Tsania Zoun adalah anak yang terlahir dari rahim seorang wanita penghibur bernama Laura Zoun.
Lahir dengan status tidak memiliki sosok ayah, Tsania selalu tersisihkan, ia sering diberi julukan sebagai anak haram.
Ibunya, Laura Zoun juga selalu diterpa cercaan karena pekerjaannya yang menjadi wanita malam. Kehidupan sulit keduanya lalui hanya berdua hingga saat Tsania dewasa.
Tsania yang memiliki tekad untuk membahagiakan ibunnya memilih untuk menempuh pendidikan tinggi di kota. Akan tetapi di sana lah identitas aslinya mulai terkuak.
Penasaran bagaimana kisah hidup Tsania dan ibunya; Laura? Ayo! Langsung baca!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Diana Putri Aritonang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tsania Laura 27.
Mereka selalu bersama, benaknya bergumam. Sorot mata elangnya mengunci lekat seorang gadis yang saat ini terlihat fokus dengan bacaan yang ada di tangannya.
Ruangan luas yang dipenuhi dengan deretan gudang ilmu yang tersusun rapi itu tidaklah sepi, tapi hening dan tenang begitu terasa karena tak ada pengunjung yang membuka suara. Mereka semua bungkam, masing-masing larut menenggelamkan diri pada bacaannya.
Begitu juga dengan Tsania, gadis cantik itu saat ini tengah fokus menikmati rangkaian kata yang netranya amati. Mengabaikan sosok Teo yang duduk di sampingnya dengan terus mengeluarkan bisikan-bisikan kecil pada Tsania.
"Kamu masih lama?" tanya Teo pelan dengan mata yang juga fokus pada buku ditangannya. Pemuda tampan itu duduk tepat di sisi sang kekasih. Ia mengikuti Tsania masuk ke dalam perpustakaan kampus.
Sebelum, maupun sesudah menyandang status sebagai seorang kekasih, Teo sepertinya tidak menghilangkan kebiasaan ia yang selalu menguntit Tsania. Di area kampus, kebiasaan Teo itu bahkan sudah dimaklumi kebanyakan mahasiswa dan mahasiswi. Mereka seakan terbiasa, dimana melihat Tsania yang selalu dibuntuti oleh Teo Daka.
"Sayang?"
Panggilan itu membuat Tsania sontak saja menutup mata. Ia kemudian sedikit tersenyum kecil pada pengunjung perpustakaan serta seorang pengawas gendut yang saat ini telah menurunkan kaca mata dan menatapnya dengan alis terangkat.
"Apa yang kamu inginkan, Daka?" Suara Teo yang telah berhasil mencuri perhatian orang-orang yang ada di sana itu membuat Tsania akhirnya memberikan respon.
"Ikut denganku!" kata Teo dan sedikit melirik pada buku yang Tsania pegang, "lanjutkan itu nanti," sambung Teo dengan penuh harap.
"Ini sedikit lagi. Kamu bisa pergi lebih dulu." Tsania bersuara pelan dan setelahnya ia kembali fokus membaca.
"Dan kamu?"
"Aku akan menyusul."
Tsania menoleh, karena merasa Teo yang tak lagi bersuara. Bisa Tsania lihat, pemuda yang saat ini mengenakan kemeja biru itu menatap ke arahnya.
"Pergilah! Aku akan menyusul setelah menyelesaikan ini," kata Tsania setelah melihat Teo yang memperlihatkan layar ponselnya yang penuh dengan pesan dan panggilan dari Junot maupun Ronald. "Aku janji!" yakin Tsania lagi pada Teo yang belum juga beranjak.
Teo akhirnya lebih dulu meninggalkan perpustakaan, ia meminta Tsania untuk segera menyusulnya ke lapangan basket yang ada di sisi utara bangunan kampus setelah gadis cantik itu menyelesaikan bacaannya.
Dan apa yang dilakukan oleh Teo itu membuat pemilik netra yang dari tadi memperhatikan Tsania tersenyum kecil. Ia berdiri dari tempat duduknya dan beranjak menuju lemari tinggi tempat dimana buku-buku di susun dengan rapi.
Exsan menyusuri lemari panjang itu, mata elangnya tetap bisa menemukan sosok Tsania dari celah-celah buku dan ia segera menunduk, memperjelas penglihatannya saat melihat Tsania yang sudah berdiri.
"Permisi."
Tsania menoleh pada sumber suara saat tangannya baru saja berhasil meletakkan buku pada tempatnya.
"Bisakah kamu membantuku?" tanya Exsan yang kini sudah berdiri tidak jauh dari Tsania. Posisi mereka saat ini tidak bisa dilihat oleh pengunjung yang lain, karena mereka berada di sela-sela lemari panjang yang berderet rapi, kokoh serta menjulang tinggi. "Aku kesulitan mencari buku yang aku butuhkan. Masalahnya aku bukan pengunjung setia perpustakaan."
Tsania tidak memberi jawaban atas permintaan Exsan. Gadis cantik itu sedikit menunduk untuk mendapatkan celah agar bisa menemukan meja pengawas gendut.
"Aku tidak nyaman mengganggunya." Terlihat saat ini pengawas gendut yang tengah meniup mie panas di balik meja besarnya. Wanita berkaca mata itu ternyata tengah makan. "Tidak apa-apa, jika kamu tidak bisa. Aku akan mencarinya sendiri." Exsan sudah ingin berbalik untuk meninggalkan Tsania, namun gerakan pemuda itu terhenti saat suara gadis yang dari tadi sudah ia amati itu terdengar.
"Buku apa yang kamu butuhkan?"
Exsan tersenyum dengan menunduk, sebelum akhirnya ia berbalik dan kembali berhadapan dengan Tsania. Exsan menyebutkan beberapa judul buku dan membuat Tsania langsung membawa langkahnya.
"Ternyata begitu mudah menemukannya jika dilakukan oleh orang yang menyukainya." Exsan mengikuti langkah Tsania dari belakang dengan pelan. Masih ada satu buku lagi yang saat ini Tsania sedang tengah carikan untuknya. "Kamu sering ke sini?"
Tsania menggeleng kecil. Sejauh mereka bersama dari tadi, hanya saat Tsania mengatakan 'buku apa yang kamu butuhkan' lah suaranya terdengar. Selebihnya hanya ada Exsan yang terus bicara tanpa adanya balasan dari Tsania.
"Di sana." Tangan Tsania menunjuk ke arah rak atas. "Yang berwarna hitam."
"Aku yang akan mengambilnya."
Tsania kembali diam seraya memperhatikan Exsan yang menaiki tangga khusus dan meraih buku bercover hitam itu.
"Sudah lengkap. Terimakasih atas bantuannya."
Tsania mengangguk dan ia segera pergi setelah berpamitan pada pemuda yang sama sekali tidak Tsania ketahui namanya itu. Tsania ingin langsung menyusul Teo.
"Tunggu!" Dengan cepat Exsan menghentikan gerakan Tsania. Tangannya sudah berhasil menggenggam pergelangan tangan gadis itu. "Maaf," kata Exsan lagi saat melihat Tsania yang menatap tajam tindakannya. Ia juga dengan cepat melepaskan genggamannya.
"Aku ingin menukar bantuan ini dengan sesuatu." Exsan mengangkat buku yang ada di tangannya.
"Terimakasih, tapi itu tidak perlu." Tsania berbalik dan melanjutkan langkah meninggalkan Exsan yang tercengang. Ternyata gadis ini cukup sulit untuk didekati, gerutu Exsan dalam benaknya.
"Maaf, aku merasa tidak nyaman telah merepotkan mu. Setidaknya biarkan aku mentraktir mu sesuatu sebagai ucapan terimakasih."
"Aku sudah kenyang."
"Satu cup minuman dingin."
Tsania menghentikan langkah saat Exsan yang saat ini sudah dengan sempurna berdiri di hadapannya.
"Aku mohon!"
Tsania tampak berpikir sesaat sebelum memberikan anggukan pada Exsan. Yang membuat pemuda itu jelas merasa senang. Hingga keduanya dengan segera menuju kantin yang ada di kampus.
"Kamu tidak masuk?" Exsan menghentikan langkahnya yang sama sekali belum mencapai pintu area kantin dan ia menatap Tsania dengan heran.
"Aku akan menunggu di sini!"
Exsan lagi-lagi tercengang. Tsania akan menunggunya di luar area kantin? Bukannya mereka akan minum dan duduk bersama? Barang sebentar? pikir Exsan.
"Lima menit."
Astaga!
Dengan cepat Exsan masuk ke dalam kantin untuk membeli minuman dingin sebagai tanda ucapan terimakasih darinya atas bantuan Tsania. Dan benar saja tidak sampai lima menit. Pemuda itu sudah kembali ke hadapan Tsania.
"Terimakasih." Tsania menerima minuman dingin yang Exsan berikan padanya.
"Aku yang seharusnya berterimakasih. Karena bantuan mu aku mendapatkan buku-buku itu." Tsania hanya mengangguk. "Aku Exsan. Exsan Ravenra." Exsan mengulurkan tangan ke hadapan Tsania, berniat ingin mengajak gadis itu berkenalan secara resmi.
"Tsania." Ia sama sekali tidak membalas uluran tangan Exsan. Membuat pemuda itu lagi-lagi hanya bisa tersenyum kecil dan menarik kembali tangannya. "Aku harus pergi."
Kali ini Exsan tak lagi menahan. Ia membiarkan Tsania yang mulai berlalu meninggalkan dirinya.
"Sulit didekati," gumam Exsan dengan pandangan yang tak lepas dari punggung Tsania yang mulai menjauh. "Menarik."