Please, Zielle. Jangan kepikiran itu sekarang!
Gue pura-pura cek keadaan Asta, merapikan selimutnya biar kelihatan sibuk. Tiba-tiba, Anan muncul dari sisi lain kasur. Gue lihat dia sambil mengeluarkan sepatu.
"Lo lagi ngapain, sih?" tanya gue, tapi dia diam saja, malah lanjut melepas sepatu terus mulai buka kancing kemejanya. "Anan!"
"Lo kira gue bakal pulang dalam keadaan kayak begini?" Dia pasang muka memelas, bikin napas gue hampir berhenti. "Lagian, enggak baik buat lo tidur sendirian sama cowok."
"Oh, jadi baiknya gue tidur sama dua cowok sekaligus, gitu?"
Anan mengabaikan omongan gue dan melepas kemejanya.
Ya ampun, Pangeran, tolonglah!
Pipi gue langsung panas, merah kayak tomat. Ternyata dia punya tato lain di bagian bawah perut dan di sisi kiri dadanya. Tangan dia mulai ke arah kancing celananya.
"Stop! Jangan! Kalau lo lepas celana, lo tidur di lantai!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cerita
...Zielle...
...────୨ৎ────જ⁀➴...
Dingin...
Gue bangun gara-gara kedinginan, badan gue menggigil enggak karuan. Sambil mengomel, gue buka mata. Cahaya menyorot langsung ke mata gue, bikin gue harus setengah merem.
Kenapa dingin banget, sih?
Gue bahkan enggak ingat kapan terakhir gue nyalain AC.
Hal yang pertama kali gue lihat, ada rak yang penuh sama piala dan sertifikat kejuaraan. Gue langsung bingung karena enggak merasa pernah punya barang kayak begitu di kamar gue. Pas penglihatan gue mulai jelas, gue sadar kalau ini bukan kamar gue.
“Hah?” Gue langsung duduk tegak, tapi kepala gue cenut-cenut.
“Duh!” Tangan gue langsung tahan kepala, sementara perut sudah terasa mual dan berontak.
Ini gue di mana, sih?
Baru juga pertanyaan itu muncul di kepala, tapi semesta langsung menjawab, karena ada sesuatu, atau lebih tepatnya seseorang, yang gerak-gerak dikit di sebelah gue.
Gue kaget setengah mati, langsung menoleh ke arah situ. Enggak lama, gue teriak, tapi enggak ada suara yang keluar. Gue malah buru-buru mundur dari atas ranjang, terus jatuh ke lantai dengan posisi yang enggak enak banget.
Sakit.
Mampus.
Perlahan, gue intip ke atas ranjang, dan... iya, itu dia.
Anan Batari, tidur santai, tidur telentang, satu lengannya menutupi wajah. Selimutnya cuma berhasil menutupi dari pinggang ke bawah, dan dadanya kelihatan jelas karena dia enggak pakai baju.
Refleks, gue langsung mengecek tubuh gue sendiri. Untungnya, gue masih pakai kaos.
Gue tepuk-tepuk muka sendiri. “Sialan! gawat!”
Apa yang barusan terjadi?
Gue udah niat kali ini, enggak mau kejeblos lagi.
Terus kenapa gue malah di sini?
Oke, Zielle, tenang.
Pikirkan baik-baik.
Ingat.
INGAT!
Semuanya kayak puzzle yang keburu diacak-acak, ada yang blur, ada yang hilang. Hal terakhir yang gue ingat, gue lagi duduk di meja bareng Niria, Asta, Calio, sama Gori. Terus habis itu gue sama Gori naik tangga.
Kita mau ke toilet, ya?
Arggh!
Terus Anan...
Di balkon...
Habis itu, sudah.
Kosong.
Gelap.
MENYEBALKAN!
Yang anehnya, gue malah enggak terlalu peduli kalau gue sudah kejeblos lagi sama dia. Yang bikin gue kesel setengah mati itu perasaan enggak enak karena enggak ingat apa-apa.
Kita tadi sempat “begituan” enggak, ya?
Gue rasa Anan enggak bakal melakukan apa-apa kalau gue lagi mabuk parah. Tapi tetap saja, gue harus pergi dari sini.
Gue berdiri pelan-pelan, tapi malah pusing. Jadi gue tarik napas dalam dulu. Anan masih tidur, lengannya di muka, bibirnya sedikit terbuka, dada dan perutnya masih enggak tertutup.
Sepatu gue di mana?
Baju gue di mana?
Pasti ada di sekitar sini, kan?
Jam berapa sekarang?
Niria pasti sudah panik, gue yakin dia sekarang lagi bingung nyariin gue. Untung kemarin gue bilang ke nyokap kalau gue bakal menginap di rumah Niria. Kalau enggak, udah kelar hidup gue.
Otak gue yang masih setengah tidur mulai mencari-cari HP, terus gue ingat sesuatu yang bikin gue tampar jidat.
“HP lo, kan, udah dicopet beberapa minggu lalu, Zielle. Sadar napa!” balas jidat gue.
Gue mulai cari baju sambil merangkak pelan-pelan. Tapi, enggak ketemu sama sekali.
Baju gue di mana, sih?
Kalau kita memang lepas baju di sini, harusnya baju gue ada di sekitar sini, dong?
Atau jangan-jangan gue buka baju di tempat lain terus pindah ke sini?
Aduh, demi Tuhan!
Gue lihat ada pintu setengah terbuka di sebelah kanan, kayaknya itu kamar mandi. Gue masuk, dan ya ampun, baju gue ada di lantai sebelah bathtube.
Gue langsung lega, setidaknya gue enggak perlu keluar cuma pakai kaos oblong doang. Gue tutup pintu kamar mandi, terus ambil kaos putih gue yang ada motif bunga-bunga. Tapi pas gue mau angkat, bau muntah menyerang hidung gue.
Muntah?
Gue muntah?
Ya Tuhan, apa yang gue lakukan semalam?
Gue enggak mungkin banget pakai kaos putih bunga itu lagi. Rok gue juga di sana, kotor, tapi gue masih bisa cuci bagian yang kena muntahnya saja di wastafel.
Gue enggak bakal keluar cuma pakai kaosnya Anan tanpa bawahan. Jadi, meskipun basah di beberapa bagian, gue tetap pakai roknya. Itu enggak bantu sama sekali buat mengurangi dingin, badan gue gemetaran, tapi gue berusaha santai sambil sikat gigi pakai jari.
Gori.
Gue ingat samar-samar kalau gue sempat mencoba memanfaatkannya semalam. Gue harus minta maaf ke dia nanti.
Pas balik ke kamar, gue sempatin buat melirik ke arah Anan. Badannya yang putih tanpa baju kontras banget sama warna biru seprainya. Gue gigit bibir, menahan diri biar enggak lompat ke dia, mencium setiap bagian tubuhnya, dan merasakan dia lagi.
Fokus, Zielle. Fokus.
Pelan-pelan, gue pegang gagang pintu. Tapi pas gue putar, pintunya enggak terbuka.
Apa?
Gue coba lagi lebih keras, tapi tetap enggak bisa. Gue periksa gagangnya, dan ternyata ada lubang buat kunci.
Terkunci?
Kenapa dikunci?
"Nyari ini?" Suaranya bikin gue kaget setengah mati. Gue langsung menengok, dan di situ dia sudah duduk di kasur, sambil mengacungi kunci di tangannya.
Gue benci banget sama senyumnya yang usil itu. "Kenapa pintunya dikunci?" tanya gue, mencoba tetap tenang.
"Semalam ada pesta di sini, ingat enggak?" Nada suaranya sedikit hati-hati. "Gue enggak mau ada orang yang masuk ganggu kita."
Gue coba telan ludah, "Lo... Gue... Maksud gue, kita..." Gue enggak sanggup melanjutkan.
"Kita tidur bareng?" tanyanya santai dan langsung to the point. "Lo enggak ingat apa-apa?"
Ada nada sedih di suaranya, seperti berharap gue buat ingat sesuatu. Gue cuma geleng kepala, malu. "Enggak."
Gue lihat ada rasa kecewa di wajahnya. "Enggak ada apa-apa. Lo muntah, gue mandiin lo, terus gue buang lo di kasur."
Gue percaya.
"Makasih," bisik gue pelan.
Dia bangun dari kasur, dan seperti biasa, dia bikin gue merasa kecil banget di depannya.
"Bukain pintunya," pinta gue, soalnya sudah enggak kuat lebih lama lagi sendirian di kamar ini sama dia.
Di kamar ini, kita cuma berdua, sama-sama pakai baju seadanya. Gue enggak bisa lama-lama begini.
Dia menyelipkan kunci itu ke kantong depan celananya. “Enggak.”
Gue buka mulut mau protes, tapi dia malah jalan ke kamar mandi, menutup pintunya.
Apa sih maksudnya?
Frustrasi, gue menyilangkan tangan di dada sambil tunggu dia keluar.
Apa coba tujuannya dia kunci gue di sini?
Gue dengar suara shower dinyalakan.
Dia mandi?
Serius?
Sementara gue setengah mati ingin pergi dari sini.
Menit-menit yang terasa seperti bertahun-tahun akhirnya lewat, dan dia keluar dari kamar mandi. Dia cuma pakai handuk yang melilit di pinggangnya. Tetesan air masih mengucur dari perutnya, dan rambutnya yang basah lengket di sisi wajahnya. Kayaknya dia enggak merasa dingin sama sekali.
“Bukain pintunya, Anan,” tegas gue.
“Enggak.”
“Kenapa enggak?”
“Soalnya gue enggak mau.”
Gue ketawa, “Gila.”
Dia duduk di kasur, matanya memperhatikan gue dari atas sampai bawah, dari dada sampai kaki. Gue berusaha buat enggak gugup, tapi rasanya berat. “Gue benaran harus pergi.”
“Dan lo boleh pergi... setelah kita ngobrol.”
“Ya udah. Lo mau ngomong apa?”
“Lo.”
Jawabannya bikin gue kaget. Perut gue langsung panas, tapi gue coba tetap kelihatan santai. “Lo beneran gila.”
“Kenapa? Karena gue bilang apa yang gue mau? Gue selalu jujur sama lo.”
“Iya, jujur, bahkan terlalu jujur,” jawab gue, sambil ingat waktu dia pernah bilang kalau dia enggak mau hubungan serius sama gue.
“Ke sini,” kata dia.
Panas mulai naik ke pipi gue. “Oh, enggak, gue enggak bakal jatuh ke permainan lo lagi.”
“Permainan gue?” Dia mengangkat alis, nadanya santai tapi tajam. “Gue pikir justru lo yang doyan main-main.”
“Maksud lo apa?”
“Lo menikmati, ya, ciuman sama cowok lain?”
Rasa marah yang jelas terpancar di matanya yang indah bikin gue ciut, punggung gue menempel di pintu. Tapi meski begitu, gue tetap angkat dagu dengan sikap menantang. “Jujur aja, iya. Ciuman dia enak banget, apalagi dia...”
“Diam.”
Senyum kemenangan langsung muncul di wajah gue. Gue berhasil bikin dia terpancing. Biasanya dia selalu jaga image dingin dan enggak peduli kalau lagi sama gue, tapi sekarang, emosi dia kelihatan jelas, dan itu... menyegarkan.
“Kan, lo sendiri yang nanya,” kata gue sambil angkat bahu.
“Gue salut sama usaha lo buat ngelampiasin ke orang lain, tapi kita berdua tahu, gue yang sebenarnya lo mau.”
Dia makin dekati gue. Bau sabun dari badannya menyentuh hidung gue, dan kehangatannya terasa jelas di kulit gue. Tatapan matanya bikin jantung gue kayak mau copot.
“Itu, kan, menurut lo. Nyatanya ciuman Gori itu luar biasa, sampai-sampai...”
“Berhenti ngomongin soal dia. Jangan main-main sama api, Zielle.”
“Cemburu, ya? Pangeran?” sindir gue.
“Iya.”
Jawabannya bikin gue kaget sampai udara di paru-paru gue habis.
Anan Batari, mengaku kalau dia cemburu?
Gue lagi di dimensi apa ini?
Dia usap wajahnya dengan tangan, kelihatan frustasi. “Gue enggak ngerti sama lo. Gue susah-susah bikin gol buat lo, tapi lo malah cium cowok lain. Lo maunya apa, sih?”
“Gue enggak mau apa-apa. Gue malah yang enggak ngerti sama lo.”
Dia senyum kecil sambil geleng-geleng kepala. “Kayaknya kita emang nggak saling ngerti,” katanya pelan.
Dia tiba-tiba ambil pergelangan tangan gue dan mengangkatnya ke atas kepala, menempelkannya ke pintu, tapi gerakannya lembut, enggak kasar. Tangan satunya lagi dia pakai buat menyusuri leher gue, melewati garis bahu, sampai ke pinggiran dada gue. Tubuh gue langsung bereaksi, merinding campur panas.
Gue hampir menyerah, hampir jatuh lagi ke permainan dia. Tapi gue ingat bagaimana dinginnya dia waktu pertama kali gue kasih semuanya ke dia. Bagaimana dia suruh pembantunya usir gue keluar dari kamarnya setelah kedua kalinya kita tidur sama-sama.
Gue menginginkan dia lebih dari apa pun, tapi hati gue enggak bakal kuat kalau harus mengalami rasa sakit itu lagi. Gue tahu itu. Gue enggak sanggup merasakan lagi bagaimana rasanya jadi “mainan” yang langsung dibuang setelah dia dapat apa yang dia mau.
Mainan?
Gue enggak bisa.
Gue enggak mau.
Gue enggak bakal jatuh lagi.
Dia enggak mengira kalau gue bakal bikin gerakan secara tiba-tiba, jadi gue memanfaatkan momen itu. Dengan badan gue, gue dorong dia pakai semua tenaga buat melepaskan pergelangan tangan gue. Anan kelihatan kaget, bibirnya merah, napasnya tersengal. Dia coba mendekat lagi ke gue, tapi gue angkat tangan.
"Enggak."
Alisnya mengerut, kayak baru pertama kalinya merasakan penolakan.
Jelas banget dia bingung. "Kenapa enggak?"
"Gue enggak mau. Gue enggak bakal jatuh lagi. Enggak kali ini."
Dia merapikan rambutnya dengan tangan, "Lo kebanyakan mikir, kebanyakan ngomong. Sini deh."
Dia kasih tangannya, tapi gue tepis.
"Enggak. Kalau lo mikir gue bakal selalu ada kapan pun yang lo mau, lo salah besar. Gue bukan mainan lo."
Mukanya berubah, sepertinya kata-kata gue berhasil menusuknya.
"Kenapa sih lo selalu mikir yang jelek-jelek tentang gue?"
"Soalnya itu doang yang lo tunjukin ke gue." Gue buang napas berat, menahan emosi. "Gue udah usir lo dari hidup gue, Anan. Jadi please, tinggalin gue."
Rasanya sakit pas gue ngomong itu.
Tapi dia malah senyum sombong, senyum bodohnya itu. "Ngusir gue dari hidup lo? Itu bukan hal yang bisa lo lakuin dalam beberapa minggu, Zielle."
"Tapi gue udah mulai, dan gue bakal berhasil."
"Gue enggak bakal biarin lo lakuin itu."
Gue mengeluh, "Ini, nih, yang gue benci dari lo! Lo enggak pernah anggep gue serius, tapi lo juga enggak biarin gue pergi. Kenapa, hah? Lo seneng main-mainin perasaan gue?"
"Jelas enggak."
"Terus apa?"
"Kenapa, sih, semua salah gue? Lo sendiri tahu, terus kenapa lo mau waktu itu? Gue, kan udah jelasin dari awal."
"Jangan alihin topik! Iya, gue tahu apa yang gue lakuin waktu itu, tapi sekarang gue nggak mau lagi. Gue mau lo keluar dari hidup gue, tapi lo enggak biarin gue pergi..." Dada gue naik turun, napas gue berat. "... Kenapa, Anan? Kenapa lo enggak bisa tinggalin gue?"
"Gue enggak bisa."
"Kenapa?"
Gue tatap dia, jelas banget dia bingung mau jawab apa. Bibirnya bergerak ragu-ragu. Gue ketawa pahit. "Lo enggak bisa bilang apa-apa karena lo enggak punya alasan. Lo cuma enggak mau kehilangan mainan lo."
"Berhenti ngomong gitu! Gue enggak mandang lo kayak gitu!"
"Terus kayak apa?!"
Dia diam lagi, mukanya ragu, enggak yakin.
"Lo tahu, debat ini enggak bakal bawa kita ke mana-mana. Buka pintunya." Dia tetap enggak gerak.
"Buka pintunya, Anan! Ssshh!!!"
Dia masih diam saja. Gue melirik ke arah jendela dengan marah. "Oke, kalau gitu gue lompat aja lewat jendela."
Pas gue jalan ke arah jendela, suara dia muncul pelan banget, hampir kayak bisikan.
"Gue butuh lo."
Langkah gue langsung berhenti. Dua kata itu cukup bikin tubuh ini membeku di tempat. Anan ambil tangan gue, tarik gue biar gue menghadap dia.
Dia mencari mata gue, "Dengerin gue. Gue enggak jago ngomong, gue enggak tahu gimana bilangnya... Gue enggak bisa jelasin, tapi gue bisa tunjukin apa yang gue rasain ke lo." Dia genggam tangan gue lebih erat. "Kasih gue kesempatan buat nunjukin itu. Gue enggak lagi nyoba buat manfaatin lo, gue sumpah... Gue cuma mau nunjukin apa yang gue rasain."
Dia taruh tangan gue di dadanya. Jantungnya berdetak kencang, sama kayak jantung gue.
Dia dekatkan wajahnya ke gue, cukup pelan biar gue punya waktu buat menolak. Tapi gue enggak melakukan apa-apa, dan akhirnya bibir hangatnya bertemu sama bibir gue.