Halwa mencintai Cakar Buana, seorang duda sekaligus prajurit TNI_AD yang ditinggal mati oleh istrinya. Cakar sangat terpukul dan sedih saat kehilangan sang istri.
Halwa berusaha mengejar Cakar Buana, dengan menitip salam lewat ibu maupun adiknya. Cakar muak dengan sikap cari perhatian Halwa, yang dianggapnya mengejar-ngejar dirinya.
Cakar yang masih mencintai almarhumah sang istri yang sama-sama anggota TNI, tidak pernah menganggap Halwa, Halwa tetap dianggapnya perempuan caper dan terlalu percaya diri.
Dua tahun berlalu, rasanya Halwa menyerah. Dia lelah mengejar cinta dan hati sang suami yang dingin. Ketika Halwa tidak lagi memberi perhatian untuknya, Cakar merasa ada yang berbeda.
Apakah yang beda itu?
Yuk kepoin cerita ini hanya di Noveltoon/ Mangatoon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasna_Ramarta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27 Cakar Sakit/ Penemuan Foto di Laci Lemari Cakar
Cakar jatuh di depan mulut pintu kamar mandi. Tapi sepertinya dia hanya merosot, posisinya duduk di mulut pintu dengan tangan masih berpegangan pada kusen pintu.
"Mas, kamu kenapa?" Halwa menghampiri, meskipun tadi Cakar sudah membuat hatinya pedih karena keengganan Cakar melihat Halwa memasang foto pengantinnya di media sosial miliknya, akan tetapi jiwa kasih sayang seorang istri tetap timbul dan merasa tidak tega melihat Cakar terdampar di mulut pintu.
Halwa mencoba mengangkatnya, akan tetapi tubuh Cakar begitu berat. "Mas, aku bantu kamu berdiri," ujar Halwa seraya meraih lengan Cakar lalu diangkatnya.
Perlahan Cakar mulai mengangkat tubuhnya, untung saja dia bukan pingsan hanya ambruk saja tubuhnya karena efek sakit kepala yang begitu berat.
"Antar aku sampai toilet, aku mau buang air dan sikat gigi," ujarnya dengan suara berat. Halwa memapahnya sampai toilet. Di sana ia berhenti lalu melepas lengan Cakar perlahan.
"Mas tubuh kamu panas, kamu demam. Mau aku tungguin di sini?" tanya Halwa ragu.
"Kamu keluarlah, aku bisa kuat dengan berpegangan seperti ini," ujarnya seraya tangannya berpegangan pada tiang bak kamar mandi.
Halwa keluar kamar mandi dengan ragu, sebetulnya dia khawatir dengan keadaan Cakar. Apalagi tubuh Cakar panas. Sepertinya dia hari ini tidak akan masuk kantor kalau melihat kondisinya seperti ini.
Halwa akhirnya keluar kamar mandi, dia segera bergegas menuju lemari, meraih kaos oblong dan celana pendek Cakar. Saat melihat laci lemari, jiwa penasaran Halwa begitu tinggi. Ia menarik laci itu lalu dibukanya.
Ada susunan foto-foto saat Cakar saat pendidikan Secaba dahulu 10 tahun lalu. Di sana Cakar masih terlihat ABG dan lebih kurus dengan kepala yang botak. Sepertinya itu masa awal-awal pendidikan dan baru lulus Bintara.
Dibawah foto itu masih ada foto lain termasuk foto almarhumah Seli, karena di bawahnya tertera nama Seli dengan jelas. Foto pengantin dan foto-foto saat Seli sedang bersama-sama Cakar di sebuah kesatuan dengan berseragam loreng. Mereka tampak tertawa bahagia dan serasi. Berbagai pose ada di sana, disertai tulisan dalam sebuah foto, "pasangan terhot dan romantis".
Dibawahnya masih ada lagi foto, sepertinya foto-foto masa sekolah. Dan yang lebih mengejutkan lagi ternyata Seli merupakan adik kelas Cakar satu tingkat di bawah Cakar. Dan sepertinya Seli dan Cakar sudah berpacaran sejak sekolah dulu. Pantas saja Cakar susah move on dari Seli yang lumayan cantik itu.
Ada rasa sedih di sudut hati yang langsung menyelinap dalam pelupuk mata. Halwa menangis tiba-tiba. Betapa ia tidak ada apa-apanya dibanding almarhumah istrinya Cakar serta perempuan-perempuan KOWAD yang selalu mengelilingi suaminya. Terlebih Cakar memang masih terobsesi dengan perempuan berseragam. Sementara dirinya, hanya karyawan biasa sebuah salon, yang tidak ada apa-apanya dan dipandang sebelah mata.
"Kenapa dulu aku menerima perjodohan Bu Fajarani? Aku pikir dengan perjodohan ini, Mas Cakar akan mencintai aku seiring berjalannya waktu. Tapi dengan melihat foto-foto ini, rasanya sulit untuk aku merebut hati Mas Cakar," ucapnya dalam hati begitu sedih. Lalu titik air mata itu tidak terasa semakin deras.
"Srekkk,"
Suara pintu kamar mandi terdengar dibuka, Halwa segera menyeka air mata yang membasahi pipinya tadi, lalu segera menutup kembali laci dan lemari itu.
Halwa meletakkan kaos oblong dan celana pendek Cakar di atas ranjang, lalu ia segera menghampiri Cakar. Meskipun hatinya sakit saat melihat foto-foto tadi, tapi tetap saja Halwa melaksanakan kewajibannya sebagai istri, merawat Cakar yang kini sakit.
"Mas aku bantu," ujarnya seraya memapah tubuh Cakar ke atas ranjang. Cakar manut, ia menuju ranjang dan kembali berbaring di sana. Karena jujur ia kini mengalami sakit kepala yang berat. Untuk menolak bantuan Halwa saja rasanya tidak sanggup, justru Cakar saat ini butuh bantuan.
Melihat Cakar diam saja tanpa bicara dengan tubuh tidak berdaya, rasanya kalau ikut hati, ingin rasanya ia membiarkan suaminya terkulai tidak berdaya lalu ia pergi saja bekerja ke salon. Namun, Halwa bukan istri yang tega, ia punya kewajiban merawat suami terlebih Cakar dalam keadaan sakit.
"Mas, aku ganti baju dan celananya. Setelah itu aku mau masakin kamu bubur dan sayur sop, lalu minum obat." Halwa bergegas pergi setelah mengatakan itu. Ia menuju dapur membawa air hangat ke dalam baskom serta kain kompres.
Halwa menuju kamar lagi dengan membawa air dalam baskom, ia segera menuju ranjang dan duduk di bibir ranjang. Cakar terdengar mengaduh-aduh, mungkin efek demam yang dia rasakan.
Dengan cekatan, Halwa membuka baju dan celana tidur Cakar hanya menyisakan boxer di dalamnya. Halwa dengan telaten membersihkan seluruh tubuh Cakar dengan kain waslap tanpa terlewat.
Lalu membalur tubuhnya dengan kayu putih sebelum dipakaikan kaos oblong dan celana kolor pendek. Cakar tidak berkata apa-apa, dia pasrah tubuhnya diapa-apakan oleh Halwa.
"Mas, kamu baring dulu. Aku akan masak bubur untuk sarapan kamu, setelah itu makan obat. Aku mau bikinkan juga obat herbal alami untuk meredakan sakit kepala dan meriang kamu," ujar Halwa seperti seorang perawat saja.
Cakar sesekali menatap Halwa tapi tidak bicara. Halwa berdiri. Namun, tiba-tiba Cakar memanggil namanya.
"Halwa." Cakar memanggil lemah. Halwa menoleh seketika.
"Iya, Mas?"
"Aku tidak mau bubur, aku hanya ingin nasi tim," pinta Cakar. Halwa mengangguk, ia paham. Cakar memang kurang suka bubur apalagi yang lembek berair.
"Baiklah, tunggu aku, ya, Mas. Aku buatkan nasi tim dan sayur sopnya," ucap Halwa lembut sembari berbalik. Ia keluar kamar dan menuju dapur.
Satu jam kemudian, Halwa sudah menyelesaikan tugasnya memasak. Sejenak sebelum ia membawakan nasi tim dan sayur sop untuk sarapan Cakar ia sengaja mengirimkan pesan WA pada ibunya.
"Assalamualaikum. Ibu. Apa kabar, Bu? Mas Cakar hari ini demam dan sakit kepala. Obat herbal yang bagus untuk mengobati sakitnya, apa, ya, Bu?" Pesan itu terkirim hanya menunggu jawaban.
"Waalaikumsalam Halwa, kabar ibu baik. Suami kamu sakit? Buatkan saja rebusan daun salam dan seledri lalu minumkan. Atau kalau suamimu tidak suka rebusan daun dua itu, kamu tinggal bikinkan jus sirsak saja. Itu bagus untuk menurunkan sakit kepala. Suami kamu pasti suka jus itu, tapi ingat jangan ditambahkan susu atau gula. Kalau mau ditambahkan madu saja. Satu lagi, untuk menurunkan demamnya, kalau suamimu tidak menolak, balurkan bawang ungu ke sekujur badan, bawangnya dibelah lalu digosokkan ke badan. Insya Allah akan cepat meredakan demam suamimu."
"Oh iya, Bu.. Terimakasih infonya."
"Semoga suamimu cepat sembuh. Oh iya, Halwa, apakah suami kamu mencintaimu? Bilang terimakasih pada suamimu, Helmi sudah dua kali diberi uang jajan oleh suamimu. Semoga rezekinya makin berlimpah dan berkah." Susul pesan WA itu yang membuat Halwa sejenak tercenung. Sebab dia tidak mampu menjawab pertanyaan ibunya yang pertama.
"Iya, Bu. Nanti Halwa sampaikan pada Mas Cakar." Hanya itu balasan yang Halwa berikan. Halwa kembali memikirkan balasan ibunya yang terakhir.
"Mas Cakar ngasih uang ke Helmi? Kenapa Mas Cakar baik ke Helmi?" tanyanya dalam hati bingung. Halwa seakan baru sadar, ia segera mengingat pesan dari ibunya tadi tentang obat herbal yang diberikan ibunya lewat pesan WA.
Jawaban dari ibunya tadi cukup dipahami. Tapi masalahnya buah sirsaknya tidak ada. Tanpa ba bi bu, Halwa bergegas keluar rumah lalu mencegat ojeg dan ke pasar. Setengah jam berbelanja di pasar, Halwa sudah mendapatkan apa yang dia perlukan. Setelah itu Halwa segera pulang dengan menaiki ojeg.