Elina Raffaela Escobar, seorang gadis cantik dari keluarga broken home, terpaksa menanggung beban hidup yang berat. Setelah merasakan pengkhianatan dari orang-orang terdekatnya, ia menemukan dirinya terjebak dalam kekacauan emosi.
Dalam sebuah pertemuan tak terduga, Elina bertemu dengan Adrian Volkov Salvatrucha, seorang CEO tampan dan misterius yang hidup di dunia gelap mafia.
Saat cinta mereka tumbuh, Elina terseret dalam intrik dan rahasia yang mengancam keselamatannya. Kehidupan mereka semakin rumit dengan kedatangan tunangan Adrian, yang menambah ketegangan dalam hubungan mereka.
Dengan berbagai konflik yang muncul, Elina harus memilih antara cinta dan keselamatan, sambil berhadapan dengan bayang-bayang masa lalu yang terus menghantuinya.
Di tengah semua ketegangan ini, siapa sebenarnya Adrian, dan apakah Elina mampu bertahan dalam cinta yang penuh risiko, atau justru terjebak dalam permainan berbahaya yang lebih besar dari dirinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lmeilan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Satu bulan berlalu, dan Elina kembali merasakan rutinitas kampus yang sempat ditinggalkannya. Senin pagi yang cerah, ia memasuki kampus dengan perasaan campur aduk. Meskipun senang dapat kembali berkuliah dan berkumpul dengan teman-temannya, ia tidak dapat mengabaikan kenyataan pahit bahwa ia hampir dinyatakan DO (Drop Out). Rasa khawatir itu menggerogoti hatinya, seolah-olah setiap langkah yang ia ambil menuju kelas semakin menambah beban di punggungnya.
Hari-hari di kampus terasa berat, terutama setelah kembalinya dia ke dunia perkuliahan yang semarak. Sebelumnya, ia harus berjuang dengan perasaannya, merenungi keadaan hubungannya dengan Adrian dan dampaknya pada kehidupan akademisnya. Terkadang, ia merasa seperti orang asing di dunia yang pernah sangat ia cintai.
Saat Elina memasuki kelas, wajah-wajah familiar mulai bermunculan di hadapannya. Arni, sahabatnya yang selalu ceria, tersenyum lebar dan melambai ke arahnya. Elina merasa lega bisa melihat Arni, seolah sosoknya bisa meringankan beban yang dirasakannya.
"Elina! Akhirnya kamu kembali!" seru Arni, berlari menghampiri Elina. "Aku sudah sangat khawatir! Bagaimana kabarmu?"
"Baik, Arni. Sedikit kesulitan, tapi aku berusaha untuk kembali," jawab Elina, berusaha tersenyum meski hatinya masih diliputi kecemasan.
"Aku ada banyak cerita untukmu!" Arni tampak bersemangat.
"Tapi pertama-tama, kita harus bicara tentang kuliahmu."
Elina mengernyitkan dahi. "Kuliahku? Kenapa? Apa yang terjadi?"
Arni menurunkan suaranya dan menggenggam tangan Elina. "Kau hampir DO, Elina! Dosen menyebut namamu dan mengungkit tentang absensimu yang terlalu banyak. Aku mendengar dari teman-teman bahwa ada rapat di fakultas mengenai ini. Kau harus berbicara dengan dosen pembimbingmu sebelum semuanya terlambat."
Jantung Elina berdegup kencang. "Serius? Aku tidak tahu tentang itu! Aku… aku harus segera bicara dengan dosen!"
Sebelum Arni sempat menjawab, Elina segera melangkah cepat menuju ruangan dosen. Di sepanjang jalan, pikirannya berkecamuk. Bagaimana bisa ia sampai dalam situasi ini? Setiap detik yang berlalu, ia merasa semakin tertekan. Belum sepenuhnya terlepas dari tekanan hidup di mansion Adrian, sekarang ia harus berhadapan dengan potensi kehilangan masa depannya.
Setelah mengetuk pintu, Elina memasuki ruangan dosen. Dosen pembimbingnya, Bu Rina, tampak sibuk dengan tumpukan berkas di meja. Melihat Elina, Bu Rina mengangkat wajahnya dan tersenyum, meski senyumnya tidak bisa menyembunyikan kerut di dahinya.
"Elina, senang melihatmu kembali. Apa yang bisa saya bantu?" tanya Bu Rina, nada suaranya tetap hangat meski ada kekhawatiran di matanya.
"Bu, saya baru tahu bahwa saya hampir DO. Saya tidak ingin kehilangan kesempatan untuk menyelesaikan kuliah ini," Elina mengeluarkan semua kekhawatirannya.
Bu Rina menghela napas, tampak memahami situasi yang dihadapi Elina. "Kami semua memahami bahwa ada banyak yang terjadi di luar akademik. Namun, kami tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa absensimu sangat banyak."
"Saya tahu, Bu. Saya berjanji akan memperbaiki semuanya. Saya akan hadir di setiap perkuliahan mulai sekarang. Mohon beri saya kesempatan," Elina mendesak, air mata mulai menggenang di matanya.
Bu Rina memandang Elina dengan penuh perhatian. "Elina, saya ingin membantu. Saya akan mencatat kehadiranmu selama sebulan ke depan. Jika kamu berhasil, saya akan berusaha untuk memperjuangkan posisimu di fakultas."
"Terima kasih, Bu! Saya akan melakukan yang terbaik!" Elina merasa lega dan bersyukur.
Setelah berpisah dengan Bu Rina, Elina kembali menemui Arni.
"Aku sudah berbicara dengan dosen, Arni. Dia memberi aku kesempatan! Aku harus berusaha lebih keras lagi."
"Bagus, Elina! Aku yakin kamu bisa!" Arni bersemangat.
"Bagaimana kabar Galang dan Clara?" tanya Elina
Arnu menggigit bibirnya.
"Ada apa Ar"
"Kau tidak mendengar tentang itu. Galang mengatakan bahwa ayahnya bangkrut karena masalah besar di hotel mereka. Sepertinya kasus penggelapan barang terlarang yang sangat serius yang ramai diperbincangkan di televisi" Arni menjelaskan.
"itu membuat Galang jadi lebih pendiam. Aku merasa sedih untuknya. Dia pasti merindukan masa-masa bahagia sebelum semua ini terjadi," Arni menambahkan.
Elina merasa kaget mendengar kabar itu, berminggu minggu terkurung di mansion Adrian, dia terkejut mendengar kabar tentang Galang.
"aku merasakan kasian untuknya" ucap Elina tulus.
"sudahlah Lin, nasi sudah jadi bubur" ucap Arni
"Ar, aku punya kabar mengejutkan"
"Oh, apa itu?" tanya Arni, penasaran.
"aku tadi melihat seorang pria asing di ruangan dosen dan dia duduk di meja dosen Dan kau tau apa dia adalah pria misterius yang memberiku mantel di taman," Elina menjawab dengan canggung.
Arni membulatkan matanya. "apa maksudmu Lin?"
"Pria misterius? mantel? " Arni bertanya dengan sangat penasaran dia bingung dengan apa yang di maksud oleh Elina.
Elina perlahan menceritakan apa yang terjadi pada dirinya.
"wow kau sudah menikah, bagaimana bisa Lin? " ucap Arni merasa kaget mendengar cerita dari Elina.
Setelah menghabiskan waktu berbicara, Elina kembali ke kelas dengan pikiran yang penuh dengan pertanyaan. Di satu sisi, ia merasa bersemangat untuk kembali berkuliah dan menghadapi tantangan baru. Namun, di sisi lain, ketidakpastian yang melingkupi hubungannya dengan Adrian semakin membingungkan.
Satu bulan berlalu sejak Elina kembali ke kampus, dan setiap hari menjadi tantangan. Namun, dia juga merasakan bahwa dia semakin dekat dengan teman-teman di sekitarnya. Keberadaan Arni menjadi sumber kekuatan dan dukungan yang sangat berharga.
Suatu sore, setelah kuliah, Elina dan Arni pergi ke kafetaria untuk bersantai. Mereka duduk di pojok yang tenang, memesan minuman dan camilan sambil berbincang-bincang.
"Jadi, apa rencanamu untuk akhir pekan ini?" tanya Arni sambil menggigit sandwichnya.
Elina menggaruk kepalanya, memikirkan jadwalnya yang padat. "Aku mungkin harus belajar dan menyelesaikan tugas, tapi rasanya ingin juga jalan-jalan sebentar. Aku butuh waktu untuk diri sendiri."
Arni tersenyum lebar. "Bagaimana kalau kita pergi ke taman? Mungkin bisa sekalian melihat dosen baru itu. Siapa tahu ada hal menarik yang bisa kita temui."
Elina tertawa. "Kau dan obsesi dengan dosen baru, Arni."
"Haha, aku hanya penasaran! Baiklah, kita atur waktu untuk ke taman. Dan kita bisa bawa makanan dari kafetaria!" Arni berseri-seri.
Akhir pekan pun tiba, dan Elina dan Arni memutuskan untuk pergi ke taman. Mereka membawa bekal, duduk di bangku di bawah pohon rindang, sambil menikmati suasana yang tenang.
Elina melihat sekitar, menghirup udara segar. Ia merasa damai meskipun masalah masih membayangi. Tiba-tiba, dia mendengar suara langkah kaki yang familiar. Ketika menoleh, ia melihat pria misterius itu, sedang berjalan mendekat.
Pria itu mengenakan pakaian formal yang rapi, rambutnya tertata dengan baik. Ketika matanya bertemu dengan Elina, dia tersenyum tipis.
"Elina," sapanya dengan suara dalam dan tenang.
Elina terkejut. "Eh, halo. Ada apa Pak?"
"Saya hanya ingin menikmati suasana taman. Ini tempat yang bagus untuk berpikir," jawabnya.
Arni, yang duduk di samping Elina, langsung tersenyum lebar. "Anda dosen baru di kampus ini, kan? Aku Arni, teman Elina."
Pria itu menatap Arni sejenak sebelum mengangguk. "Senang bertemu denganmu, Arni."
Elina merasa canggung, tetapi ada sesuatu dalam tatapan pria itu yang membuatnya merasa nyaman. "Apa kau menikmati mengajar di kampus?"
"Ya, saya sangat menikmati itu. Mahasiswa di sini cukup antusias, dan itu menyenangkan," jawabnya.
Obrolan mereka berlangsung lancar. Elina merasa terjebak dalam pembicaraan yang hangat, meskipun ada keraguan yang membayangi pikirannya tentang siapa sebenarnya pria ini, mengapa rasanya tiba tiba sekali dia berada di kampus ini.