang Rama kemudian beranjak tapi Dilan menahannya.
Papa Hanggar pun menahan agar Bang Rama tetap berada. Papa Hanggar merasa putranya kembali meradang dan pastinya selalu merasa 'panas' setiap melihat Juan, sahabatnya.
Dilan menyadari perasaan suaminya. Setelah Bang Rama kembali duduk, Dilan mengusap pelan punggung Bang Rama dan menatap kedua bola mata pria yang pernah mengisi hidupnya walau sesaat.
"Dilan berusaha untuk adil meskipun mungkin tetap ada yang tidak nyaman di hati. Bang Juan adalah ayahnya Rudha tapi sekarang Bang Rama juga Papanya. Jadi.. Dilan minta ijin sama Papanya Rudha untuk mengambil beberapa buah surat ini sebagai bentuk tanggung jawab dari Bang Juan dan selebihnya Dilan percayakan pada Bang Rama sebagai Papanya Rudha. Dilan harap Bang Juan sudah tidak mempertanyakan apapun lagi saat surat berharga itu Dilan bawa." Kata Dilan.
Bang Rama menoleh. Bagi Bang Rama yang melihat Dilan sebagai seorang wanita muda sudah cukup dewasa dalam mengatasi masalah. Mungkin ada rasa kesal karena Dilan mengambil beberapa aset yang ada namun dirinya juga tidak bisa menghalangi seorang ayah yang ingin memberi nafkah pada putranya.
"Bagaimana, Bang?" Tanya Dilan pada Om Juan.
"Saya ikut katamu saja. Tapi jika kamu menginginkan semua ini, saya rela memberikannya untukmu. Biar Rama yang mengaturnya..!!" Jawab Om Juan.
"Abang bagaimana?" Dilan menyentuh paha Bang Rama yang masih menatap tajam ke arah Om Juan.
"Terserah." Jawab Bang Rama singkat.
Papa Hanggar mengarahkan agar Om Juan bisa lebih sabar menghadapi Bang Rama dengan temperamen tinggi.
:
Hawa panas di hati Bang Rama kembali membuatnya meradang saat Papa Hanggar dan Om Juan menimang baby Letnan.
"Wajahnya mirip denganku, kan?" Tanya Om Juan.
"Ya karena Rudha memang anakmu. Apa Rudha harus mirip tetanggamu?" Jawab Papa Hanggar menanggapi.
Dilan menyentuh bahu Bang Rama. Ia melihat wajah lesu bercampur gelisah apalagi tangan Bang Rama mengepal kuat, matanya nampak memerah menahan basah.
"Maaf, Dilan mengecewakan Abang." Kata Dilan.
"Mengecewakan apa? Kamu tidak salah."
Bang Rama melangkah menjauh dari sekitar kamarnya. Ia memilih duduk di belakang rumah sambil menyulut rokoknya. Seperti biasa benda kecil itu akan menjadi penenang sementara saat hatinya sedang gundah.
"Abang ingin anak laki-laki??" Tanya Dilan.
Bang Rama sekilas menoleh. "Kalau bisa, perempuan saja. Yang cantik dan mirip denganmu."
Dilan mengangguk, agaknya Dilan mengerti perasaan suaminya saat ini. Meskipun tak terucap tapi Bang Rama juga menyimpan lukanya sendiri bahwa kenyataan dari wajah Rudha sudah membuktikan bahwa Rudha memang bukan darah dagingnya.
"Insya Allah kita punya anak perempuan ya, Bang."
Bang Rama memeluk Dilan dan bersandar pada dada sang istri. "Abang sudah tau bahwa semuanya tidak mungkin, tapi kenapa hati Abang tetap sakit kalau ada yang bilang wajahnya tidak mirip denganku. Sejahat itukah hati Abang??"
Dilan mengusap rambut Bang Rama. "Apakah itu penting?? Wajah tidak mengartikan apapun, tapi kelakuan Rudha sangat mirip dengan Abang. Telat susu saja si Letnan sudah marah dan mengamuk, suaranya sampai terdengar satu kabupaten. Bukankah Abang tau kalau Bang Juan tidak seperti itu." Balas Dilan.
"Rudha anak ku, kan??"
"Iya lah.. anak siapa lagi." Ucap Dilan meskipun semua hanya bualan semata. "Sabar ya Pak Danton. Nanti kita buat anak perempuan."
Bang Rama pun tersenyum tipis, agaknya luka di hatinya sedikit terobati. "Darimana kamu belajar nakal?"
"Apa nakal sama suami perlu belajar?"
Bang Rama kembali membuang wajahnya, senyum itu pudar dan berubah menjadi kesal.
"Ya ampun Tuhan, mengurus anak memang susah tapi mengurus anaknya mertua ternyata dua kali lebih susah." Jawab Dilan kemudian sedikit membungkuk dan mengarahkan wajah agar berhadapan dengan wajah Bang Rama. "Dilan tidak pernah seperti ini sama Bang Juan bahkan dengan pria manapun karena Dilan tidak cinta."
Ekor mata Bang Rama mulai melirik Dilan. Pipinya memerah tapi gengsi untuk mengakui.
"Abang cinta sama Dilan atau tidak??"
"Pertanyaan konyol macam apa itu?? Kenapa wanita selalu ingin pengakuan cinta??" Bang Rama beranjak dan menghindar tapi dengan cepat Dilan mengecup bibirnya. "Apa sih kamu, dek. Banyak orang di rumah." Tegur Bang Rama.
"Kalau sepi?? Boleh nggak, Bang."
Akhirnya Bang Rama pun tersenyum lebar salah tingkah, ia terus menghindari tatapan mata Dilan.
"Keterlaluan kamu, dek. Beraninya saat ada reparasi lorong. Coba kalau nggak sedang reparasi....." Bang Rama melangkah hingga Dilan tersudut di dinding belakang rumah. "Masih berani kamu goda Abang??" Seringai Bang Rama tersenyum licik.
.
.
.
.