Seorang remaja benama Freis Greeya hari memikul takdirnya sebagai penerus dari WIND. Untuk menghentikan pertumpahan saran dan pemberontakan yang dilakukan Para Harimau.
Ini adalah kisah cerita perjalanan Freis Greeya dalam memenuhi takdirnya sebagai seorang WIND, Sang Pengendali Angin.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MataKatra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Suara Sangkakala Bergema
Bulan 1, Tahun 1248
19 tahun setelah runtuhnya Kerajaan Kokki’po
Raja Lorrias Eleor melangkah dengan tenang, tegap, serta bewibawa menuju podium, untuk memberikan kata-kata terakhirnya kepada para prajuritnya. Dia dapat merasakan kegelisahan, kegundahan, dan ketakutan yang tengah melanda para prajuritnya saat ini. Dia memahami dan memaklumi betul perasaan para prajuritnya. Negeri yang telah beberapa puluh tahun hidup dengan damai, sekarang harus berhadapan langsung dengan pertempuran. Dia dapat memahami betul perasaannya rakyatnya, yang selaman inu selalu hidup dalam kedamaian sesuai dengan ajaran-ajaran para leluhur. Tapi mereka sekarang harus menghadapai peperangan besar yang akan segera terjadi.
Ia terus melangkah hingga langkah-langkah kakinya telah tiba di atas podium di depan para prajuritnya.
Saat ini kedua matanya telah menatap dengan lekat para prajurit yang juga rakyat yang ia cintai. dia dapat melihat di balik mata-mata itu tersimpan kesedihan kegelisahan, dan ketakutan. itu hal wajar karena di balik tembok di tepi kerajaannya itu telah menunggu para Harimau yang sedang bersiap untuk merekam mereka.
Sekarang ia akan memberikan kata-kata terakhirnya. Untuk memberikan semangat baru pada mereka. Untuk meyakinkan hati para prajuritnya yang telah diliputi kegelisahan dan ketakutan. Dan untuk membagikan secercah harapan agar mereka tidak diliputi ke dalam kegundahan dan ketakutan.
Itulah sesuatu yang dapat dilakukannya saat ini sebagai raja sekaligus seorang jenderal perang. Itulah yang dapat ia berikan kepada para prajurit yang juga merupakan rakyat-rakyat yang dicintainya.
“Wahai para prajurit dan rakyat-rakyatku!” serunya.
“Telah tiba saatnya bagi kita untuk maju, melangkah maju menghadapi kekejian dan kebiadaban yang melanda tanah yang kita cintai, keluarga yang kita sayangi.”
Raja Lorrias berhenti, dan menatap sejenak para prajuritnya.
“Esok adalah hari dimana kita akan mempertaruhkan nyawa kita, bersama-sama dengan saudara-saudara yang berdiri berdampingan dengan kita. Tentu... ketakutan, kegelisahan, ataupun kebimbangan mungkin merayapi hati dan jiwa kita. Membuat jantung kita berdetak tak menentu, meruntuhkan akal pikiran kita, serta mengecilkan hati dan jiwa kita untuk melangkah maju..."
“Tapi janganlah kita melupakan hal terpenting. Esok kita mempertaruhkan jiwa dan raga kita bukan tanpa alasan. Kita mempertaruhkan jiwa dan raga kita untuk orang-orang yang kita sayangi, untuk masa depan mereka, untuk mempertahankan tanah yang kita cintai, tanah suci yang merupakan warisan luhur dari para pendahulu kita."
Raja Lorrias menghembuskan nafas panjang sebelum melanjutkan perkataannya.
"Wahai para prajuritku, para rakyat yang kucintai! Tegarkanlah hatimu! Tataplah ke depan dan tunjukkanlah amarahmu! Pada kekejian dan kebiadapan mereka yang ingin merampas kedamaian kita. Pada kekejian dan kebiadapan mereka yang ingin menjarah seluruh impian dan cita-cita kita. Pada kekejian dan kebiadapan mereka yang ingin mengotori tanah luhur yang kita cintai.”
Kemudian Raja Lorrias Eleor mencabut pedangnya dan mengangkatnya tinggi-tinggi sambil berseru dengan lebih lantang.
“Sekaranglah saatnya bagi kita untuk mencabut pedang kita! Saatnya bagi kita untuk melawan kekejian dan kebiadapan yang melanda tanah yang kita cintai! Tegarkanlah hati kalian! Cabut dan acungkan pedang kalian! Maju, terjang, dan musnahkanlah mereka para harimau keji dan biadab yang merampas kedamaian kita!”
Setelah itu terdengar teriakan lantang para prajurit menyambut seruannya, hatinya menjadi lega karena perkataannya telah berhasil menyentuh jiwa dan hati para prajuritnya, serta membangkitan semangat mereka. Lalu, seutas senyum terlihat di wajahnya yang disusul oleh seruan penuh semangat dari mulutnya untuk membalas seruan-seruan menggelora para prajuritnya.
***
Suara gemuruh di aula kerajaan menggetarkan hati kecil, Frank Reig. Baginya suara itu menandakan dimulainya kesedihan, tangis, dan duka.
Seorang perempuan akan gelisah duduk menghadap pintu rumahnya, menanti kedatangan suaminya. Saat malam mereka akan terduduk di kamarnya dilanda dengan ketakutan dan kegelisahan memanjatkan doa-doa mereka untuk keselamatan suaminya, beharap agar dirinya masih memiliki kesempatan untuk dapat berjumpa kembali dengan orang yang dicintainya.
Anak-anak yang tidak mengerti akan perang akan selalu menghampiri sang ibu dengan ribuan pertanyaan, tentang kegelisahan di wajah ibunya, tentang keberadaan ayahnya, dan kenapa sang ayah harus pergi mempertaruhkan nyawa mereka. Sang anak terlalu polos untuk mengerti tentang arti dari sebuah pengorbanan dan perjuangan, baginya apapun itu alasannya entah itu demi kehormatan ataupun karna cinta, peperangan hanya akan merengut ayah yang mereka cintai.
Bagi Frank, untuk apapun alasannya peperangan, entah itu berakhir dengan kemenangan ataupun kekalahan akan selalu menyisakan duka dan keputus-asaan. Untuk mereka yang kehilangan orang-orang yang dicintainya, mereka yang kehilangan rumah tempatnya bernaung, mereka yang harus kehilangan sahabat-sahabat serta rekan-rekan mereka. Duka dan keputus-asaan yang akan melubangi hati terdalam mereka selamanya.
Frank sama sekali tidak menyukai itu semua, seruan-seruan dan teriakan itu, peperangan ini. Baginya, sekarang langit terlihat mendung diliputi duka dan kesedihan. Seolah-olah teriakan-teriakan dan seruan-seruan itulah yang menjadi pennyebab dari kesedihan sang langit.
“Frank,” seru Elise memanggilnya, yang menyadarkan dirinya yang tengah tenggelam dalam duka dan kesedihan.
Ia pun menoleh kearah Elise.
“Apa yang akan kau lakukan?” Elise kembali berkata. Ia pun melanjutkan, “Esok adalah hari dimana semuanya akan dimulai. Peperangan itu, pertumpah darahan itu. Apa yang kau rencanakan?”
“Tentu,” ia menjawab sambil sejenak menghela nafas panjang, lanjutnya, “seperti rencana awal kita. Aku akan membantu mereka untuk memerangi para prajurit dari The Tiger Kingdom itu. Kau beserta dengan Raya berlindunglah, jangan sampai keberadaan Raya diketahui oleh mereka, baik itu orang-orang dari Kerajaan Kokki’al ataupun para prajurit dari The Tiger Kingdom. Aku tidak ingin mereka melibatkan Raya kedalam malapetaka ini.”
Elise menganguk kemudian berkata, “Aku mengerti. Akupun juga berpikir demikian. Aku tidak akan membiarkan mereka menyeret putriku kedalam kekacauan ini. Entah untuk alasan apapun.”
“Oleh karena itu, pergi dan bersembunyilah bersama Raya. Aku tidak ingin dirinya terlibat dengan ini. Terkadang kelembutan dan kasih yang ada di dalam dirinya membuatku ketakutan. Ketakutan jika dia akan melibatkan dirinya dalam seuatu yang dapat membahayakan dirinya sendiri.”
“Ya, aku mengerti Frank,” jawab Elise. Ia pun melanjutkan, “Aku akan bersembunyi dan melindungi Raya di dalam dekapanku.”
“Aku benar-benar bersyukur memilikimu, Elise.”
“Tentu, sudah seharusnya kau berfikir demikian,” jawab Elise dengan senyuman menggoda.
Frank pun tersenyum saat mendengar jawaban wanita yang dicintainya itu.
***
Di barak para pasukan harimau Jenderal Harse dapat mendengar gemuruh suara teriakan dan seruan yang memekakkan langit di malam itu. Mereka, para prajuritnya, begitu bersemangat menyambut hari esok. Hari dimana mereka akan meluluh-lantahkan seluruh Ibukota Kerajaan Kokki’al dan menjadikan wilayah Kokki’al menjadi milik mereka.
Jenderal Harse dapat melihat dengan jelas, impian dan cita-cita dari tuannya, Lord Lott Greg yang sebentar lagi akan mereka capai, menjadikan seluruh Prosdimos menjadi wilayah milik Ras Half-blood Harimau.
Dia berjalan ke aula tempat berkumpulnya para prajurit-prajurit kesayangannya. Mereka yang telah menemaninya sekian lamanya, mereka yang membasahi tubuh mereka dengan keringat dan darah bersama dengannya.
Saat ini, malam ini adalah malam terakhir mereka tertawa dan berseda-gurau. Karena esok adalah saat dimana mereka akan mempertaruhkan jiwa dan raga mereka untuk menunaikan tugas mereka, untuk menaklukkan Kokki'al.
Saat ia telah berada di tengah-tengah para prajuritnya, ia pun berseru dengan lantang.
“Wahai saudara-saudaraku sekalian, saudara-saudaraku yang telah terikat oleh darah denganku. Saudara-saudaraku yang bersama-sama denganku telah bermandikan oleh keringat dan darah. Yang terkadang kita harus melihat saudara-saudara kita yang harus jatuh bergelimpang tak bernyawa di hadapan kita. Yang terkadang kita harus melihat teriakan dan jeritan menyakitkan yang keluar dari mulut saudara-saudara kita..."
“Saudara-saudaraku yang telah bersedia tenggelam dalam tangis dan duka bersama denganku. Sekaranglah saatnya, saat bagi kita semua untuk semakin mendekati impian dan cita-cita kita. Saatnya bagi kita yang telah mengorbankan jiwa dan raga untuk selangkah lebih dekat dengan impian dan cita-cita kita. Saatnya bagi kita untuk mempersembahkan bunga-bunga kemenangan untuk saudara-saudara dan rekan-rekan kita yang telah pergi mendahului kita. Mereka yang telah gugur dan menanti kabar kita. Berita tentang kita, para Half-blood Harimau yang telah menguasai seluruh Prosdimos.”
Kemudian ia pun menatap lekat-lekat seluruh prajuritnya.
“Esok adalah hari dimana Kokki’al akan menjadi milik kita. Esok adalah hari dimana kita akan kembali mempersembahkan bunga-bunga untuk saudara-saudara dan rekan-rekan kita yang telah gugur mendahului kita. Kuatkanlah dirimu, tegarkanlah dirimu, dan raihlah impian serta cita-cita kita bersama.”
Dia berhenti sejenak menarik nafas dalam-dalam, sambil menatap para prajuritnya satu-persatu.
“Esok adalah awal dimana Ras Half-blood Harimau akan menjadi penguasa Prosdimos. Bersoraklah wahai saudara-sauraku!”
Saat itu pun, terdengar suara gemuruh memekakkan langit. Suara teriakan-teriakan dan seruan-seruan riuh yang memecahkan kesunyian malam.
***
Di saat yang bersamaan, di waktu yang berbeda di salah satu barak milik para prajurit The Tiger Kingdom, yang terletak di perbatasa utara Pemukiman Selatan Kokki’al, terlihat Freis yang berjalan pergi melangkah mejauhi barak itu. Barak yang telah porak-poranda dengan para prajurit yang telah bergelimpangan tak bernyawa ditanah. Tenda-tenda yang telah robek bahkan beberapa telah roboh. Barak yang telah hancur luluh lantak.
Freis berjalan dengan dinginnya, seperti udara dingin yang bertiup menyelimuti kegelapan malam. Langkah-langkahnya diliputi oleh kemarahan, hatinya telah tenggelam dalam kebencian, dan matanya telah tertutup oleh dendam. Semua hal dalam dirinya telah mati.
Tangan dan tubuhnya yang saat itu bermandikan darah,sedikitpun tak membuatnya merasakan perasaan apapun. Entah itu kengerian, entah itu keputus-asaan. Semua begitu kosong dan dingin.
Saat ini, dia hanya ingin terus melangkah berjalan menuju ke ibukota kerajaan. Untuk menemui pembunuh kedua-orang tuanya, untuk membalaskan kematian orang yang dicintainya, dan mereka yang seharusnya tertawa bersama dengannya. Menghancurkan orang-orang yang telah merampas kehidupannya.
****
“Kegelapan ini telah menelan dan menenggelamkan diri ini semakin dalam,
Tanpa cahaya, rasa, bahkan nafas sekalipun.”
😂
😂