Dalam hidup, cinta dan dendam sering kali berdampingan, membentuk benang merah yang rumit. Lagu Dendam dan Cinta adalah sebuah novel yang menggali kedalaman perasaan manusia melalui kisah Amara, seseorang yang menyamar menjadi pengasuh anak di sebuah keluarga yang telah membuatnya kehilangan ayahnya.
Sebagai misi balas dendamnya, ia pun berhasil menikah dengan pewaris keluarga Laurent. Namun ia sendiri terjebak dalam dilema antara cinta sejati dan dendam yang terpatri.
Melalui kisah ini, pembaca akan diajak merasakan bagaimana perjalanan emosional yang penuh liku dapat membentuk identitas seseorang, serta bagaimana cinta sejati dapat mengubah arah hidup meskipun di tengah kegelapan.
Novel ini mengajak pembaca untuk merenungkan arti sebenarnya dari cinta dan dampaknya terhadap kehidupan. Seiring dengan alunan suara biola Amara yang membuat pewaris keluarga Laurent jatuh hati, mari kita melangkah bersama ke dalam dunia yang pennuh dengan cinta, pengorbanan, dan kesempatan kedua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susri Yunita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 35 Drama Resepsi Pernikahan Dante
Ballroom besar keluarga Laurent dihiasi dengan lampu kristal yang berkilauan, musik klasik lembut, dan tamu-tamu terhormat yang memenuhi ruangan. Ini adalah pesta resepsi pernikahan Dante dan Mia, dua keluarga elit yang bersatu. Semua orang terlihat bahagia, kecuali sang pengantin pria.
Dante berdiri di sudut ruangan, mengenakan setelan formal yang sempurna, tetapi wajahnya dingin dan tanpa ekspresi. Di sampingnya, Mia tersenyum penuh percaya diri, menikmati pujian dari tamu-tamu yang memujinya sebagai pengantin tercantik malam itu.
Namun, ada sesuatu yang berbeda malam itu. Semua berubah saat Amara muncul.
Amara datang brsama Luca, dengan gaun berwarna biru muda, penampilannya kontras dengan gemerlap tamu lainnya, sederhana namun Anggun dan begitu manis. Langkahnya pelan, tubuhnya terlihat lemah, tetapi matanya tetap menampilkan keteguhan. Alessia segera menghampirinya.
"Amara! Apa yang kau lakukan di sini? Kau tidak perlu memaksakan diri," kata Alessia panik, memegang lengannya.
"Aku harus datang, Kakak. Aku ingin menunjukkan bahwa aku tidak lemah di depan mereka," jawab Amara dengan suara pelan.
Di tengah ballroom, Dante yang awalnya tampak tak peduli langsung mendongak begitu melihat sosok Amara. Mata mereka bertemu sebentar, tetapi Amara segera mengalihkan pandangannya. Jantung Dante berdegup kencang, namun ia menahan diri untuk tidak menghampirinya.
Mia, yang sejak awal memperhatikan Amara, langsung melihat kesempatan untuk menyakiti perempuan itu. Dengan senyum tipis penuh sindiran, Mia memegang mikrofon dan berkata, “Amara, kau datang! Kau harus memainkan sebuah lagu untuk kami. Sebagai tanda dukunganmu untuk pernikahan ini.”
“Mia, apa yang kau lakukan? Bukankah kau sudah berjanji tidak akan menyentuh Amara lagi? Kau pikir untuk apa aku menikahimu?” bisik Dante dengan sorotnya yang tajam.
“Justru aku semakin tidak suka pada alasanmu itu, Dante,” jawab Mia dengan suara yang hanya bisa didengar oleh mereka berdua. Mia tetap memasang bibir tersenyum dipaksakan, seolah-olah mereka berbisik karena Bahagia.
Ruangan mendadak hening. Semua mata tertuju pada Amara, termasuk Dante. Alessia segera memegang tangan Amara lebih erat.
“Amara, tolong jangan. Jangan biarkan Mia mempermainkanmu,” bisik Alessia dengan nada khawatir.
“Kau tak perlu sejauh itu, Amara. Kau tidak layak disakiti oleh orang macam Mia, tetaplah di sini nikmati pestanya, ada aku,” Luca juga berusaha mencegah Amara.
Namun, Amara melepaskan genggaman Alessia, dan juga tak mendengarkan Luca. “Tidak apa-apa, ini untuk yang terakhir kali. Aku tidak akan kalah darinya,” jawabnya dengan suara pelan tetapi penuh tekad.
Amara melangkah ke depan, menuju grand piano di tengah ballroom. Setiap langkah terasa berat, tetapi ia tetap maju dengan kepala tegak. Dante mengepalkan kedua tangannya di samping tubuhnya, wajahnya menegang, menahan emosi yang meluap. Tidak ada yan berani bertepuk tangan kecuali Nyonya Laurent.
Amara duduk di depan piano, mengambil napas dalam, lalu mulai memainkan River Flows in You karya Yiruma. Lagu itu mengalir lembut, penuh perasaan, tetapi setiap nada membawa kepedihan yang mendalam.
Tamu-tamu yang semula sibuk berbincang mulai diam. Suara piano memenuhi ruangan, membawa suasana yang menggetarkan hati. Alessia yang berdiri di belakang Amara tidak bisa menahan air matanya.
Dante hanya bisa memandang Amara dari jauh. Tangannya mengepal semakin erat, matanya berkaca-kaca. Setiap nada yang dimainkan Amara terasa seperti tamparan bagi Dante, mengingatkan pada semua kenangan mereka yang kini hanya tinggal luka.
Ketika lagu itu berakhir, tepuk tangan memenuhi ruangan, tetapi Amara hanya menunduk pelan, lalu bangkit dari tempat duduknya. Tanpa mengatakan apa-apa, ia meninggalkan piano dan berjalan keluar dari ballroom.
Alessia mencoba mengejarnya, tetapi Amara menolak dengan lembut. Luca yang melihat Amara tidak baik-baik saja memaksa untuk mengikutinya dan mengantar Wanita itu pulang lebih awal.
Di rumah, tubuh Amara semakin lemah. Ia hampir tidak sampai ke kamarnya. Setelah Luca pergi, salah satu pelayan keluarga Laurent menemukannya tergeletak di ruang tamu, tak sadarkan diri.
Pelayan itu segera menelepon salah satu staf kepercayaan Dante di pesta, yang langsung menyampaikan berita tersebut kepada Ben, asisten pribadi Dante.
---
Di tengah pesta, Ben menghampiri Dante dengan langkah tergesa. Ia berbisik pelan, “Bos, Kakak Ipar, eh maksudku, Nyonya Amara sudah pulang ke rumah. Pelayan bilang dia terlihat sangat lemah.”
Dante mendengarkan dengan ekspresi dingin. “Oya? Sudah lah, tidak perlu dibahas lagi,” jawabnya datar, tetapi hatinya gelisah.
Beberapa menit berlalu, Ben kembali mendekatinya. Kali ini nada suaranya lebih mendesak. “Bos, pelayan baru saja menelepon. Kakak Ipar ditemukan tak sadarkan diri di ruang tamu.”
Wajah Dante langsung berubah. Ia mencoba menyembunyikan keterkejutannya, tetapi hatinya berdebar keras. Tanpa banyak bicara, ia berbalik dan berjalan cepat keluar dari ballroom.
“Dante!” Mia memanggilnya dengan suara tajam. “Kau mau ke mana? Ini pesta pernikahan kita!”
Dante berhenti sejenak, menoleh ke arahnya dengan tatapan dingin. “Ada hal yang lebih penting.”
“Apa? Kau akan meninggalkan pesta ini? Dante, kau mempermalukan aku!” seru Mia, nadanya semakin tinggi.
“Jika kau benar-benar peduli, kau tidak akan menahanku sekarang,” jawab Dante tegas sebelum melangkah pergi.
Mia berdiri mematung, wajahnya merah karena marah dan malu. Para tamu mulai memperhatikan keributan kecil itu, tetapi Dante tidak peduli. Ia masuk ke mobilnya dan langsung melaju menuju rumah Laurent.
Ketika Dante tiba di rumah, ia langsung menuju ruang tamu. Di sana, Amara sudah diletakkan di sofa, wajahnya pucat, dan napasnya pelan. Seorang dokter sudah dipanggil dan tengah memeriksanya. Alessia berdiri di sampingnya dengan wajah penuh kekhawatiran.
“Apa yang terjadi?” tanya Dante dengan suara rendah tetapi penuh tekanan.
“Dia terlalu lelah dan stres. Tubuhnya tidak bisa menanggung semuanya,” jawab dokter. “Ia membutuhkan istirahat total dan jauh dari tekanan.”
Dante berlutut di samping sofa, menggenggam tangan Amara yang dingin. “Amara…” bisiknya, hatinya terasa seperti dihancurkan berkali-kali. Ia menggendong Amara ke kamarnya di lantai atas dan memutuskan untuk tetap di sisi Amara, mengabaikan segala konsekuensi yang mungkin terjadi di pesta yang ia tinggalkan.
Di tengah malam, Amara perlahan membuka matanya. Di sebelahnya, Dante duduk diam, menatapnya dengan wajah yang penuh kekhawatiran.
"Dante..." suara Amara lemah, nyaris seperti bisikan.
“Kau sadar,” jawab Dante, suaranya pelan tetapi penuh rasa lega. Namun, matanya yang memerah menunjukkan bahwa ia telah melewati malam yang berat.
Amara mencoba duduk, tetapi tubuhnya terasa terlalu lemah. Dante dengan sigap membantunya, menyelipkan bantal di belakang punggungnya. "Kau terlalu memaksakan diri," ucap Dante sambil menatapnya.
“Kenapa kau di sini? Bukankah pesta pernikahanmu belum selesai?” tanya Amara dengan suara dingin, meskipun hatinya berdetak cepat karena keberadaan Dante begitu dekat.
Dante terdiam sejenak, lalu berkata dengan nada tegas, “Aku tidak peduli dengan pesta itu. Kau lebih penting.”
Amara tersenyum tipis, tetapi senyumnya tidak sampai ke matanya. “Kau tidak perlu melakukannya, Dante. Aku baik-baik saja. Kau bisa kembali ke Mia.”
Dante menggeleng. “Berhenti berpura-pura, Amara. Aku tahu kau tidak baik-baik saja.”
Mata Amara berkilat dengan emosi yang tertahan. Ia menoleh menjauh, menatap kosong ke arah jendela. “Aku tidak mau membahas ini. Aku hanya ingin sendiri.”
“Amara...” suara Dante melunak, mencoba mendekatinya.
Namun, Amara segera menegakkan tubuhnya, meskipun terasa sakit. “Dante, aku serius. Pergilah. Aku tidak ingin menjadi penghalangmu lagi. Hidupmu sekarang bersama Mia. Aku ingin melanjutkan hidupku juga, tanpa kamu. Mungkin juga dengan lelaki lain suatu hari nanti,”